36| Kamera

139 22 2
                                    

Lewat tengah malam dan kedua remaja itu masih duduk berhadapan di meja makan. Hugo melepaskan kemejanya, lalu mengacak rambut sembari menunggu Blue menanyakan sesuatu. Dia sudah siap menjawab pertanyaan apapun itu.

"Kamu putus sama Kak Naya?"

Sekadar informasi Blue sudah mempertanyakan hal itu sebanyak empat kali. Dan sebanyak itu pula Hugo mengangguk, namun sepertinya gadis itu masih saja tidak percaya.

"Kamu putus sama Kak Naya?"

"Biru, lo ngerti kan apa artinya iya?" tanya Hugo mulai malas menanggapi hal tersebut. Blue mengangguk. "Terus ngapain nanya mulu sih ha?"

"Kok bisa?"

"Ya... bisa."

"Kalian kan baru jadian," ujar Blue memberi jeda, menghitung berapa lama usia hubungan Hugo dengan Naya. "Baru juga sebulan lebih empat hari."

"Lah emang kenapa?" tanya Hugo mengernyit. "Lo tahu nggak? Opang, dia malah nggak pernah pacaran lebih dari sebulan."

"Ya kan itu Kak Opang," balas Blue tidak terima.

"Terus kenapa? Kalo Hugo nggak boleh gitu?"

Blue mengatupkan bibirnya. Benar juga sih, tapi ini kan Kak Naya. Kanaya Jelita Rahman. Masa secepat itu putus? Padahal, sukanya bertahun-tahun.

"Tapi, Hugo..."

"Stop, oke?" potong Hugo mengangkat sebelah tangannya. Cowok itu menghela napas. "Nggak jadi patah hati kan gue jadinya."

"Ha?"

Blue mengerjap, kepalanya berputar mengikuti langkah Hugo yang sudah beranjak. Cowok itu berjalan meninggalkan meja makan, meninggalkan Blue tanpa penjelasan.

"Tunggu sini bentar," ujar Hugo sebelum benar-benar pergi. Tanpa menunggu persetujuannya Blue sudah mendengar suara langkah kaki Hugo yang berlari menaiki tangga.

Tak butuh waktu lama hingga Hugo kembali ke meja makan, berdiri di sebelah kursi Blue dengan tangan menjulurkan sebuah benda yang dibungkus tas kulit berwarna pink. Blue tahu betul apa yang ada di tangan Hugo.

"Buat lo."

Blue mengerjap-ngerjapkan mata, kaget. Masih sedikit tidak mengerti dengan situasi ini. Dia memutar duduknya menghadap Hugo yang berdiri menjulang dengan tangan terjulur.

"Apa?"

"Kamera."

Tadinya Blue sudah akan memekik kegirangan mengetahui Hugo memberinya kamera. Namun, saat teringat dengan sesuatu yang mungkin saja menjadi alasan kenapa Hugo memberikannya membuat kesenangan Blue terasa tidak tepat.

"Aku nggak bisa terima itu."

"Kenapa? Kalo dari Varo lo bisa terima?"

Blue mengernyit. Kenapa jadi Varo?

"Kalau kamu masih merasa bersalah buat Kak Naya, nggak perlu. Aku udah maafin dia kok," kata Blue mengalihkan pandangannya dari Hugo yang sejak tadi tak putus menatapnya. "Dan aku kan udah bilang dia nggak perlu ganti."

Hugo memalingkan wajah, mengembuskan napas kasar. Cowok itu berdecak, lalu mengalungkan kamera itu di leher Blue. Ketika gadis itu berniat melepasnya, Hugo buru-buru menahannya.

"Sekarang kamera itu punya lo, gue beli buat elo. Terserah mau lo apain, yang penting udah gue kasih," kata Hugo. "Bukan karena Naya. Gue mana sudi nabung cuma buat nebus kesalahan orang lain."

"Tapi, kemarin kamu minta maaf buat dia."

"Ya kan itu cuma minta maaf," protes Hugo. "Gue nggak perlu ngisi liburan gue dengan gantiin Mbak Yuni."

Cowok berlesung pipi itu tersenyum masam. Sebelumnya Hugo pikir akan mendapati wajah berbinar Blue ketika dia membelikan gadis itu kamera. Tetapi, ternyata tidak semua hal sesuai dengan perkiraannya.

"Abis ini mau lo buang juga nggak papa," ujar cowok itu sendu. Dia sudah berbalik, berniat pergi. Namun, ketika ingat sesuatu Hugo kembali memutar tumitnya. "Eh, jangan deng! Itu belinya pake duit. Mending lo jual lagi aja."

"Hugo!" panggil Blue saat cowok itu berniat pergi.

"Apa?"

Tak memberi jawaban, Blue justru langsung melompat memeluk Hugo. Membuat cowok itu agak terdorong ke belakang karena tidak siap.

"Makasih ya," gumam gadis itu tersenyum lebar dengan pipi yang sudah merona merah.

Hugo mengerjap, masih agak kaget. Namun, saat sudah sepenuhnya sadar dan berniat membalas pelukan Blue lagi-lagi gadis itu sudah lebih dulu menjauh.

"Jadi, kamu nabung buat beliin aku kamera?" tanya Blue tak berani menatap Hugo. Dia bahkan mundur dua langkah menjauh dari cowok itu.

"Hm," jawab Hugo bergumam. "Lo pikir buat apa?"

"Kalung?"

Mendengar tawa Hugo membuat Blue mengulum bibirnya. Dia tidak bisa menahan pipinya agar tak merona. Jangan tanya sebahagia apa Blue saat ini ketika tahu alasan Hugo sesenang itu tempo hari saat menerima kartu dari Nela adalah dirinya. Bukan karena bisa membelikan kado ulang tahun untuk Naya.

"Yaelah, itu mah hadiah dari chiki."

"HA?"

Reaksi Blue membuat Hugi kembali tertawa. Mata cowok itu menyipit, lesung pipinya tampak. Meski dengan pencahayaan yang tak begitu terang, Hugo Aviceena Catra tetap menjadi pemandangan yang patut dipuji.

"Bercanda," ujar Hugo mengakhiri tawanya. Cowok itu tersenyum. "Naya alergi pake barang imitasi."

Mengetahui bahwa ucapannya berhasil mempengaruhi ekspresi berbinar Blue, Hugo segera menambahkan. Tangan cowok itu terjulur, mengajak rambut gadis itu.

"Tapi, tenang aja. Masih mahalan kamera lo kok."

Blue membulatkan matanya mendengar hal itu. Dia membuka mulut berniat untuk menyela. Bukan begitu. Dia tidak memikirkan hal tersebut. Mau kalung Naya lebih mahal pun bukan masalah untuknya. Namun, belum sempat sepatah katapun keluar dari mulutnya Blue kembali mengatupkan bibir. Oke, dia berbohong. Akan jadi masalah jika kalung Naya lebih mahal.

"Tadinya mau gue beliin lensa yang putih panjang itu sekalian," ungkap Hugo bercerita. Cowok itu meringis, mengingat kembali perbincangannya dengan pelayan saat membeli kamera. "Tapi, ternyata mahal banget. Gue mesti nabung setahun kayaknya atau jual motor Juan."

Blue tertawa. Dia sudah mengecek kamera yang dibelikan Hugo. Sebuah kamera DSLR berwarna putih dengan merek ternama. Sebatas pengetahuannya lensa kamera ini sudah bagus untuk sekadar menunjang hobinya dan Blue juga tahu harganya cukup mahal.

"Tadinya mau beli yang persis kayak punya lo, tapi gue nggak tahu tipe apa. Gue cuma tahu kamera lo warna putih," ujar Hugo.

Blue menggeleng. "Nggak papa, ini bahkan lebih bagus dari punya aku."

Keduanya saling tatap dan lempar senyum. Hugo tak putus memperhatikan Blue yang terlihat antusias dan sudah mulai mengoceh ini itu tentang kamera barunya. Akhirnya, reaksi Blue sesuai dengan harapan Hugo.

"Biru."

"Hm?"

Hugo sudah membuka mulut, namun memilih untuk kembali mengatupkannya. Suasana hati Blue sedang sangat bagus, harusnya ini menjadi waktu yang tepat untuk Hugo mengakui semuanya. Tentang perasaannya, tentang jurnal milik Blue. Namun, Hugo memutuskan untuk menyimpannya sedikit lebih lama lagi. Bukan, bukan sekarang.

"Nggak, nggak jadi."

♧♧♧♧♧

Tbc. 22 Februari 2020

Haloo, udah lama ya? Hehe

Bahagia selalu yaa ❤

Our PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang