Biru : Aku nggak jamin bisa nemenin sampe OSP
Senyum Hugo mengembang. Dia membenarkan letak kacamatanya, lalu berniat untuk membalas pesan Blue. Namun, belum selesai mengetik gadis itu kembali mengiriminya pesan.
Biru : Tapi, kamu sendiri udh yakin emang mau pilih itu?
Biru : Nggak mau yang lain?
Biru : Geo? Ekonomi?
Biru : Atau turnamen voli mungkin?
Helaan napas lolos dari bibir Hugo dan hal itu cukup untuk menarik perhatian Juan. Pemuda itu berhenti merapikan bukunya.
"Lo ngasih tau Biru kita bakal ada turnamen, Ju?" tanya Hugo sebelum Juan sempat bertanya.
"Temen Blue yang voli bukan cuma gua sama elu," balas Juan yang dibalas cengiran oleh Hugo.
"Kenapa emang?"
"Menurut lo, gue ikut olim lagi atau enggak?"
Juan mengatupkan bibirnya. Masih mikirin itu ternyata.
"Karena gue partner voli lo, enggak," saran Juan jujur.
Juan tahu sesibuk apa persiapan dari OSS sampai OSN. Iya, Juan yakin jika Hugo ikut cowok itu pasti akan lolos sampai tingkat nasional. Tetapi, mau segenius apapun Hugo menurut Juan dia tidak akan bisa melakukan dua-duanya sekaligus. Atau fisiknya yang akan kalah. Seperti saat SMP.
Embusan napas lolos dari bibir Hugo. Dia melepaskan kacamatanya, lalu menyembunyikan wajah di lipatan lengan. Cowok itu benar-benar tidak tahu harus memilih yang mana. Jika bisa dia mau melakukan semuanya.
"Jujur ya, Go, gue masih bingung kenapa astronomi," ujar Juan dengan alis berkerut. "Kita anak sosial, nggak punya nilai Fisika."
"Bukannya tahun lalu juga?"
Langit yang duduk di meja depan ikut menyahut. Dia menyandarkan punggungnya, berbicara tanpa menoleh.
"Hugo kan punya." Kali ini Reksa yang menyahut. Dia memutar duduknya menghadap belakang. "Dia minatnya ambil Fisika."
"Oh iya," ujar Juan baru mengingatnya. Kurikulum sekolah mereka memang memberi kesempatan siswa untuk memilih satu mata pelajaran jurusan lain.
"Menurut gue, coba aja Astronomi, Go," saran Reksa.
Langit memutar duduknya. "Mendali emas Geo."
Mendengar saran ketiga temannya bukannya mendapat pencerahan Hugo justru semakin pusing. Dia mengacak rambutnya, lalu berdecak frustrasi.
'Jrengg'
Opang datang dengan gitar di tangannya. Cowok berambut kecokelatan itu menyanyikan lagunya sendiri. Lagu yang tidak pernah ditulis liriknya dan tidak pernah didengar oleh siapapun sebelumnya. Karena Opang mengucapkan apapun yang baru saja lewat di otaknya.
"Diem napa, Pang!" tegur Hugo yang merasa kepalanya semakin ingin pecah mendengar nyanyian Opang. Mending kalau merdu dan enak didengar. Lah ini suara orang jualan tahu bulat saja masih menang.
"Ululu kunaon? Sini carita ke Aa Opang," tawar Opang setengah menggoda.
"Minggat lo sana!" usir Hugo keki.
Opang terbahak, lalu memetik gitarnya sekali sebelum kemudian memasang wajah serius. Dia menyimpan gitarnya sembarang, lalu berdiri menggunakan lututnya. Ia melipat tangannya di atas meja Hugo.
"Mode serius on."
Hugo mengembuskan napas panjang, lalu mengatakan kebingungannya pada Opang. Semoga saja dia tidak menyesal sudah meminta saran pada cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Page
Teen Fiction[Sequel of Hugo's Journal] Saat menjabat menjadi ketua kelas XI IPS 3, takdir Hugo sedang dikaitkan dengan tiga nama; Naya, Langit, dan Blue. Jadi, begini sirkuitnya. Hugo -> Naya -> Langit -> Blue -> Hugo Hugo menyukai Naya yang menyukai Langit da...