Masih pagi dan rumah Hugo sudah ramai. Padahal, hari ini hari Sabtu. Mereka berdua libur sekolah dan Nela tidak pergi ke butik. Sedangkan, Damar masih harus mengurus pekerjaan di hari Sabtu. Biasanya seperti itu, namun kali ini tidak. Damar dan Nela akan pergi keluar kota mengajak Mbak Yuni. Ini bukan sesuatu yang direncanakan, jadi perempuan itu agak panik.
Subuh-subuh tadi mereka mendapat telepon dari asisten rumah tangga keluarga Damar yang mengabarkan bahwa Nyonya Eva—Ibu Damar—jatuh sakit. Alhasil, sepasang suami istri itu panik dan segera memesan tiket penerbangan tercepat.
"Bun, yakin ini aku nggak perlu ikut?" tanya Hugo saat kedua orang tuanya sudah keluar rumah.
"Nggak papa," jawab Nela menolak. "Nene Kakak cuma kecapekan aja kok."
Kalau gitu kenapa kelihatannya panik banget?
"Terus kenapa ngajak Mbak Yuni?" protes cowok itu.
"Kan deket sama kampungnya Mbak Yuni sekalian dia pulang," sahut Damar, menutup bagasi. "Terus Ayah sama Bunda honeymoon deh. Mengenang masa remaja."
Hugo tak tahan untuk tidak memutar matanya mendengar jawaban sang ayah. Harusnya dia tidak perlu bertanya.
"Jangan lama-lama!" larangnya.
"Ayah jadi pengen lama."
"Bunnn," rengek Hugo yang membuat Nela memukul lengan Damar memberi isyarat agar berhenti menggoda.
"Iya, Kak. Kerjaan kita kan disini," balas perempuan itu.
Di samping Hugo, Blue sudah memalingkan wajah dan menahan tawanya. Ini bukan kali pertama melihat pemandangan semacam ini, namun di telinganya masih tetap saja lucu. Orang tua Hugo memang begitu harmonis meski keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hampir setiap tiga bulan sekali mereka pergi menikmati waktu berdua.
"Mbak Yuni, beliin susu pisang dulu!" pinta Hugo.
"Udah mau berangkat ini."
"Astaga, ditinggal sama kulkas kosong!" kata cowok itu kesal. "Kalo Kakak kelaperan gimana, Bun?"
Nela tertawa geli, tidak memedulikan rengekan dan protesan putra semata wayangnya itu. Dia tahu Hugo hanya sedang mengulur waktu.
"Udah ah, belanja sendiri aja nanti. Kartu Bunda kan masih di Kakak," ucap Nela menghampiri cowok jangkung itu. Ia menarik Hugo agar menunduk untuk bisa ia cium. "Baik-baik kalian berdua."
"Bun, beneran jangan lama-lama!"
"Iya, Kakak."
Hugo mengangguk. "Salam buat Nene, cepet sembuh."
"Iya, nanti Bunda sampein."
Nela beralih pada Blue, lalu menepuk keningnya karena melupakan sesuatu. Untung saja sekarang dia mengingatnya.
"Blue, kemarin Tante beli baju buat kamu. Ada di kamar Tante. Nanti ambil sendiri aja ya?" Perempuan itu mencium pipi, lalu memeluk Blue. "Ada di atas meja rias paperbag warna item."
Blue mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Nanti pulangnya jangan malem-malem," pesan Nela mengingat anak-anak itu akan pergi ke pesta Naya. Keduanya mengangguk.
"Ayah masih muda. Awas kamu!" gertak Damar meninju pelan dada putranya. "Jangan nakal!"
Hugo mengerutkan kening tidak mengerti, namun pemuda itu mengangguk juga. Dia melambaikan tangan saat mobil yang ditumpangi kedua orang tuanya bergerak meninggalkan halaman.
"Biru, beliin gue susu!" perintah Hugo saat Blue hendak melangkah masuk ke dalam.
"Nggak mau," tolak Blue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...