Sepuluh IPA Satu sepertinya merasa sangat bersyukur karena Jeka masuk ke kelas mereka. Karena apa? Karena cowok itu berhasil mencairkan setiap suasana. Selalu ada saja yang diperbuat cowok itu untuk memancing tawa teman-temannya. Seperti saat ini cowok itu tengah meringis kesakitan karena telinganya dijewer oleh Bu Fitri—wali kelas mereka.
"Astagfirullah, ini Ibu jadi wali kelas anak SMA atau anak TK sih?"
"Adududuh, ampun, Mami Fitri yang cantik!" ujar Jeka memelas seraya membungkuk agar telinganya tak terlalu tertarik. "Ini semua gara-gara Arlan, Bu!"
"Lah kok gue?!" pekik Arlan yang mendengar namanya disebut. Dia yang tadinya tengah menahan tawa sekarang menatap teman sepermainannya itu dengan kesal. Dalam sehari Jeka sudah dua kali menyalahkannya.
"Bukan saya, Bu! Saya nggak ngapa-ngapain," ujar Arlan membela diri.
"Ini kan gara-gara elo yang ngeluh pengen upload foto bagus!" seru Jeka sembari mengusap telinganya yang sudah dilepaskan oleh wali kelasnya. "Gue sebagai temen cuma mau membantu."
Teman-teman sekelasnya menggelengkan kepala dan menepuk jidat mendengar pembelaan Jeka. Rasanya mereka ingin sekali menoyor kepala cowok itu.
"Ya nggak bawa-bawa daun kering ke kelas juga, Pinter!" cibir Nina yang membuat seluruh temannya tertawa, kecuali Jeka.
Jadi, alasan kenapa Bu Fitri menjewer Jeka adalah karena anak muridnya itu memindahkan setumpuk daun kering dari lapangan ke dalam kelas. Dan bukan hanya itu, Jeka juga menaburkan daun-daun kering itu dari lantai dua tepat di depan kantor kepala sekolah.
"Tapi, hasil fotonya bagus kan?" tanya Jeka tidak mau disalahkan. "Moz, lo pasti udah upload di Instagram kan?"
Gadis di bangku paling belakang yang belum melepas rol rambut dari poninya itu memasang cengiran lebar membuat Jeka berseru protes.
"Tadi fotonya Bu Diana juga bagus kan, Blue?" tanya Jeka lagi. Kali ini pada Blue yang sedari tadi mati-matian menahan tawanya. "Kayak lagi musim gugur di Eropa."
Blue mengangguk, lalu meringis ketika Nina memelototinya. Tadi dia memang sempat memenuhi permintaan Jeka yang menyuruhnya untuk memotret kepala sekolah mereka. Blue bahkan sampai meminjam kamera milik ketua Lensa.
Bu Fitri hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah ajaib anak didiknya. Ini bukan kali pertama kelas X IPA 1 membuat ulah. Seharusnya dia marah, namun saat melihat wajah-wajah bahagia itu dia mengurungkannya.
"Jangan diulangi lagi ya?" perintahnya yang langsung disanggupi oleh semua. "Sebagai hukumannya Jevian yang harus membersihkan semuanya. Dan poin Jevian akan dikurangi 2."
Bahu Jeka merosot lesu. Daunnya kan banyak banget. Rasanya ingin protes. Tetapi, Jeka tidak didik untuk menjadi tak bertanggungjawab. Dia akan menyelesaikan apa yang sudah ia perbuat.
"Saya juga harus dihukum, Bu! Karena saya lalai menjadi ketua kelas!"
Semua mata tertuju pada Ije yang sudah mengacungkan tangannya. Pemuda pendiam itu menawarkan diri untuk dihukum bersama Jeka.
"Saya juga, Bu! Karena saya sudah membantu Jeka!" Blue tersenyum setelah ikut mengangkat tangannya. Gadis itu terkekeh geli saat melihat Jeka yang berdiri di depan Bu Fitri mengirimkan simbol hati berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...