39| Senin

77 14 4
                                    

Senin itu berbeda dengan kelas Hugo yang pagi-pagi sudah membuat masalah, Sepuluh IPA Satu justru tengah bersuka ria. Tiga teman mereka, Jeka, Ije dan Illia dipastikan akan berangkat sebagai perwakilan sekolah untuk olimpiade sains tanpa harus mengikuti seleksi tingkat sekolah. Karena mereka bertiga sudah pernah mendapatkan mendali di cabang yang sama sebelumnya, sedangkan untuk yang lain masih harus menunggu hingga akhir bulan nanti.

Jika biasanya anak-anak X IPA Satu mengadakan konser live dadakan sembari piket pagi, kali ini mereka hanya memainkan lagu dari pemutar musik dengan ditemani minuman bersoda dan beberapa makanan ringan. Sebenarnya, mereka tidak dapat benar-benar bersenang-senang.

Hari ini Jeka, Varo dan juga Bima tidak hadir karena harus menjalani hukuman skorsing mereka. Tetapi, untunglah, hari ini ketua kelas mereka tetap datang. Sehingga meski terlihat kosong IPA Satu tak benar-benar kehilangan arah. Jika memungkinkan, Ije memang tidak ingin melewatkan momen apapun dengan teman-temannya. Jadi, meski dengan perban melilit lengan dan betisnya Ije tetap masuk ke kelas.

"Sayang ya kita nggak lengkap," ujar Blue menatap beberapa kursi kosong di kelasnya dengan sendu.

"Gara-gara Deva Varo jadi diskors," sungut Moza merasa kesal mengingat kelakuan kakak kelasnya tempo hari.

"Sorry ya, Moz. Gara-gara gue..."

"Apa sih? Lo nggak perlu minta maaf, Luh. Yang salah Deva bukan elo," potong Moza sebelum Galuh menyelesaikan kalimatnya.

Galuh menatap temannya satu per satu, lalu tersenyum dan mengangguk. Galuh merasa beruntung berada di kelas ini. Dia tidak tahu apa jadinya jika keributan kemarin terjadi bukan di ruangan ini.

"Emang ngeselin banget sih Si Deva sampe Bima aja nggak tahan padahal kan dia udah kayak ningrat," timpal Sinta mulai menggosip. "Tapi, makin ke sini emang Bima makin bobrok juga sih ketularan Eja."

"Kenapa kok kamu menyebut-nyebut nama saya?" celetuk Eja dengan intonasi mengikuti melodi yang tengah mengalun ketika mendengar namanya disebut.

"Udah sana joget aja lo di pojokan sama Naren!" usir Lala yang kali ini membuat Naren yang tengah memutar-mutar bola basket menoleh.

"Ogah!" tolak Naren mentah-mentah.

"Sini, sini! Nge-dance bareng gua aja, Ja!" seru Yuna.

Lagu What A Wonderful World selesai diputar, lalu kemudian berganti dengan lagu pilihan Yuna. Musik upbeat milik salah satu girlgroup Korea menarik Sinta dan Hana untuk ikut bergabung dengan temannya. Meski tak ditemani kedua temannya, pagi itu Eja tetap unjuk bakat menari di depan kelas dan berhasil menghibur teman-temannya,

"Sepi juga ternyata pagi-pagi nggak ada suara sumbangnya Si Jeka," sahut Nina, lalu meneguk minuman berperisa jeruk di tangannya.

"CIE CIE! Nina kangen Jeka!" seru Eja menggoda Nina setelah mendengar perkataan gadis itu. Padahal, tengah asyik menari, tetapi Eja tak melewatkan kesempatan itu.

Nina yang malas berkeringat pagi-pagi membiarkan saja. Bahkan saat Naren ikut-ikutan menggodanya, Nina masih tidak terpancing.

"Eh, eh, tau gak? Katanya Kak Hugo berhasil bikin Kak Rena dihukum!" Lala yang baru saja kembali dari toilet bersama Illia berseru heboh.

Informasi yang dibawa gadis itu berhasil menarik perhatian hampir seluruh isi kelas terutama anak-anak perempuan. Lala menceritakan semua yang tak sengaja ia dan Illia dengar secara langsung dari mulut salah seorang anak Sebelas IPS Tiga.

"Gila, gila! Katanya sampe tampar-tamparan!" serunya.

Hesa mengecilkan suara pemutar musik saat perhatian teman-temannya fokus pada cerita Lala. Sekarang mereka semua berkumpul untuk mendengarkan berita yang bisa dibilang cukup menghebohkan itu. Pasalnya, selama ini Renaufalyn Ahta terkenal kebal aturan.

♧♧♧♧♧


Sembari menyedot susu pisang di genggamannya Hugo menyipitkan mata. Sejak beberapa menit lalu tatapan mata cowok itu tak lepas dari dua orang yang duduk di depannya. Hugo sepertinya berhasil mendeteksi sesuatu yang mencurigakan.

"Ngapain lo masih di sini?" tanya Juan yang mulai terganggu dengan tatapan Hugo.

"Lo juga masih di sini," balas Hugo, lalu menggeser fokus matanya. "Kok lo berani ngelaporin Rena?"

Kila yang tengah mengompres pipinya menggunakan botol minuman dingin balas menatap Hugo dengan kening berkerut. Cewek itu mengangkat kedua bahunya.

"Kenapa enggak?" balas Kila, meletakkan botol di tangannya ke atas meja dengan tidak santai. "Sumpah ya, baru kali ini gue ditampar orang!"

Hugo meringis kecil melihat kemarahan timbul kembali di wajah Kila. Dia mengangguk, tak merasa heran. Siapapun pasti akan marah jika berada di posisi Kila.

"Tapi, Rena emang udah waktunya buat disadarin. Nggak bisa dia seenaknya terus-terusan," tambah gadis itu.

Hugo dan Juan saling lirik, lalu memandang gadis itu meminta penjelasan. Membuat Kila yang ditatap seperti itu mengembuskan napas panjang dan menggeleng. Gadis itu seakan berkata, "Seriously? Lo berdua gak tahu kelakuan Rena?"

Seakan dapat membacanya Hugo dan Juan kompak menggeleng. Kedua cowok itu memang golongan yang tidak update soal berita-berita di Prida jika memang tidak berhubungan langsung dengan mereka.

"Rena sama kelompoknya nggak jarang nge-bully anak-anak, terutama adek kelas," tutur Kila menyampaikan apa yang selama ini dia dengar. "Tapi, selama ini nggak ada yang berani lapor."

"Naya?" tanya Hugo dengan suara yang tersendat di tenggorokan. Selama ini yang ia tahu selain di klub fotografi Naya bergaul dengan Rena dan Asya. Apa Naya juga termasuk dengan "kelompok" yang Kila sebut?

Untuk pertanyaan Hugo itu Kila tak dapat memastikannya. Dia sendiri tak tahu secara rinci siapa-siapa saja yang selama ini terlibat.

"Maybe," jawab Kila mengangkat kedua bahunya. "Karena bukan cuma sekali dua kali Rena ngelakuin hal semacam itu. Mungkin dari sekian banyak kasus Naya pernah terlibat atau mungkin juga nggak pernah sama sekali."

"Soal Meli?" tanya Juan mengingat salah satu gosip yang dulu sempat ia dengar soal salah satu temannya di OSIS saat kelas sepuluh.

Seakan tahu apa yang ingin Juan ketahui, Kila mengangguk. "Rena bikin semua temen sekbidnya ngejauhin dia dan Meli yang ngerasa nggak punya temen di OSIS milih buat keluar. Lo mau tahu alesan Rena ngelakuin itu?"

Hugo dan Juan mengangguk.

"Karena Meli lebih bersinar dan berhasil narik perhatian ketua sekbid mereka. Yah, intinya karena iri dengki yang sebenernya nggak penting sih kalo menurut gue."

Keduanya bungkam mendengar penjelasan Kila. Perkataan Jeka tempo hari kembali terngiang di kepala.

"Dunia cewek emang menyeramkan," celetuk Hugo menggeleng tak percaya.

Kila tertawa, lalu mengangguk. "Liat aja, pasti masalah ini nggak bakal selesai di sini. Rena nggak bakal terima. Hati-hati aja, Go. Kalo nggak gue ya pasti elo."

♧♧♧♧♧

Tbc. 17 November 2020

Setelah sekain purnama 😢

Apa kabar kamu yang masih baca cerita berdebu ini?

Our PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang