Assalamu'alaikum. 😇
ADA JODOH!
Wkwkwkwk. Apa-apaan. 😆
Jangan kaget, chapt ini memang panjang. Karena cerita ini ada #drug, jadi di sini bakal bahas sedikit tentang Napza. Insyaallah gak bosan. Hehee
#PRESTASI, YES! #NARKOBA, NO!
Happy reading, Readers. 💘
***
Melawan keadaan takkan mengubah kenyataan. Justru semakin memperburuk. Jadi, jalani saja. Siapa tahu Tuhan luluh dengan keikhlasan dan usahamu. Hingga senyuman tulus bisa menjadi milikmu.
*****
Vanya menoleh ke belakang kemudian. Benar saja, Zico berdiri dengan setelan jas biru. Seringaian yang menghiasi wajahnya tak membuatnya takut sama sekali, justru ia berpikir itu menambah ketampanan mantannya tersebut—mantan pacar sekaligus mantan rekan kerja.
Ia mendekat, menghampiri Zico. Untung saja teman-teman di dalam kelas sedang asyik sendiri. "Kenapa?" tanyanya datar.
Zico tersenyum angkuh. Memandang gadis di hadapannya seperti lawan.
"Kamu mau apa?"
Tiba-tiba mereka tersentak dan langsung menoleh ke samping. Ada Vernon di sana dengan wajah dinginnya.
Zico tersenyum licik sambil memegang bahu Vernon. "Oh, Vernon. Aku ingin berbicara dengan Vanya." Ia menoleh ke arah Vanya sambil tersenyum miring. "Dan aku yakin, kamu dan semua teman-temanmu akan tertarik mendengar apa yang ingin aku sampaikan kepadanya," ucapnya penuh penekanan.
Vernon menghempaskan kasar tangan Zico di bahunya. "Jangan basa-basi! Ada apa?"
Bunyi ponsel mencegah Zico untuk berbicara. Ia menunda ucapannya, dan memeriksa ponselnya yang berdering. Seketika ia melotot kaget, sesekali bola matanya melirik Vanya yang hanya memasang ekspresi bodoh.
"Non, Anda harus percaya sama saya. Saya bisa mengatasi ini," ujar Vanya kepada Vernon. "Ketika saya gak sanggup, saya janji akan melapor ke kalian. Janji!" Ia mengatakan itu ketika pria itu terlihat hendak membuka mulut, memprotes ucapannya tadi.
Vernon mengalah. Sebelum kembali ke tempat duduk, ia menatap tajam Zico sekilas. Kini, Vanya dan Zico masih di ambang pintu. Suasana cukup ramai sehingga tidak akan ada yang mendengar perkataan mereka jika tidak benar-benar serius mendengarkan. Lagian, warga kelas XI IPA I ini tidak ada yang berlebihan, semuanya menghargai privasi.
Vanya memangkas jarak dengan Zico yang terlihat syok berat. Ia memperlihatkan layar ponselnya kepada Zico. Menampilkan pemandangan tiga orang wanita—seorang wanita setengah baya, seorang berumur 20-an, dan seorang berumur 10-an— yang sedang tersekap dengan kaki-tangan terikat di kursi dan mata tertutup.
"Ini video live, dan jika Anda berani berbuat banyak, mereka semua akan mati," ancam Vanya pelan, tetapi terkesan santai.
Tangan Zico mengepal kuat. Emosinya memuncak. "Jangan apa-apakan mama, kakak, dan adikku!" geramnya tertahan.
Vanya memutar bola mata malas. Tanpa menoleh ke arah Zico, ia mengangkat sebelah tangan dan menegakkan tiga jari lalu menggoyangkannya dua kali—memberi isyarat mengusir, menyuruh pergi.
Zico mengembuskan napas kasar. Ia berbalik, bergegas pergi ingin menyelamatkan keluarganya.
Sambil melihat kepergian pria itu, Vanya tersenyum miring. Ia mengangkat ponselnya, lalu berkata, "Ketika dia datang, habisi semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
INDICATOR OF LOVE (✔)
Teen Fiction[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Bayangkan jika saat ini kamu memiliki geng persahabatan yang terdiri dari dua cewek dan tiga cowok. Kalian sudah seperti keluarga dan selalu bersemangat untuk memecahkan kasus-kasus yang terjadi. N...