35| Tengah Malam

178 26 5
                                    

Hugo meringis ketika merasakan musik di sekitarnya berdentum terlalu keras. Semakin malam suasana pesta ulang tahun Naya makin ramai dan meriah. Bukan hanya anak sekolahnya yang datang, Naya juga mengundang anak-anak populer sekolah sebelah.

"Hugo, Ma bro!"

Fokus Hugo teralih saat seseorang menepuk bahunya. Cowok itu memelotot ketika mendapati Opang tersenyum lebar dan berusaha untuk duduk di kursi sebelahnya.

"Anjir, lo mabok, Pang?!" pekik Hugo ketika melihat Opang tertawa-tawa kecil dengan pandangan sayu yang tidak fokus.

"Santai, gue kuat kok!" sahut Opang ketika sudah berhasil duduk dengan bantuan Hugo.

Memang pesta ulang tahun Naya tahun ini diadakan di sebuah kelab yang berada di salah satu hotel ternama. Jadi tidak heran jika ada alkohol dan musik berirama keras semacam ini. Namun, saat masuk tadi setiap orang diperiksa tanda pengenalnya dan bagi yang belum cukup umur akan diberi cap; larangan mendekati alkohol.

"Lo udah tujuh belas emangnya?" tanya Hugo agak berteriak agar suaranya tidak kalah dengan musik yang sedang menggema di seluruh ruangan.

"Gue udah dua satu plus-plus," racau pemuda itu.

Hugo melirik punggung tangan Opang dan tidak menemukan cap yang sama dengan apa yang ada di tangannya. Cowok itu menghela napas, menyodorkan air putih yang baru saja ia pesan dari bartender pada Opang. Mata Hugo mengedar dengan ponsel menempel di telinga, mencari keberadaan Juan.

"Lo nggak usah aneh-aneh, Pang! Gue mau nyari Juan," kata Hugo berpamitan sebelum meninggalkan Opang yang sudah menempelkan pipinya di meja konter.

Setelah mendapat acungan jempol dari Opang, Hugo melangkah turun memperhatikan orang-orang yang tengah asyik berjoget. Ketika tak mendapati keberadaan Juan, langkah Hugo bergerak ke samping. Cowok itu terus melangkah sampai menemukan sebuah arena bermain. Ada cukup banyak mesin permainan di sana. Bahkan, ada meja biliar.

Dan Hugo menemukannya di sana. Di depan mesin minuman otomatis yang terletak tak jauh dari meja biliar. Bukan, bukan Juan yang Hugo temukan. Tetapi, justru dua temannya yang lain. Seorang cowok dengan baseball cap dan seorang gadis dengan gaun merah.

Langkah Hugo terhenti sekitar tiga meter dari tempat keduanya berdiri sambil berpelukan. Entah kenapa Hugo diam saja. Dia tidak memalingkan wajah ataupun bergerak untuk meninju pemuda berkaus hitam itu. Hugo hanya diam, memperhatikan dengan seulas senyum miring di bibirnya. Dia melihat bagaimana dua bibir itu saling mengejar. Bagaimana tangan itu bergerak memeluk pinggang, mengusap punggung yang dibalut kain brokat merah itu. Dia melihat semuanya.

Hugo masih menunggu kapan kiranya perasaan marah dan terbakar itu akan muncul. Namun, sampai dua orang itu menjauhkan wajah masing-masing Hugo tidak merasakan itu. Selain perasaan jijik sama seperti sore tadi saat bertandang ke apartemen Varo, Hugo tidak merasakan apapun lagi. Ketika menyentuh dada kirinya, pusat hidupnya masih berdetak dengan teratur.

"Gue pikir lo bakal ngamuk."

Suara itu terdengar dari arah kanannya. Hugo menoleh, mendapati Juan yang entah datang dari mana sudah berdiri di sebelahnya. Cowok itu menyeringai.

"Gue pikir juga gue bakal ngamuk," aku Hugo mengembuskan napas panjang.

"Katanya nggak suka, tapi nyosor juga," celetuk Juan yang membuat Hugo menoleh dengan kening berkerut.

"Tadi sore gue ketemu Langit, dia bilang nggak suka Naya," jelas Juan seakan mengerti apa yang dipikirkan Hugo.

'PLAK'

Suara tamparan membuat kedua cowok itu menoleh. Mereka membelalak kaget melihat Naya yang terlihat kecewa dan sangat marah. Di depannya Langit terlihat memegangi pipi kirinya dengan tatapan linglung. Tunggu, bukannya beberapa detik lalu mereka masih asyik berciuman?

Our PageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang