Nina mengenal Hugo sepanjang ia mengenal Blue. Dan selama itu dia pikir Hugo hanya cowok menyebalkan yang suka bersikap sok cuek saat di sekolah. Namun, atas apa yang ia lihat pagi ini Nina sepertinya akan sedikit mengubah cara pandangnya pada cowok itu.
"Ternyata Kak Hugo emang sekeren itu ya," puji Nina terang-terangan.
Blue yang berjalan di samping gadis itu menoleh cepat. Raut wajahnya tak dapat berbohong jika ia kaget dan juga sedikit kesal.
"Nin, inget baru balikan sama Nino," ucap Blue cukup keras hingga membuat Nina tertawa.
"Yaelah! Santai, Blue. Lo kan tau gue cinta mati sama Nino," balas Nina.
Kali ini gantian Blue yang tertawa melihat Nina yang sudah senyam-senyum dengan pipi merona. Selama ini sahabatnya itu memang terkenal galak dan bermulut agak pedas. Namun, saat membicarakan Gamael Nino Radistya maka akan beda cerita. Yah, kadang cinta memang sehebat itu hingga dapat mengubah karakter seseorang.
"Tapi, emang Kak Hugo keren kan?" Sekarang ekspresi kasmaran Nina sudah berganti dengan seulas senyum tipis. "Dia nggak milih buat jadi pemberontak kayak di novel makanannya si Moza."
Blue tertawa kecil, lalu mengangguk. Sepertinya bukan hanya dia yang berhasil diracuni oleh drama picisan oleh Moza.
"Iya, Hugo emang keren."
Terlahir sebagai anak tunggal dari orang tua yang memiliki bisnis besar membuat Hugo tidak bisa memilih cita-citanya sendiri. Memang Damar tak memaksa, namun Hugo sadar diri. Dia tidak mungkin tega membiarkan apa yang sudah diusahakan ayahnya hilang atau berpindah tangan begitu saja.
Empat tahun tumbuh bersama, Blue tahu sekeras apa usaha Hugo selama ini. Dari kecil cowok itu sudah diarahkan untuk bisa dalam banyak hal. Entah itu akademik ataupun hal lain. Dan untungnya, kemampuan Hugo mengimbangi semua tuntutan itu.
Blue ingat saat pertama kali ikut latihan Karate, Hugo sudah ada di kyu keempat. Padahal, saat itu Blue masih kelas enam sekolah dasar. Dan bukan hanya itu, di dojo yang sama Hugo juga berlatih Kendo dan beberapa teknik bela diri lainnya. Sejak kecil Hugo memang begitu aktif, jadi Blue tidak begitu heran jika sekarang Hugo sudah setinggi itu.
"Eh, Blue, tapi pernah nggak keinginan Kak Hugo nggak sejalan sama Om Damar?"
"Pernah."
"Karena?" tanya Nina antusias.
"Jurusan SMA," jawab Blue singkat.
"Kak Hugo pengen masuk IPA?"
Blue mengangguk.
Kala itu untuk pertama kalinya Blue melihat Hugo begitu bersikeras dengan pilihannya. Padahal, sebelumnya Hugo selalu menurut dengan semua pilihan Damar. Cowok itu ingin masuk jurusan ilmu alam. Bahkan, Hugo sampai mengurung diri selama dua hari karena Damar tak menyetujuinya. Dan hal itu jelas saja berhasil membuat kedua orang tuanya luluh.
Namun, di hari kedua sekolah saat Damar berniat memberi tahu kepala sekolah untuk memindahkan Hugo cowok itu justru berubah pikiran. Hugo sudah ikhlas berada di kelas Sepuluh Sosial Satu.
Mau tahu alasannya? Naya. Iya, setelah tiga tahun akhirnya Hugo satu kelas lagi dengan cewek itu. Dan hal tersebut berhasil membuat Hugo melupakan keinginannya untuk belajar lebih jauh mengenai mekanika kuantum.
Sampai disitu Nina harus mengakhiri rasa penasarannya karena sekarang mereka sudah berada di depan kelas. Pembicaraan tentang Hugo cukup hanya berhenti di mereka berdua. Ia tidak ingin menyumbang bahan gosip di kelasnya.
Saat membuka pintu, Nina memutar mata ketika telinganya disodori suara melengking Jeka dan beberapa teman sekelasnya yang sedang membuat konser dadakan. Lain halnya dengan Nina, Blue justru tertawa kecil melihat Jeka dan Bima yang tengah menyanyi di depan kelas dengan menjadikan sapu sebagai mikrofon. Sepasang mata cowok-cowok itu terpejam, seakan menghayati setiap kata yang mereka ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...