26. Rumah Hantu

133 30 64
                                    


Petugas menghentikan laju kora-kora secara paksa, membuat ayunannya seketika melambat. Vernon kembali duduk seperti biasa, dan Vanya mengembuskan napas lega. Akhirnya, kora-kora berhenti berayun.

Kaki Vanya bergetar. Ah, ia benar-benar merasakan hampir terjatuh tadi, sebab badannya terangkat. Bersyukur ada Vernon, kalau tidak, mungkin takkan berakhir baik.

Vernon menatap gadis di sampingnya yang masih membatu, lalu menyeru, "Sana turun!" Gadis itu pun menoleh perlahan. "Jangan halangi jalan."

"Kak, Bang, maaf sekali karena kami lupa memberi tahu jika bangku paling belakang seharusnya tidak diisi," kata seorang pria muda petugas kora-kora. Ia berkata khawatir dan menunjukkan ekspresi penuh penyesalan. "Waktu kami melihat Kakak dan Abang di atas tadi, kami baru ingat. Duh, untung ada pacar Kakak."

Untuk sesaat, Vanya dan Vernon terdiam menatap pria itu. Leon, Aya, dan Zanu yang sudah beranjak dari bangku kora-kora pun terdiam. Lupa berjamaah para petugas ini sangat membahayakan nyawa manusia.

"Saya bukan pacar Vernon, Bang," kata Vanya akhirnya.

Dasar, tidak berfaedah.

***

Mereka menuruni tangga. Insiden tadi sudah selesai dengan baik, karena yang terpenting Vanya dan Vernon selamat. Petugas juga berjanji untuk memperbaiki pengaman besi tersebut, sebelum kora-kora kembali dioperasikan.

Mata Vanya berbinar ketika melihat ke sudut lapangan. "Mari masuk rumah hantu!" serunya. Ia telah mendapatkan energi kembali.

"Gak mau naik biang lala?" tawar Vernon datar.

"Gak! Maunya rumah hantu!"

"Oke, aku beli karcis dulu." Vernon bergegas menjauh, ke tempat pembelian karcis.

Sedangkan Vanya, Aya, Leon, dan Zanu, menyusul dan berhenti di pintu masuk. Suara-suara menyeramkan pun terdengar semakin keras di telinga mereka, mulai dari teriakan, rintihan, tangisan, sampai tertawa cekikikan. Ditambah gambar-gambar menyeramkan memenuhi dinding rumah hantu. Ah, mencekam sekali.

Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin dingin. Rintik-rintik hujan menyapa lembut wajah mereka.

"Benar-benar horor," komentar Leon. Ia pun mendekat ke samping Aya, memayungi kepala Aya dengan kedua telapak tangannya. Ya, walau cahaya di sekitar rumah hantu ini remang-remang, ia masih bisa melihat Aya yang sedari tadi mengedip-ngedipkan mata karena air yang turun membasahi wajah.

Aya menoleh ke atas, lalu menatap wajah Leon. Ia pun tersenyum karena perlakuan pria tersebut.

"Benar-benar horor," ulang Zanu. "Itu Vernon lama banget, perasaan gak ngantre."

Vanya tersenyum kecil melihat adegan ketiga sahabatnya ini. Ia pun memilih untuk membalas ucapan Zanu. "Jangan-jangan dia ngegodain mbak-mbak yang jaga karcis?"

Tiba-tiba Vernon datang sambil mengernyit. "Aku bukan kamu," sinisnya.

Vanya cengengesan membalas pria tersebut. "Ayo, masuk!" Ia melangkah dengan semangat.

Gelap.

Itulah yang terlintas di pikiran mereka ketika baru selangkah melewati pintu masuk. Namun, tampak cahaya remang-remang di kejauhan. Suara-suara menyeramkan semakin terdengar jelas.

Aya pun terlihat kesal. "Hemat listrik banget mereka! Dasar!" Ia menoleh ke sahabat-sahabatnya yang berjejer rapi. "Keluarin ponsel masing-masing, kita pakai senter aja."

Mereka pun menurut dan menyalakan senter di ponsel. Tak lupa, Leon memulai merekam dengan kameranya. "Halo! Kali ini kami memasuki rumah hantu, nih. Tuh, denger, 'kan, suaranya berisik banget. Seram, sih. Lihat sekitar, hu ... seram." Ia mulai beraksi layaknya youtubers. Ia berjalan duluan sambil tetap berbicara dan merekam. Diikuti oleh Zanu dan Aya.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang