31| Shock

136 21 5
                                    

Cowok itu menatap suram bangunan di depannya yang tampak sepi. Ada perasaan sedikit kecewa saat mendengar penjelasan seorang pria berseragam hitam yang berjaga di dekat gerbang. Katanya, orang yang dia cari sedang pergi entah kemana; berdua dan tak perlu ditunggu karena mereka akan lama.

Setelah mendengkus pelan, pemuda itu mengucapkan terima kasih dan pamit. Tidak ada wajah ramah, hanya seulas senyum tipis yang tak begitu kentara. Bukan karena dia marah, namun memang begitulah ekspresinya. Selama seminggu senyumnya bisa dihitung dengan jari.

Pemuda berkaus hitam itu berbalik menjauh dari sana, lalu mengambil ponsel. Selama beberapa menit, cowok dengan baseball cap putih menutupi kepala itu bertahan di luar gerbang. Beberapa kali melirik ke arah rumah yang berada tepat di samping rumah dengan pagar hitam di belakangnya.

"Lang, ngapain lu?!"

Cowok itu yang tidak lain adalah Langit menoleh ke samping kanan dan mendapati Juan datang dengan pakaian cukup rapi; kemeja hitam dan jeans belel.

"Nyari Hugo?"

Langit mengangguk.

"Pergi dia bareng Blue. Kata Pak Rudi sih bakal lama," jelas Juan.

Udah tahu. Namun, Langit lebih memilih untuk tidak menanggapinya. Pemuda itu menyimpan ponselnya dalam saku, lalu mengarahkan dagu ke arah mobilnya.

"Temenin gue beli kado," katanya.

Paham bahwa itu bukan sebuah permintaan, jadi Juan tidak perlu menjawab. Dia mengkori Langit masuk ke dalam mobil, duduk di kursi samping pengemudi.

"Kado buat Naya?" tanya Juan saat mobil Langit mulai menjauh dari rumah Hugo. Langit hanya mengangguk. "Dan kalo Hugo nggak pergi, lo bakal minta dia nemenin lo?"

Lagi-lagi Langit mengangguk. Membuat Juan menatapnya kaget dan tidak percaya.

"Wah," ujar Juan kehabisan kata. Pemuda itu tertawa. "Lang, Hugo pacar Naya kalo lo lupa."

"Terus?"

Juan mengembuskan napas lelah, lalu berdecak. "Lo minta tolong temenin sama cowoknya. Yang bener aja, Njir?"

"Biar nggak salah paham," jawab Langit enteng.

"Yang ada itu anak bakal pundung terus pilihin barang aneh buat lo," balas Juan mulai tidak santai melihat tampang temannya itu masih lempeng-lempeng saja. "Mending lo nggak usah ngado."

"Naya temen gue."

"Yaudah kado asal aja, nggak usah pusing. Kayak gue nih," ucap Juan jemawa.

"Tapi, ini sweet seventeen."

"Lah terus?"

Langit diam ditembak langsung seperti itu. Iya, juga memang kenapa kalau Naya ulang tahun ketujuh belas. Naya hanya temannya.

"Lo pengen sesuatu yang spesial?"

Pertanyaan Juan terdengar sinis dan memang begitu niatnya. Dia tersenyum miring, menoleh pada Langit yang pandangannya masih fokus pada jalan. Diamatinya perubahan ekspresi dari pemuda beralis tebal itu.

"Lo juga suka sama Naya?"

Kali ini Langit menoleh mendengar pertanyaan Juan. Dia mengembuskan napas panjang, lalu menggeleng. Langit memang ingin memberikan sesuatu pada Naya, tetapi bukan karena dia menyukai gadis itu.

"Kalo gitu jangan berlaku spesial dan bikin dia jadi berharap," ujar Juan mengembuskan napas panjang, ia menyandarkan kepalanya. "Lo berdua tuh temen gue."

"Gue udah tegas nolak dia."

Juan menoleh dengan alis terangkat. "Naya pernah ngaku suka sama lo? Secara langsung?"

Our PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang