15| Pesan

158 23 2
                                    

Hugo mengetukkan telunjuknya di atas meja. Keningnya berkerut menandakan bahwa pemuda itu sedang berpikir keras. Tatapannya tak lepas dari benda yang tadi sore ia beli menggunakan kartu milik ibunya.

"Kasih sekarang atau besok-besok?" tanyanya pada diri sendiri. Dalam hati Hugo menghitung sampai sepuluh sebelum akhirnya pemuda itu berdiri. "Sekarang aja."

Keluar kamar, Hugo melangkah menuju pintu yang terletak tak jauh dari kamarnya. Dia berdiri di depan pintu yang sama persis dengan pintu kamarnya itu, namun dengan tambahan pernak-pernik. Tangan Hugo terangkat untuk mengetuk, tetapi belum sempat melakukannya seseorang sudah lebih dulu membukanya dari dalam. Mata Hugo melebar kaget.

"Bunda?!"

Nela tersenyum geli melihat ekspresi putranya. Perempuan itu menutup pintu, lalu bertanya pada Hugo yang sudah bersiap untuk pergi.

"Ngapain Kakak malem-malem di depan kamar Blue?"

"Enggak, enggak ngapa-ngapain," jawab Hugo berbohong.

"Mau ngasih itu?" Nela melirik sesuatu yang terbungkus tas kulit berwarna pink di tangan Hugo. Perempuan itu tersenyum. "Tapi, Bluenya udah tidur."

"Yaudah, deh. Besok aja," putus Hugo. Pemuda itu teringat sesuatu. "Oh ya, Bun. Kartunya, sebentar!"

Nela menahan langkah Hugo yang berniat kembali ke kamarnya. Dia menggeleng. "Kakak pegang dulu aja nggak papa. Bunda percaya kok."

Hugo mengangguk, menggumamkan terima kasih. Lalu, cowok enam belas tahun itu merengek meminta ditemanin hingga tidur.

"Ya, Bun? Ayah masih ngurus kerjaan kan?"

Kekehan geli lolos dari bibir Nela melihat Hugo memeluk lengannya, lalu menariknya ke kamar pemuda itu. Cowok yang jauh lebih tinggi darinya itu langsung tersenyum lebar saat dia mengangguk.

"Gimana hubungan Kakak sama Naya?" tanya Nela saat putranya sudah merebahkan diri di atas tempat tidur dan menjadikan pahanya sebagai bantal.

"Baik-baik aja," jawab Hugo sudah memejamkan matanya. Menikmati usap tangan sang ibu di keningnya. Kebiasaan yang menjadi favoritnya.

"Bun," panggil Hugo setelah terjadi keheningan beberapa menit.

"Kenapa?"

Hugo membuka matanya. "Kalo misal ada cowok yang suka Bunda, padahal Bunda udah punya Ayah. Apa yang bakal Bunda lakuin?"

"Tau dari mana Bunda kalo ada cowok yang suka Bunda?" tanya Nala. "Cowok itu ngaku sendiri?"

"Enggak. Bunda baca buku diarinya."

Kening Nela berkerut. "Nggak sopan dong Bunda?"

"Kan nggak sengaja."

Nela tertawa.

"Bunda," rengek Hugo yang membuat Nela berhenti tertawa.

"Gantengan cowok ini atau Ayah?"

Kening Hugo berkerut, lalu menjawab dengan yakin. "Ayahlah."

"Kalo gitu Bunda pilih Ayah."

"Karena lebih ganteng?"

Nela menggeleng. Usapannya berpindah pada rambut Hugo. Perempuan itu tersenyum lembut saat kenangan masa lalunya muncul di kepala.

"Karena Bunda cinta Ayah."

Hugo berdecak membuat Nela tertawa. Putranya itu bangkit dari rebahannya, duduk menatapnya dengan wajah frustrasi yang rasanya ingin dia tertawakan.

"Kakak ganti deh kalo gitu," gerutu Hugo. "Jadi, misal Mbak Yuni pacaran nih sama Tukang Kredit Panci yang udah dia taksir lama banget. Eh, suatu hari Mbak Yuni tahu kalo ternyata Kang Epi suka sama dia. Mbak Yuni nggak bisa bales perasaan Kang Epi, tapi juga takut kalo sampe Kang Epi menjauh. Terus Mbak Yuni harus gimana?"

Our PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang