Dari Verbena Blue pulang diantar Abang ojek online sesaat setelah pertandingan selesai. Tawaran teman-temannya untuk pulang bersama ia tolak karena Blue sedang tidak ingin mengobrol dengan siapapun. Bahkan, tadi Blue juga sempat bertemu Langit. Pemuda itu juga menawarinya pulang bersama, namun Blue tolak.
Sore itu terlihat lebih gelap dari seharusnya. Sekumpulan mega mendung bergerumul di sana. Siap menumpahkan isinya ke bumi, membasahi Blue yang tengah menyusuri jalanan kompleks yang terlihat sepi. Tangan kanannya menenteng plastik putih berisi makanan ringan. Tadi dia memang sengaja berhenti di minimarket depan.
Sedikit lagi Blue sampai di rumah, namun sepertinya hujan tidak mau menunggu. Gadis itu berteriak, lalu berlari kecil saat air mulai berjatuhan dari langit. Sesampainya di rumah Blue langsung disambut teriakan khawatir dari Nela dan Mbak Yuni. Dia yang sudah basah diminta untuk mandi, menggunakan pakaian hangat, dan segera turun untuk meminum susu hangat.
Blue tidak akan mengutuk hujan karena telah membuatnya basah dan bersin berkali-kali. Dia justru bersyukur karena bisa menemukan alasan atas matanya yang sembap dan hidungnya yang memerah.
Setelah menghabiskan susu vanilanya, Blue meminta izin untuk kembali ke kamar dan Nela mempersilakannya dengan senang hati. Perempuan itu menyuruhnya untuk segera beristirahat. Namun, sesampainya di kamar Blue tidak bisa memejamkan mata. Gadis itu kembali menangis di balik selimut.
Entah hal apa yang Blue tangisi. Kameranya, kekalahan tim sekolahnya, Nina yang seharian ini sibuk dengan mantannya, dia yang kehujanan dan flu, atau Hugo. Blue benar-benar tidak tahu hal mana yang sebenarnya membuatnya sedih.
Masih dengan sesenggukan gadis itu mengecek ponselnya yang bergetar. Layarnya menampilkan nama Hugo. Kening Blue berkerut samar memikirkan kemungkinan kenapa pemuda itu meneleponnya. Dia memang penasaran, namun bukan berarti Blue akan mengangkat telepon Hugo.
Setelah panggilan terputus, Blue segera mengaktifkan mode pesawat. Ia menyimpan benda pipih itu di atas nakas, lalu kembali bergelung di bawah selimut.
Saat ini Blue merasa dirinya sangat menyedihkan. Orang yang dia sukai berpacaran dengan gadis lain dan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan, untuk sekadar mengakuinya pada Hugo saja tidak berani. Hingga akhirnya dia sakit hati dan menangis sendirian.
Jika waktu itu Blue pernah berpikir cukup dengan Hugo tidak menatapnya benci, sekarang sepertinya Blue akan menarik kembali kata-katanya. Dia tidak cukup dengan itu. Blue tidak bisa melihat mata Hugo berbinar karena gadis lain. Menyebalkan.
"Payah," cibir Blue pada dirinya sendiri.
Lelah menangis akhirnya Blue jatuh terlelap dengan iringan suara rintik hujan di luar jendela. Tanpa dia tahu seseorang di luar sana sedang misuh-misuh karenanya.
♧♧♧♧♧
Ketika makan malam, Blue turun dengan wajah memerah dan mata sembap. Gadis itu demam membuat seisi rumah panik. Tanpa mereka tahu bahwa Blue justru mengucap syukur atas demamnya. Setidaknya orang-orang tidak akan tahu jika ia habis menangisi hal yang tidak jelas.
Di meja makan sudah ada Damar dan Hugo. Entah kapan mereka pulang, keduanya sudah terlihat segar dan siap untuk makan malam.
"Om panggilin dokter ya?" tawar Damar yang melihat wajah Blue begitu kuyu.
"Nggak usah, Om. Aku nggak papa," tolak Blue. Dia membiarkan Mbak Yuni menjepit sebagian rambutnya agar tidak jatuh menutupi kening, lalu menempelkan plester penurun demam.
"Suara serak kayak kodok gitu padahal. Masih aja bilang nggak papa," sahut Hugo yang membuat Blue manyun.
"Aku cuma butuh tidur kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...