43. Saling Melupakan

107 23 17
                                    


"Ini, saya kembaliin." Setelah turun dari motor, Aya langsung menyerahkan kalung yang pernah Zanu berikan kepadanya. Pergerakan pria itu yang hendak segera pergi, menjadi terhenti dan mematikan mesin motor.

Zanu memandang kalungnya di telapak tangan Aya, lalu menatap gadis itu heran. "Kamu tahu, 'kan, seberapa berharganya kalung itu?" tanyanya datar.

Aya mengernyit. "Kenapa dikasih ke saya?"

"Bukannya aku udah pernah bilang alasannya, sewaktu ngasih itu?"

"Anda terlalu terburu-buru. Ambil aja lagi, saya gak mau."

Zanu menarik napas dalam. "Untuk saat ini, aku cuma minta kamu untuk menyimpannya. Cuma itu." Ia menghidupkan mesin motor, dan berlalu kemudian.

***

"Non! Anda ngapain bawa saya ke tempat ini?" tanya Vanya heran.

Saat ini, mereka sedang berjongkok di sisi kiri sebuah gedung di daerah pasar. Gedung ini dulunya adalah sebuah mal, tetapi sudah lama sekali menjadi bangunan tertinggal dan tidak terpakai. Sehingga, menjadi tempat berbagai tindakan kriminal di dalamnya, seperti perjudian, dan pembunuhan.

"Ikutin aku." Vernon bergerak cepat masuk ke gedung melalui lubang rahasia yang ditutupi semak-semak, diikuti Vanya.

"Ada jalan rahasia masuk ke gedung—"

Vanya tersentak karena Vernon menarik tangannya untuk bersembunyi di balik dinding. "Masalah besar jika ada yang melihat kita berdua di sini," bisik Vernon sambil memerhatikan sekumpulan orang yang sedang asyik di meja judi dengan penerangan seadanya di salah satu ruangan.

Vanya menoleh, memandang wajah pria itu yang hanya berjarak beberapa sentimeter darinya. "Berarti selama ini Anda memata-matai saya, dan tahu kalau saya—"

"Pernah bunuh orang di sini? Nyebarin narkoba? Ngembangin perjudian?"

Vanya melotot kaget. "Wah, bahkan Anda lebih berbahaya dari apa pun. Kenapa belum laporin saya ke polisi, kalau Anda tahu segalanya?"

"Baiklah," jawabnya singkat, tetapi bibirnya tersenyum.

Saat ini Vanya ingin sekali mengambil belati yang ada di saku. Ia menatap Vernon sengit.

Melihat itu, Vernon tertawa kecil. Ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. "Kita sama kok, selalu bawa senjata ke mana-mana. Jadi, kamu jangan berpikir bisa bunuh aku dengan mudah." Ia memutar-mutar pistol tersebut, mempermainkannya.

"Oke. Anda mau kita bunuh-bunuhan sekarang?"

"Enggak, Ai. Jangan berpikir terlalu jauh. Semua tak seburuk itu," ucapnya lembut sambil menyimpan pistol ke dalam saku celana. "Ayo, ikutin aku." Ia pun setengah berlari menuju tangga dengan langkah ringan. Vanya mengikuti, ada banyak pertanyaan di benaknya.

Mereka bersembunyi-sembunyi, jangan sampai tertangkap oleh orang-orang jahat yang sibuk beraktivitas di setiap ruangan dan lorong di gedung ini. Gedung ini terdiri dari dua lantai, lantai ketiganya atap yang terbuka bebas.

"Wah, indah banget!" seru Vanya takjub sambil memandang langit.

Mereka telah sampai di atap yang luas, dengan dinding-dinding rusak di berbagai sisi, dan tembok yang tersusun seperti pilar yang roboh. Pencahayaan pun datang dari sinar bulan yang bulat sempurna, terlihat terang. Sebenarnya sangat menakutkan, tetapi karena dua remaja ini sudah terbiasa dengan tempat-tempat ekstrem, jadi mereka biasa saja. Vernon duduk di salah satu dinding roboh di lantai. Ia membaringkan badan, berbantalkan lengannya sambil menatap langit. Vanya pun mengikuti. Mereka terdiam, menikmati indahnya langit malam. Bulan yang sempurna dengan bintang-bintang yang bertaburan di langit. Langit terlihat cerah dan bersih.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang