Nina memutar mata malas mendengar ocehan kakak kelasnya. Dia berkacak pinggang, mulai kesal karena waktunya terbuang sia-sia. Gadis itu mendelik saat kemarahannya justru dibalas dengan cengiran lebar.
"Kak, buruan bayar! Udah telat tiga hari nih."
"Besok deh ya? Pas ulang tahun Naya gue bayar, serius. Lo dateng kan?"
"Kelas kita ada acara, Kak," sahut Sinta yang sedari tadi sibuk memanjangkan lehernya mengintip ke dalam kelas.
"Batalin aja!"
Kesabaran Nina benar-benar habis. Cowok di depannya ini memang ingin dikasari sepertinya. Berdecak, Nina mengangkat kakinya untuk menginjak Vans hitam putih itu.
"Aduh! Belegug sia," umpat cowok berambut kecokelatan itu membuat Nina makin mendelik.
"Lah malah ngatain?!"
"Aduh, Moz! Tolongin!"
Moza menghela napas dalam. Pagi-pagi kesabarannya sudah diuji. Dia melirik malas cowok yang sudah berdiri di belakangnya, lalu menjulurkan tangan meminta Nina untuk tenang. Saat ini mereka tengah berada di kelas orang, malu rasanya jika harus membuat keributan lebih besar.
"Kak, buruan bayar napa sih?! Gue nggak butuh ocehan lo," omel Nina kesal.
"Bayar sekarang atau gue blacklist nama lo?" ancam Moza menengadahkan tangannya. "Atau gue minta Nina cegat lo di parkiran aja gimana, Kak? Dia sabuk cokelat btw."
"Boleh tuh, Moz. Itung-itung pemanasan sebelum gue latih tanding Minggu besok," sahut Nina dengan senyum lebar yang membuat cowok di depannya menciut.
"Cantik-cantik galak."
"Lo ngomong apa hah?"
"JUAN!"
Nina dan Sinta refleks menolehkan kepala saat orang di samping Moza melambaikan tangan. Nina berdecak malas ketika melihat Juan dan Hugo berjalan mendekat ke arah mereka.
"Ju, tolongin gue! Ada yang lebih galak dari lo," adu Opang pada Juan.
"Salah orang lo ngadu sama Juan, Pang," celetuk Hugo yang membuat Opang meliriknya. "Mereka kan komplotan."
Opang menjatuhkan rahangnya mendengar itu. Dia melirik Juan dan gadis bernama Nina itu bergantian. Saat melihat mereka berdua melakukan tos, Opang langsung misuh-misuh.
Mengabaikan Opang, Hugo menatap tiga gadis yang berdiri di depan kelasnya dan mengobrol dengan Opang. Dari ketiganya Hugo hanya mengenal Nina. Sedangkan, yang dua lagi ia ingat mereka yang kemarin bertemu di kantin. Namun, masih tak ia ketahui namanya.
"Ngapain lo disini, Nin?" tanya Hugo dengan kening berkerut.
"Temen lo tuh ngutang sama temen gue, Kak," sungut Nina mendelik.
"Bayar, Pang! Nggak malu apa lo ngutang sama adek kelas?" semprot Hugo geleng-geleng kepala. "Ck, lo malu-maluin kelas kita aja!"
"Ya, lo sebagai ketua kelas yang baik bayarin gue lah, Go," rayu Opang menaik-turunkan alisnya. "Cuma seratus lima belas doang kok."
Alis Hugo terangkat. "Beli apaan sih lo hah?"
"Liptint."
"HAH?"
Hugo dan Juan memekik bersamaan. Kedua cowok itu mengumpat, lalu dengan kompak menoyor kepala Opang yang sudah cengengesan.
"Ngapain lo beli begituan, Kambing? Lo pake malem buat mangkal ha?" tuduh Hugo memelotot.
Moza dan Sinta yang masih belum terbiasa melihat Hugo banyak bicara dibuat terbengong-bengong. Cowok yang tadi Sinta cari di dalam kelas sekarang ada di hadapannya, tengah memarahi pelanggannya yang sering telat bayar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...