• Happy Reading •
Sejak kepulangannya kembali ke rumah, perempuan dengan perasaan hancur itu terus mengurung dirinya di kamar. Dia tak memedulikan siapa pun di luar kamarnya yang mencoba membujuknya untuk keluar kamar.
Arina terduduk di atas lantai yang dingin dengan menggenggam foto USG bayi kembarnya. Air mata masih terus mengalir dari kedua matanya. Kabar kematian bayinya belum bisa dia terima seutuhnya. Dia belum siap. Hatinya hancur berkeping-keping. Masa depan indah yang dia impi-impikan musnah, harapannya untuk hidup bersama anak kembarnya lenyap begitu saja.
"Maafin Mama, Sayang," gumam Arina dengan terisak pilu. Dia memeluk erat foto USG itu, menganggap jika itu adalah Arlan, anaknya yang telah pergi.
Arina marah pada dirinya sendiri yang tak bisa menjaga anaknya, namun dia lebih marah kepada Arjuna yang menyebabkan ini semua terjadi. Rasa kecewanya kepada Arjuna belum sepenuhnya menghilang lantaran Lisa, dan kini laki-laki itu kembali membuat Arina terluka.
"Mama belum sempet lihat kamu, Sayang. Mama emang bukan Mama yang baik buat kamu."
Lembaran di tangan Arina sudah basah akibat tetesan yang bersumber dari mata Arina. Perempuan itu terlihat sangat menyedihkan.
"Ayang, buka pintunya, please!"
Arina tak memedulikan panggilan Arjuna yang kini tengah mencoba untuk membujuknya. Laki-laki itu sejak tadi berdiri di depan pintu kamar Arina, menunggu istrinya membukakan pintu. Arjuna bahkan mendengar dengan jelas racauan Arina yang terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Hal itu membuat Arjuna semakin hancur.
"Arin, aku mohon sama kamu. Kamu belum makan dari pagi."
Lagi-lagi hanya isakan yang Arjuna dengar dari luar kamar. Arina masih tidak mau menyahuti dirinya, Arinanya benar-benar kecewa kepadanya.
"Kamu pengin aku ngapain biar kamu mau keluar, Ayang? Ardan juga butuh kamu," rayu Arjuna yang masih dapat didengar oleh Arina.
Hampir saja Arina melupakan Ardan. Dia masih memiliki satu lagi anak yang membutuhkannya. Dia tidak boleh egois dengan mengurung diri di kamar seperti ini. Ardan membutuhkannya. Namun, dia belum siap jika harus bertemu dengan Arjuna. Dia masih sakit hati karena Arjuna yang akan menikah dengan Lisa.
"Arin, Sayang. Lo harus makan, dong. Lo nggak mikirin Ardan?"
Arina dapat mendengar suara Satria yang hampir putus asa membujuknya. Sejak tadi, Farah, Satria dan Arjuna sudah berulang kali bergantian membujuknya. Namun, Arina masih tetap diam saja.
"Apa gue telfon Ayah biar lo mau keluar?" ancam Satria. Dia yakin Arina akan menurut jika ditangani oleh Brian. Ayahnya itu selalu bisa menghadapi Arina bagaimanpun keadaannya.
"Gue mau keluar kalau pembunuh itu pergi, Bang. Gue nggak mau lihat dia di sini."
Di luar, Arjuna memejamkan matanya saat mendengar suara Arina. Dia menahan mati-matian rasa nyeri di dadanya saat Arina berkata seperti itu. Dia sakit, sama seperti Arina. Namun, Arjuna lebih hancur. Dia kehilangan anaknya, dia juga bakal kehilangan Arinanya.
"Rin, lo nggak boleh ngomong kayak gitu. Arjuna itu suami lo," peringat Satria.
"Nggak apa-apa, Bang. Gue pulang aja," ujar Arjuna menuruti Arina.
Sebenarnya, dia masih ingin di sini untuk menemani Arina, menjelaskan semuanya pada perempuan itu. Namun, Arjuna tidak boleh egois, Arina tak menginginkannya. Jika dia terus di sini, Arina bisa saja semakin membencinya.
"Lo hati-hati," pesan Satria.
"Ya."
Setelah berkata seperti itu, Arjuna menghampiri Farah yang saat ini sedang menggendong Ardan. Laki-laki itu memaksakan senyumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, My Girl!
Teen Fiction𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 ✓ Anak SMA seperti Arjuna dan Arina memang suka penasaran, selalu bilang ingin cepat dewasa, dan gemar mencoba banyak hal. Namun, pernikahan jelas bukan salah satunya. Dua manusia itu menentang habis-habisan keputusan kel...