31. Siapa Bocah Itu?

149 29 79
                                    


Vanya tersentak ketika seseorang tiba-tiba duduk melekat di sebelahnya. Ia segera menyimpan flashdisk yang sudah selesai menyalin seluruh data dan membajak aktivitas komunikasi di ponsel. Ia menoleh, didapati wajah adik kelas merangkap gebetannya itu juga sedang menoleh ke arahnya. Yohan namanya, pria paling popular di kelas sepuluh.

Yohan mengerang ketika pantatnya terempas ke lantai, ketika Vanya mendorong tubuhnya kuat. "Apaan, sih! Dekat-dekat!" sergah Vanya tidak suka.

Sementara itu, Yohan menatapnya heran. "Akukan pacar kamu."

Vanya mengernyit. Ah, sejak kapan? Apakah ini benar? Sudahlah, tidak penting juga.

Ya, ia memang suka lupa perihal hal-hal yang seperti ini, karena banyak hal yang lebih penting yang harus ia kerjakan. Ia pun melemparkan pandangan ke depan. Melihat teman-temannya di balik sela-sela dedaunan tanaman rimbun yang menghiasi taman di depan kelas.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Yohan sambil menggenggam bahu Vanya. Ia sudah duduk kembali di samping gadis itu.

Vanya benar-benar merasa tidak nyaman. Ia paling benci skinship dengan pacar-pacarnya. Ia menatap tajam tangan pria itu yang masih di bahu, dan berganti melemparkan tatapan tajam ke wajah pria itu.

Yohan yang mengerti, menurunkan tangan. Namun, malah menggenggam kedua tangan Vanya. Membuat gadis itu refleks mengempaskan tangannya.

"Kamu gak suka sama aku?!" tanya Yohan heran, dengan menaikkan sedikit intonasi suara.

Vanya menatapnya sinis. "Saya tidak suka disentuh-sentuh."

Yohan tertawa kecil. "Akukan pacar kamu."

"Cuma pacar, bukan suami."

"Ayolah, Van! Bersikap normal, kayak orang yang pacaran pada umumnya."

"Emangnya orang yang pacaran kayak umumnya itu, gimana?" tanyanya jengkel.

Yohan tersenyum nakal, sambil mencubit kecil pipi Vanya. "Masa gak tahu?"

Demi Avatar yang menghilang saat dunia membutuhkannya, saat ini Vanya merasa amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Untunglah salah seorang sahabatnya datang, sebelum ia menghajar pria itu.

"Pergi, atau tanganmu yang lancang itu tidak akan berguna lagi." Zanu berucap datar dengan hawa dingin menakutkan. Melihat itu Yohan langsung melengos pergi.

"Udah dibilang jangan suka dekatin cowok, ganjen banget," ocehnya menusuk.

Vanya menoyor keras kepala pria yang lebih tinggi lima belas sentimeter darinya itu. "Apa salahnya membentuk banyak relasi?"

Pria itu meringis sambil mengusap kepala yang berdenyut. "Iya-iya, terserah kamu ... tetapi ingat, ya, jangan sampai kelepasan ngehajar orang lagi. Seperti yang kamu lakuin ke Tian—"

"Bawel, ya," sanggah Vanya cepat.

Zanu memandang gadis itu serius. "Apalagi besar kemungkinan, selama ini polisi sudah mengawasimu sedari kecil."

Vanya memalingkan wajah resah. Bukan, bukan karena ia takut. Ia tidak pernah takut dengan apa pun. Ia hanya merasa ... entahlah, hatinya merasa buruk.

"Apa yang ingin kamu ungkapkan, Dik?" Ia benar-benar bisa membaca bahasa tubuh gadis itu. Lagian mereka sudah dekat semenjak lama. "Kamu bimbang, karena ternyata kamu benar-benar dicintai oleh musuh kita?"

Vanya tersentak. Ia menatap sahabat yang sudah seperti abangnya sendiri ini dengan sendu. Ia membalas, "Saya tidak tahu, Bang." Ia membuang napas kasar. "Semuanya baik-baik saja. Tidak akan ada yang bisa mengganggu kita."

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang