Karena Mbak Yuni benar-benar mengadukannya pada Nela, akhirnya Hugo harus berakhir dengan berangkat sekolah satu mobil dengan ayahnya. Nyonya Besar memang tidak mengizinkan ada umpatan kotor di rumahnya. Dan lagi Bunda juga tahu jika lagi-lagi Hugo membuat Blue menangis. Habislah dia. Uang jajannya dipangkas habis hari ini. Padahal, Hugo sedang menabung.
"Yah, nggak mau ngasih aku uang?" tanya Hugo sebelum keluar mobil. "Nanti aku ada latihan voli."
"Kan udah dibawain bekel sama Bunda," jawab Damar yang tidak akan luluh.
"Sama nanti aku juga mau nonton sama Biru," kata Hugo masih berusaha merayu ayahnya. "Iya kan, Biru?"
Sebelum Blue menjawab, Juan sudah lebih dulu menyahut seraya menyalami tangan Damar. Motornya sudah keluar dari bengkel, namun tadi pagi dia memutuskan untuk ikut mobil Damar saat Hugo tak mengizinkan Blue berangkat bersamanya.
"Biarin aja, Om. Nanti aku yang traktir," ucap Juan, lalu keluar.
Blue sudah berteriak senang mendengar hal itu. Dia menyalami Damar dan menyusul Juan turun. Hugo menjadi yang terakhir keluar dan wajahnya paling mendung di antara ketiganya.
"Pake ngibul lagi," cibir Juan saat mereka berdua berjalan beriringan. Tadi Blue memilih segera memisahkan diri menuju gedung kelasnya.
"Apa?" tanya Hugo dengan sebelah alis terangkat. Tadi mereka sudah berbaikan, tetapi sepertinya Juan belum benar-benar memaafkannya.
"Gue tau lo nggak jadi nonton sama Blue," jawab Juan yang sukses membuat Hugo bungkam.
Semalam Hugo memang mengirim pesan pada Blue jika ia tidak jadi mengajak gadis itu pergi menonton. Permintaan maaf tadi pagi selain karena sudah membuat Blue menangis juga karena ia membatalkan ajakan itu.
"Kok lo bisa tau?" lirih Hugo dengan suara semakin pelan. Lagi-lagi dia dihujani rasa bersalah.
"Iyalah, Blue cerita sama gue karena gue baik," balas Juan sengaja menyindir dan berhasil. Hugo mendengkus tak bisa protes.
Tanpa Hugo tahu sebenarnya kalimat Juan barusan tak sepenuhnya benar. Cowok itu tahu bukan karena Blue yang memberitahunya.
Tadi saat akan berangkat Hugo kembali masuk ke dalam rumah karena meninggalkan pelindung lututnya. Dan saat itu Blue menerima telepon dari entah siapa yang sepertinya teman sekelasnya. Entah apa yang ditanyakan oleh orang di seberang telepon. Blue hanya menjawab bahwa gadis itu tidak ada kegiatan apa-apa lagi setelah kelas selesai. Dan karena jawaban itu Juan menyimpulkan bahwa Hugo pasti membatalkannya.
"Hugo!"
Keduanya menoleh saat mendengar seseorang menyerukan nama Hugo. Juan mendengus malas ketika mendapati Naya sudah berdiri di samping Hugo dan menggandeng lengan pemuda itu.
"Pagi, Nay," sapa Hugo manis sekali sampai-sampai rasanya Juan ingin muntah.
Tak ingin berlama-lama melihat interaksi keduanya, Juan memilih untuk menepuk bahu Hugo, lalu mempercepat langkahnya.
"Gue duluan."
Naya menatap punggung Juan yang melangkah meninggalkan mereka. Dia bukan tidak sadar dengan perubahan sikap temannya itu. Ia tahu bahwa belakangan Juan selalu menatapnya tidak suka.
"Aku bikin salah apa sih sama Juan? Kok kayaknya akhir-akhir ini dia nggak mau banget kalo ngobrol berdua sama aku," keluh Naya yang belum sadar dengan kesalahannya.
Hugo tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Enggak kok. PMS aja paling dia."
Naya menoleh, menatap Hugo dengan mata menyipit. Dia sedang tidak berminat untuk bercanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...