Blue meringis mendengar Hugo belum juga berhenti mengomel sejak keluar apartemen Varo. Entah sudah berapa kali cowok itu mengumpat dan sebanyak itu pula Blue menegurnya.
"Cuih!" Hugo mendecih, lalu kembali bersungut-sungut. "Dari awal gue udah tahu itu mas-mas pasti nggak bener! Dasar dugong, kagak tahu budaya Timur apa?!"
Hugo menoleh, menatap Blue yang jadi mengerjap gugup, tertangkap basah sedang memandangi cowok itu. Namun, sepertinya Hugo tak begitu peduli. Cowok itu kembali bicara panjang lebar.
"Biru, keputusan lo udah bener banget buat tinggal di rumah gue. Nggak bayangin gue kalo lo tinggal bareng si Varongsok itu. Bisa-bisa lo diajarin yang enggak-enggak. Najis! Gue yang cowok aja benci ngeliat kelakuannya."
Blue tersenyum geli ketika Hugo tak lagi menatapnya. Dia kembali memandangi cowok itu dari samping. Ekspresi Hugo saat kesal itu lucu, manis, dan menggemaskan seperti anak kecil. Apalagi dengan kacamata bulat bertengger di hidungnya.
"Aduin Tante Mona aja! Bokapnya sekalian biar tuh bocah ditarik balik," usul Hugo.
"Hugo, Mas Varo bukan bocah lagi," ralat Blue terkekeh. Seingatnya ia dan Varo selisih enam tahun, itu artinya tahun ini cowok itu duapuluh satu. "Om Yasta udah sepakat buat nggak ikut campur keputusan Mas Varo sejak dia dua puluh."
Hugo mendengkus tidak suka mendengar itu. Ia merasa terganggu. Sangat. Namun, dia mencoba menguasai diri untuk tidak melarang-melarang cewek itu. Emang lo siapa? ejek sisi dirinya yang lain.
"Mas Varo nggak seburuk itu kok, Hugo," ucap Blue mencoba untuk membela Varo. "Yah, walaupun dia emang agak... liar."
"Teruss! Belain aja sana kakak lo," ujar Hugo sarkastis membuat Blue langsung mengatupkan bibir. "Besok nggak gue bikinin sarapan!"
"Ck, Hugo nggak asyik," protes Blue bergumam. Namun, sepertinya masih kurang pelan sehingga Hugo yang berjalan satu langkah di depannya masih dapat mendengar.
Melihat Hugo menoleh dan mendelik membuat Blue memasang cengiran lebar. Gadis itu cengengesan, lalu kabur ke arah tangga. Dia memekik, kemudian melangkah semakin cepat saat mendengar Hugo mulai mengomel.
"Iya, gue emang nggak asyik, mau apa lo hah? Lo kira gue temen main lo? Heh, Biru!" teriak Hugo memandang Blue yang sudah berdiri di ujung tangga lantai dua.
"Iya, iya, maaf!" ucap Blue masih terkikih.
♧♧♧♧♧
Pukul tujuh lebih Blue masih mematut dirinya di depan cermin. Surai panjangnya ia anyam, lalu digulung rapi dengan bantuan pita hitam. Di sisi kanan kepalanya ada beberapa hiasan mutiara-mutiara kecil. Baju yang dibelikan Nela sudah melekat di tubuhnya; sebuah blus putih berlengan panjang dan ruffle skirt hitam selutut. Kakinya belum dibalut oleh apapun, namun sebuah high heels putih sudah siap untuk ia kenakan.
Blue baru saja akan meraih alas kakinya saat melihat ponselnya di atas tempat tidur berdering, ada panggilan masuk. Gadis itu segera menyambarnya dan saat melihat nama Valenina tertera di layar kening Blue berkerut.
"Halo, Nin?" sapa Blue duduk di tepi ranjang.
"Blue, gue nggak jadi jemput lo ya? Gue udah di rumah Ije."
"Tunggu, kok rumah Ije?"
Kening Blue berkerut antara bingung dan cemas ketika mendengar suara Nina terdengar panik. Gadis itu berdiri, lalu menyambar ransel hitam kecil di atas sofa. Perasaannya mulai tidak enak.
"Lo nggak cek grup ya?"
Blue menggeleng, sesuatu yang tak dapat dilihat oleh Nina. Namun, sahabatnya itu seakan sudah tahu jawabannya.
"Ije kecelakaan."
"APA?!"
Blue berseru kaget dan panik. Napasnya langsung memburu mendengar kabar itu. Dengan tergesa gadis itu menggambil kaus kaki dari laci, lalu menyambar converse putih miliknya.
"Tapi, Ije baik-baik aja kan?"
"Iya, untungnya nggak perlu nginep. Ini dia udah di rumah. Ada anak-anak juga."
"Oke, aku kesana."
"Pesta Kak Naya?"
Sejenak Blue menghentikan kegiatannya memasang sepatu. Gadis itu mengerjap, lalu menghela napas. Dia tak begitu mengenal Naya. Bahkan, jika bukan karena Hugo gadis itu tidak akan mungkin mengenalnya. Jadi, sudah jelas bahwa ketua kelasnya jauh lebih penting dari sebuah pesta.
"Ini Ije, Nin."
"Bagus. Naren baru mau otw gue minta dia mampir tempat lo," kata Nina yang lagi-lagi dijawab anggukan Blue.
Setelah sambungan dengan Nina terputus, Blue sempat menyambar kotak kecil yang sudah dibungkus kertas kado bermotif buah stroberi dari atas meja belajar sebelum bergegas keluar.
"Hugo?" panggil Blue saat sudah berdiri di depan kamar cowok itu.
Blue mengusap layar ponselnya ketika ada panggilan dari Yuna. Ia meletakkan benda pipih berwarna pink itu di telinga kanannya.
"Halo?"
"Blue, rumah lo nomor berapa? Nina cuma bilang blok G nih," tanya Yuna di seberang sana.
Dari suaranya gadis itu juga terdengar panik. Blue tidak heran karena ini yang kecelakaan kapten mereka. Sudah pasti anak Sepuluh IPA Satu panik dan khawatir.
"Nomor sepuluh," jawab Blue bertepatan dengan pintu di depannya terbuka.
"Kenapa?"
Suara berat Hugo terdengar membuat Blue agak mendongakkan kepala. Dia sempat terkesima dengan penampilan cowok itu malam ini. Buru-buru Blue mengerjap, lalu menggelengkan kepala. Hugo melepas kacamatanya, rambutnya disisir rapi dengan model coma style. Kaus dan kemeja hitam melekat ditubuhnya, ripped jeans berwarna senada membalut kaki jenjangnya.
"Blue kita udah di depan."
Suara Naren di seberang telepon menyadarkan Blue sepenuhnya. Gadis itu mengangguk, lalu meminta untuk menunggu sebentar sebelum ia menutup sambungan.
"Aku titip ini buat Kak Naya," kata Blue menyerahkan kotak kecil di tangannya. "Kalo kamu nggak mau, kasihin ke Kak Juan."
Bukannya menerima benda yang diulurkan oleh Blue, Hugo justru bertanya, "Lo mau kemana?"
"Rumah Ije," jawab Blue memaksa Hugo menerima pemberiannya.
"Nggak boleh! Lo kan diundang ke ultahnya Naya," larang Hugo membuat Blue menggeleng.
"Ije kecelakaan."
Jawaban Blue membuat Hugo mengatupkan bibir. Ekspresinya mengendur. Pemuda itu mengembuskan napas, lalu mengangguk menerima titipan kado dari Blue.
"Mau gue anter?"
Blue menggeleng, lalu berbalik pergi. "Naren udah di depan kok."
Mata Hugo mengikuti arah kemana gadis itu pergi menjauh. Dia mengembuskan napas kasar. Blue terlihat mencopoti hiasan di rambutnya, lalu menarik pita hitam yang mengikat gulungan rambutnya.
Hugo menunduk, tanpa izin dia membuka kotak titipan Blue. Kelopak matanya melebar, lalu terkekeh miris melihat apa yang tersimpan di dalamnya. Sebuah jepit rambut lucu berwarna merah serta selembar foto candid dirinya dan Naya di lapangan samping net. Dalam foto itu keduanya terlihat saling tatap dengan senyum di bibir.
"Jadi, waktu itu lo tetep mencet shutter?"
♧♧♧♧♧
Tbc. 19 Desember 2019
Hai, lama tidak menyapa. Apa kabar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...