Mata Hugo memerah, berair. Ia hampir putus asa ketika melihat gadis yang sering ia buat menangis itu membuang muka, selalu menghindari tatapannya. Sesuai saran Juan dia harus meminta maaf langsung pada Blue dan melarang gadis itu pergi.
Hugo sudah mengucapkan kata maaf dan Blue juga sudah memberinya anggukan. Tetapi, Blue tetap menggeret koper pink-nya ke arah taksi yang sudah berhenti di depan rumah.
"Tante Mona," panggil Hugo beralih menatap wanita seumuran ibunya yang berniat membuka pintu taksi. Dia memasang wajah memohon. "Tolong, anter Biru pulang kesini lagi."
Blue yang baru saja menyerahkan kopernya pada sopir taksi agar dimasukkan ke bagasi menghentikan gerakannya. Gadis itu menoleh cepat ke arah ibunya.
"Aku janji nggak bakal mintain permen cokelat Biru lagi. Aku juga janji nggak bakal keseringan nyuruh Biru beli susu. Dan aku juga janji nggak akan sering-sering bikin Biru kesel sama nangis. Aku bakal jadi... kakak yang baik."
Mata Blue mengerjap mendengar Hugo membeberkan semua hal itu. Dia yang cengeng itu merasakan matanya memanas. Apa Hugo benar-benar ingin ia tetap tinggal? Bukankah kemarin cowok itu mau dia pergi?
"Tante sih terserah Blue," balas Mona. Ia mengusap bahu Hugo yang merosot turun. "Terserah maunya gimana yang penting dia seneng."
Mona mengulas senyum keibuan, lalu melirik Blue yang mematung di belakang taksi. Hidung putrinya memerah. Mona tahu pasti anak itu sedang menahan diri untuk tidak menangis. Sebenarnya, dia juga kaget saat tiba-tiba kemarin Blue mau tinggal dengannya. Pasalnya, selama ini Blue selalu menolak.
"Jadi, gimana, Blue?" tanya Mona tersenyum. "Mau tinggal sama Mama atau kayak biasa Mama jenguk tiap semester?"
Blue menunduk membuat beberapa helai rambutnya jatuh menutupi wajah. Dia juga tidak tahu. Blue ingin tinggal dengan Mama, tapi dia juga suka tinggal di sini. Dia sudah nyaman. Tapi, Hugo...
"Maafin gue. Gue nggak jadi pengen lo pindah."
Blue mendongak dan mendapati Hugo sudah berdiri di sampingnya. Tanpa aba-aba cowok itu memeluknya.
"Biarin aja berita tentang lo yang tinggal sama gue tetep jadi fakta," katanya. "Jangan pergi! Entar rumah sepi nggak ada lagi yang rebutan remote TV sama Mbak Yuni."
Mau tidak mau Blue terkekeh mendengar itu. Namun, matanya sudah basah oleh air mata.
"Gara-gara itu doang aku nggak boleh pergi?"
Hugo mengerutkan alisnya berpikir. "Entar nggak ada yang nyiramin taneman kalo Bunda nggak di rumah dan Kang Epi libur."
Blue mencebikkan bibirnya mendengar jawaban Hugo. Enggak ada yang lebih manis gitu?
Melihat Blue yang sepertinya belum puas dengan jawabannya membuat Hugo kembali memutar otak. Dia menggigit ujung bibirnya, lalu berujar.
"Entar kalo gue kangen nonton film bareng lo gimana?"
Dan satu kalimat itu berhasil membuat senyum Blue terbit. Tanpa ragu gadis itu menganggukkan kepalanya.
"Oke, aku cuma liburan aja."
=====
Tbc. 16 Agustus 2019Hai, apa kabar?
Udah senyum? Ayo, senyum dulu coba 😊❤
Tuh, kan, jadi makin atraktif 💕Ini cerita baru tentang Hugo. Lanjutan dari Hugo's Journal. Semoga suka 😁
Tapi, jangan terlalu berharap sama cerita ini karena ya begitu hehe. Apalagi Hugonya. Please jangan ngarep boyfriend material ke dia 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...