39. Kebenaran

118 29 16
                                    


"Abang gak nyangka kamu segila itu! Apa yang kamu pikirkan? Oh, ya, benar sekali. Kamu mau kita semua berakhir, 'kan?"

Vanya hanya memutar bola mata malas mendengar ocehan Zanu sepanjang perjalanannya menuju rumah. Sementara tiga sahabatnya yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing.

Zanu terlihat semakin kesal karena gadis itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia merasa diabaikan begitu saja. "Karena Vernon?" tuduhnya. "Ha-ha-ha, sudah sepuluh tahun kita memperjuangkan semua ini, dan hancur begitu saja gara-gara kamu jadi bucin?" ejeknya.

Langkah Vanya refleks berhenti. Ia menoleh ke arah pria di sampingnya dan menatap tajam. "Anda tahu sendiri, Bang! Bahkan jauh sebelum saya mengenal Vernon, saya memang sudah berkali-kali mencoba ...," ia pun memelankan ucapannya, " membongkar kejahatan Juand."

"Dan tidak pernah berhasil. Beruntung, kamu selalu di-ma-af-kan!" serunya, menekankan setiap kata yang diucapkan.

"Saya tidak tahu dengan jalan hidup saya ke depan. Apakah menjadi penerus Juand yang hebat, atau berakhir di penjara, atau mati." Ia pun memandang Zanu sendu. "Setidaknya saya mau mencoba melakukan hal yang benar di dalam hidup, walau hanya sekali."

Tatapan Zanu berubah sedih. Ia memegang kedua bahu Vanya, membuat gadis itu menghadap sepenuhnya. "Kalau kamu nekat, kamu bisa dibunuh Juand."

Bibir Vanya tersenyum miring. "Saya selalu di kelilingi orang-orang yang buruk, orang tua pun buruk. Walau begitu, satu hal yang saya syukuri dan yang saya banggakan dari diri sendiri." Ia menatap Zanu serius. "Saya tidak pengecut seperti Anda." Ia melepaskan kedua tangan pria itu dari bahunya dan melangkah pergi kemudian, meninggalkan pria itu yang terdiam.

***

Saat ini, Zanu duduk dengan gelisah di atas ranjang. Ia memerhatikan sekeliling kamar, lalu berpikir keras. "Jika Vernon ternyata manusia yang sangat teliti dan berbakat dalam hal mengintai ...." Ia mengernyit. "Alat-alatnya canggih, dan ...." Ia spontan berdiri. Berjalan cepat menuju meja dan membuka laci.

Terdengar suara berisik dari barang-barang yang digeser kasar di dalam laci. Ia pun mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak kecil berwarna hitam. Ada antena di atas benda tersebut. Benda itu bisa mendeteksi adanya alat sadap di sekitar, biasa disebut spy detector. Ia berjalan perlahan sambil melihat sekitar was-was. Ia menekan tombol, menyalakan alat itu.

Tit ... tit ... tit ....

Terdengar bunyi jika benda tersebut mendeteksi adanya alat sadap di kamar Zanu. "Sial!" umpatnya. Ia segera memelesat menuju stok kontak di dinding dekat ujung ranjang. Ada colokan listrik lima lubang yang tercolok di sana. Colokan listrik ini di bawa Vernon waktu pertama kali ke rumahnya. Waktu itu, Leon dan Vernon berkunjung ke rumah dan bermain di kamar. Karena semua colokan penuh oleh barang-barang elektroniknya, Vernon pun mengeluarkan colokan listrik yang dibawanya sendiri dari dalam tas. Sungguh, tidak ada kecurigaannya sedikit pun. Ia segera mencabut colokan listrik itu dari stok kontak, lalu bergegas membukanya dengan obeng.

Zanu termenung. Benar sekali, ini adalah alat sadap berbentuk colokan listrik. Orang yang menyadap bisa mendengar kapan saja dan tanpa batrai. Sehingga 24 jam non-stop. Bahkan, power-nya langsung menyala ketika dicolokkan ke listrik. Ia pun melempar benda itu ke atas kasur dan langsung menuju depan komputer. Berkutik di sana selama lima belas menit, sebelum akhirnya menggebrak keras meja dengan gusar.

***

"Abang mohon, Zea, Zia, Zio, kalian tinggal sama beliau untuk sementara waktu, ya."

Adik-adiknya itu hanya terdiam mendengar permintaannya yang mendadak. Pasalnya, tanpa alasan, Zanu meminta mereka pindah ke Yogyakarta.

"Beliau orang yang baik. Dulu beliau itu tetangga kita, tinggal di sebelah, dan bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Semenjak pensiun, beliau kembali ke kampung halaman." Zanu menghela napas berat. "Abang sudah membicarakan ini dengan beliau, dan beliau setuju."

Air mata Zea berlinang. "Kenapa tiba-tiba Abang menyuruh kami pergi dan meninggalkan Abang sendiri di sini?"

Zanu mendekat, membelai lembut rambut adiknya. "Abang janji, tidak akan lama. Abang akan datang untuk menjemput Adik-adik."

"Abang benar-benar gak bisa bilang alasannya, Bang?!" tanya Zia tegas. Sebenarnya gadis itu sangat sedih dan terpukul, tetapi ia berusaha tegar.

"Kalian akan tahu nanti. Abang mohon."

"Sudah, sudah! Ayo, kita segera berkemas." Zio berdiri. Ia yang tampak tidak banyak protes.

Zia menuntun Zea untuk memasuki kamar. Ketika Zio hendak melangkah, ia berhenti sebentar lalu menoleh ke arah Zanu, dan memandangnya serius. "Apa ini maksud dari ucapan Abang tentang ... bisa berakhir kapan saja?" Ia menatap tajam abang tertuanya itu kemudian sambil mengepalkan tangan.

Zanu hanya menatap sendu adiknya. "Semua akan baik-baik saja, abang janji. Kamu tolong jaga Zea dan Zia."

***

Vanya membuka mata. Ponselnya berisik sekali sampai-sampai membangunkannya. Ketika mengangkat kepala, ia merasakan pusing yang luar biasa. Badannya pun panas. Namun, ia tetap memaksakan untuk duduk. Ia memeriksa ponsel dan langsung melotot kaget. "Harus segera mengadakan pertemuan."

Ia bergegas turun dari ranjang, tetapi ia tidak bisa menyeimbangkan tubuh yang terasa sangat berat. Di sekelilingnya terasa berputar-putar. "Sial! Malah sakit di saat yang gak tepat lagi!" Suhu tubuhnya terasa sangat panas. Namun, ia tetap berusaha keras membuka pintu kamar, dan berjalan. Baru dua langkah dari kamar, ia jatuh tersungkur dan terlentang di lantai. Kepalanya pusing sekali, dan ia merasa dingin walau tubuhnya panas.

Tangannya terulur untuk mengambil ponsel dari saku, lantas menelepon seseorang. "X, tolong handle dulu," ucapnya serius, berusaha terdengar setegas mungkin dengan mata terpejam. Ia masih berusaha keras mengangkat badan, hendak bangkit. Karena baginya, apa pun yang dirasakan selagi masih bisa berjalan, itu berarti tidak sakit. Namun kenyataannya, jangankan berjalan, bangkit saja ia tidak bisa. Ia akhirnya tersenyum, melipat kedua tangan dan memejamkan mata. Menyerah. Tubuhnya benar-benar sakit saat ini.

Ia hanya berharap besok pagi sudah bisa berjalan kembali. Ia pun tertidur di lantai karena tidak akan ada orang yang akan merawatnya. Bagaimanapun, ia hanyalah seorang diri di dunia ini.

***

Bacod.Author

Vanya miris mulu perasaan. Ini saya nulisnya gereget banget. Ah, perang nih, perang. Wkwkk.

Terima kasih yang sudah mengikuti cerita ini dari awal. 💕Untuk yang baru gabung, selamat datang di kehidupan Apenjer. 😎

Jangan lupa vote, comment, dan rekomendasikan cerita ini ke teman-teman, yaaa.

Salam Apenjer,

SETIGA


INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang