7| Permintaan Maaf

167 30 4
                                    

Semilir angin menerbangkan rambut keduanya. Guna menghindari kebisingan kantin mereka memilih untuk pergi ke atap sekolah. Tempat itu sepi, hanya ada mereka berdua. Matahari yang bersinar cukup terik tak mereka hiraukan. Sepertinya hati mereka lebih panas.

"Kenapa tiba-tiba kamu berubah?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang dilontarkan Naya sejak mereka tiba di tempat ini lima menit yang lalu. Gadis berambut hitam panjang itu mendongakkan kepalanya agar dapat menatap Hugo yang berdiri di hadapannya.

"Aku nggak berubah," jawab Hugo menggeleng.

"Terus apa?!" pekik Naya merasa benar-benar kesal.

"Tiba-tiba kamu pake kacamata, tiba-tiba ramah, banyak omong, tiba-tiba gampang senyum, gampang ketawa, dan tiba-tiba kamu akrab sama cewek itu!"

Hugo masih diam memandang Naya yang tengah mengeluarkan uneg-unegnya. Pemuda itu mengulas senyum tipis ketika melihat mata dan wajah Naya memerah.

"Maaf."

Akhirnya, satu kata itu yang keluar dari bibir Hugo. Jujur dia tidak tahu harus menanggapi kemarahan Naya seperti apa. Ini adalah pertengkaran mereka yang kedua setelah berpacaran.

"Aku juga minta maaf."

Namun, siapa sangka satu kata itu berhasil mengunci tatapan mereka berdua. Naya melunak.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Naya tidak lagi meledak-ledak. Ia menatap Hugo dengan mata berkaca-kaca.

"Panas," ujar Hugo seraya menggandeng tangan Naya untuk pergi ke sisi yang terlindungi dari terik matahari. Mereka berdua duduk bersandar pada tembok. "Ngobrol sambil duduk aja ya?"

"Jadi, gimana?" tanya Naya terlihat sudah tidak sabar. Ia menyerongkan duduknya menghadap Hugo.

"Aku suka kamu bertahun-tahun."

Naya kesulitan menelan salivanya mendengar pengakuan Hugo. Naya tahu akan hal itu. Sejak bertemu lagi saat kelas sepuluh Hugo memang selalu membayanginya. Sama persis seperti saat mereka kecil.

Bukan satu dua kali Hugo menyatakan perasaannya, mengajaknya berpacaran. Namun, selalu Naya tolak karena mereka bersahabat dan karena satu alasan lain.

Sampai akhirnya semester lalu saat pemuda itu berulang tahun Naya memutuskan untuk menerima pemuda itu menjadi pacarnya. Menaikkan status mereka.

"Bahkan, aku masih suka kamu saat tahu dengan jelas kalo kamu suka Langit."

Naya tidak mengelak. Satu alasan lain kenapa dia menolak Hugo adalah karena Naya menyukai teman cowok itu.

"Dan dengan bodohnya aku bahkan niruin Langit demi kamu," ucap Hugo dengan senyum miris. Mengasihani dirinya sendiri.

"Hugo?"

Naya menatap cowok itu dengan tatapan tidak percaya. Lalu, otaknya memutar memori saat-saat ia masih duduk di sekolah dasar. Ia ingat bahwa dulu Hugo seperti Opang, penghidup suasana kelas bersama Juan. Ramah dan mudah tertawa seperti sekarang ini. Sangat berbeda dengan Hugo yang ia kenal di Prida. Naya bodoh! Kenapa lo bisa lupa?

"Tapi, sekarang aku udah pinter. Aku nggak mau nipu diri sendiri lagi. Capek, Nay," ujarnya diakhiri kekehan pelan.

Mata Hugo mengerjap pelan. Ditatapnya gadis di sebelahnya dengan seulas senyum hingga menampilkan cekungan di pipi kanannya.

"Jadi, kamu mau kita putus?"

Mereka bahkan belum genap satu bulan berpacaran. Sudah pasti Hugo menggeleng. Cowok itu membalikkan pertanyaan Naya. "Kamu mau putus dari aku?"

Our PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang