58. Hancur

16.6K 528 7
                                    

  • Happy Reading •


Arina sudah dipindahkan ke ruang perawatan pasca operasinya tiga hari yang lalu. Keadaan perempuan itu sudah membaik, namun belum ada tanda-tanda jika dia akan bangun dari tidur panjangnya. Keluarganya silih berganti untuk menjaga Arina setiap harinya. Kecuali Arjuna, dia tak pernah mau pulang dan bersikeras untuk tetap di sisi Arina.

Sinta sudah berusaha keras untuk membujuk Arjuna agar putranya itu pulang dan mengistirahatkan dirinya, pun Farah, Brian, Bagas dan Satria. Namun, sifat Arjuna yang keras kepala tak membuat usaha mereka berhasil.

"Ayang, kamu kapan bangunnya? Kamu nggak bosen ya tidur terus?"

Arjuna duduk di kursi yang terletak di samping brankar Arina, tangannya menggenggam tangan Arina dengan pandangan yang sedikitpun tak teralihkan dari istrinya. Rutinitasnya tiga hari terakhir ini hanya mengajak Arina berbicara dan menunggu Arina membuka mata.

"Aku salah, Rin. Kamu boleh hukum aku apapun, tapi kamu cepetan bangun."

"Kamu nggak mau lihat anak kita, ya, Rin? Ardan ganteng banget kayak aku, bibirnya persis sama kamu, Rin."

Ya, seperti yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Anak mereka Arjuna beri nama Ardana. Ardana Jun Bagaskara. Arjuna tak membutuhkan persetujuan Arina untuk menetapkannya, karena nama itu adalah usulan dari Arina sebelum mereka lahir.

"Jun, lo kok nggak makan, sih?"

Suara Satria yang menyerukan namanya membuat Arjuna mengalihkan pandangannya dari Arina. Laki-laki itu menatap kakak iparnya tanpa minat.

"Nggak laper, Bang."

Satria menghela napasnya kasar. Selalu seperti ini. Makanan yang Sinta bawakan dari rumah untuk Arjuna tidak dimakan oleh Arjuna. Dan selalu tersisa sia-sia.

"Bohong banget nggak laper. Lo makan dulu, gih! Biar Arin gantian sama gue."

"Nggak usah, Bang. Lo aja yang makan."

"Jun, lo jangan kayak gini, dong! Lo nggak boleh sampai sakit, lo juga belum nengokin Ardan dari kemarin, kan?"

Arjuna menatap Arina sekilas. Istrinya terlelap sangat damai dengan wajah pucatnya. Namun, hal itu tak mengurangi kadar kecantikan dari wajah Arina.

"Titip Arin, ya, Bang. Gue ke Ardan dulu."

Arjuna keluar dari ruang rawat Arina dan berjalan menuju ruangan Ardan. Di mana bayinya itu ditempatkan bersama bayi-bayi yang lain. Air matanya meluruh saat memandang bayinya yang berada di dalam inkubator. Seharusnya Ardan di ruangan Arina. Namun, dokter berkata jika sistem pernapasan Ardan terganggu karena kecelakaan kemarin. Jadilah sekarang Ardan dirawat di sini sementara.

"Sus, saya boleh gendong anak saya?" tanya Arjuna pada seorang perawat yang menjaga ruangan bayi itu. Perawat muda itu mengangguk dengan senyum ramahnya.

"Anak bapak sudah stabil, Pak. Namun, belum boleh dipindahkan bersama ibunya."

Arjuna mengusung senyumnya. Selanjutnya, laki-laki itu membawa Ardan ke dalam gendongannya. Air mata lagi-lagi menggenang di pelupuk matanya, dia senang bisa menggendong Ardan sekarang. Namun, dia juga sedih karena seharusnya tak hanya Ardan yang dia gendong, tapi juga Arlan, anaknya yang tidak dapat diselamatkan.

"Maafin Papa, Sayang. Papa nggak bisa jagain kakak kamu," gumam Arjuna disertai kecupan-kecupan kecil yang dia berikan di pipi Ardan. Bayi mungil yang sedang tertidur itu menggeliat kecil dalam dekapan Arjuna, membuat bibir Arjuna melengkungkan sebuah senyuman.

Oh, My Girl!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang