Jumat pagi Hugo duduk di meja makan dengan senyuman. Sembari menunggu Bu Sari dan Mbak Yuni selesai menyiapkan makanan, Hugo membiarkan otaknya bekerja untuk merangkai kalimat yang akan dia ucapkan pada Ayah. Hugo sudah membuat keputusan dan dia yakin dengan itu.
Di sebelahnya Blue menatap Hugo dengan agak panik. Sudah beberapa kali cewek itu membuka mulut untuk berbicara, namun selalu berakhir dengan keheningan. Namun, bagaimanapun Blue harus segera menanyakannya sebelum Damar dan Nela turun. Karena Blue tahu pagi ini Hugo akan memberitahu Damar tentang keputusannya.
"Hugo," panggil Blue
"Kenapa?" balas Hugo tanpa mengalihkan perhatian dari buku di tangannya.
"Aku... sebenernya aku," ujar Blue dengan gugup. Dia takut dan bingung bagaimana menyampaikannya bahwa sebenarnya ia tidak serius akan mengikuti seleksi olimpiade Astronomi.
"Gue nggak serius kok."
"Ha?"
Blue mengerjapkan mata. Harusnya kan itu dialog aku.
"Gue pilih Astronomi karena gue emang seneng. Bukan semata-mata karena lo," kata Hugo yang tanpa sadar membuat Blue mengembuskan napas lega.
"Maaf."
"Ha? Apa? Nggak, nggak papa," balas Blue cepat. Dia menggeleng dan mengibaskan tangannya. "Aku justru lega."
Hugo menutup bukunya, lalu tertawa. "Lah?"
"Sebenernya aku nggak pengen ikut seleksi olim Astronomi," aku Blue meringis kecil. "Yah, sebenernya aku nggak pengen ikut seleksi apa-apa sih."
Hugo mengangguk paham. Dia tahu bahwa Blue adalah jenis anak pintar yang tak menyukai ikut kompetensi apapun, kecuali jika memang dia menjadi pion terakhir yang bisa diharapkan.
"Volinya?"
"Ikut juga."
"Tapi, Hugo, nggak papa emang kalo kamu fokus dua-duanya?" tanya Blue sedikit cemas.
Pasalnya, saat tidak ada turnamen ataupun lomba akademis saja Hugo sudah cukup sibuk dengan banyak kegiatan. Jarang sekali cowok itu selesai kegiatan sebelum magrib. Dan di akhir pekan, beberapa kali cowok itu juga sibuk dengan kegiatan latihannya. Entah Kendo atau Karate.
"Kapan kamu istirahatnya?"
"Aelah, malem juga kan gue tidur. Pas kelas kosong juga gue bisa tidur."
Blue hanya mengangguk saja. Hugo kadang memang sangat keras kepala hingga tak ada yang bisa membelokkan keputusannya. Jadi, pada saat seperti itu Blue hanya bisa berperan untuk mendukungnya dan mengingatkannya saat cowok itu mulai melewati batasnya sendiri.
"Bu, tolong isi penuh ya?" pinta Blue seraya menyerahkan kotak plastik berwarna merah muda dari dalam tasnya pada Bu Sari. "Sama mau melon, susu, sama air minumnya yang 1 liter."
"Lah Blue saya belum ngomong ya? Permen cokelatnya abis kemaren pas belanja lupa belum beli," ujar Mbak Yuni yang datang dengan semangkuk sup ayam.
"Yahh," desah Blue agak kecewa. "Yaudah, banyakin aja deh melonnya, Bu."
Ketika dua perempuan itu sudah kembali ke dapur, Hugo menyerahkan sebotol susu pisang yang masih utuh pada Blue. Pemuda itu kembali membuka buku autobiografi di tangannya.
"Susu pisang juga nggak kalah enak."
Senyuman Blue tersungging dengan manis. Gadis itu menunduk hingga rambut kecokelatannya yang pagi itu dibiarkan tergerai jatuh menjuntai di samping wajah. Berhasil menyembunyikan pipinya yang merona.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...