Kaki Blue berhenti melangkah ketika matanya menangkap bayangan seseorang yang sepertinya tengah menunggunya. Gadis itu mematung di tempatnya berdiri dengan seulas senyum tersungging di bibir.
Di bawah lembayung senja Blue mengagumi makhluk ciptaan Tuhan yang saat ini tengah membelakanginya, berdiri sekitar tujuh langkah dari posisinya. Rambut hitamnya, postur tingginya, punggung lebarnya, lengan dan betisnya yang terlihat keras karena sering aktivitas fisik. Blue... menyukainya.
"Biru!"
Blue mengerjapkan matanya pelan ketika pemuda itu berbalik dan menyerukan namanya. Dia masih bergeming sampai akhirnya ekspresi sebal pemuda itu membuat kakinya bergerak mendekat.
"Ayo, pulang!"
Entah kenapa Blue selalu merasa senang setiap kali mendengar Hugo mengajaknya pulang. Secara tiba-tiba hatinya terasa hangat hanya karena kalimat itu.
"Lapangan basket masih rame?" tanya Hugo tanpa menoleh. Blue mengangguk.
Sekali lagi Blue mengamati pemuda pemilik lesung pipi itu. Berjalan bersampingan seperti ini membuat Blue semakin sadar dengan perbedaan tinggi mereka. Blue sampai harus mendongak jika ingin melihat wajah pemuda itu.
"Langit ngajak lo balik bareng?"
Lagi-lagi Blue hanya mengangguk membuat Hugo menghentikan langkahnya. Pemuda itu berhenti menggosok rambutnya yang masih basah. Memutar tumitnya menghadap ke kanan. Diperhatikannya Blue yang juga tengah menatapnya.
"Kenapa diem aja sih?"
Mata Blue mengerjap. "Emang aku harus ngomong apa?"
"Apa aja," balas Hugo, memalingkan wajahnya. "Gue pengen denger suara lo."
Blue ikut memalingkan wajah dengan pipi merona. Jantungnya berdetak kencang hanya karena kalimat sederhana yang diucapkan Hugo barusan. Sepertinya dia terbawa suasana romantis yang disuguhkan oleh senja.
"Ayo, buruan! Kasian Pak Rudi udah nunggu lama," kata Hugo yang sudah melangkah pergi lebih dulu.
"Iya, iya!"
Kaki Blue bergerak cepat menyamakan langkahnya dengan Hugo. Sebenarnya dia ingin menanyakan sesuatu, tetapi sepertinya Blue harus menunggu sampai mereka sampai di rumah. Ekspresi Hugo terlalu tidak bisa dibaca.
"Tadi ada Naya?"
Blue cukup kaget saat justru Hugo yang kembali membuka obrolan. Blue kira mereka akan terus diam sampai tiba di rumah setelah situasi canggung beberapa menit lalu.
"Iya, tadi sama temen-temennya," balas Blue.
"Menurut lo, antara gue sama Langit siapa yang lebih cocok sama Naya?"
"Hah?"
Hugo terkekeh mendengar respons Blue. Dia menoleh, lalu mengulangi pertanyaannya. Pertanyaan yang tanpa Hugo tahu adalah pertanyaan paling sulit yang tidak ingin Blue jawab.
Langkah Hugo terhenti saat merasakan ujung kaus putihnya ditarik dari belakang. Saat menoleh, Hugo mendapati Blue yang menatapnya dengan cengiran yang justru di mata Hugo terlihat seperti ringisan.
"Boleh pass nggak?"
"Boleh." Hugo tersenyum. "Kalo yang cocok buat lo siapa?"
♧♧♧♧♧
Selepas makan malam Blue langsung menyembunyikan diri di dalam kamar. Dia menempel sticky note berisi catatan mengenai apa saja yang harus ia selesaikan di papan depan meja belajar. Setelah itu dia mengerjakan tugasnya ditemani dengan iringan musik dari ponsel. Karena tidak menggunakan earphone Blue menyetelnya dengan volume pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Jugendliteratur[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...