Part 7

8.4K 1.1K 39
                                    

"Kerjakan sepuluh soal ini. Satu jam lagi Bapak kembali, semua buku sudah harus dikumpulkan," mandat Pak Yoongi, pengajar jam pelajaran pertama di kelas XII MIA 1. Perintah itu direspon beragam bentuk protes. Karena tanpa intro maupun prolog, Pak Yoongi langsung saja menjejalkan mereka dengan tugas bertenggat waktu, dan berniat meninggalkan kelas selama enam puluh menit ke depan.

"Pak!" Renjun bangkit dari bangkunya, tetapi ternyata Pak Yoongi telah meninggalkan kelas--mau jumpa Pak Taehyung dulu--. Cowok itu membanting tubuhnya dan membuang napas kesal. Dia mampu mengerjakan soal - soal itu, tapi dia sedang sangat membutuhkan jam pelajaran penuh hari ini. Dia bahkan telah bersumpah takkan meracau selama para guru mengajar, demi menghindari atmosfer yang akan menyulitkannya.

"Wah, wali kelas macam apa itu." Chani yang duduk persis di depan Jeno ikut terperangah. Para guru pasti sengaja menunjuk Pak Yoongi, pengajar senior yang masuk dalam jajaran para guru angker, untuk menjadi wali kelas mereka.

Karena meskipun penghuni setiap kelas selalu diacak tiap kenaikan kelas, atau tepatnya dikelompokkan sesuai hasil rapi mereka, tapi segenap guru telah memprediksi untuk jurusan MIA, bahwa ruang inilah yang akan menjadi sarang paling ribut sekaligus melelahkan bagi tiap pengajar selama setahun ke depan. Sudah pasti karena empat makhluk dari total tujuh agitator Neo Culture, menempati kelas ini. Entah mantra apa yang mereka lafalkan hingga mampu menyabet nilai rapor yang nyaris sempurna secara keseluruhan, keempat - empatnya! Alhasil mereka pun bersatu dikelas yang sama.

Namun karena sasaran protes mereka telah melarikan diri, terpaksa para murid meraih buku serta alat tulis, lantas kualitas menggarap tugas tersebut. Terkecuali beberapa siswa yang malah sibuk membahas hal lain. Membaca gelagat itu, Jeno langsung menyambar pena dan seketika berlagak serius menekuni deretan soal yang disalinnya.

.
.
.
.
.
.
.

"Lo kenal cowok imut tadi?" Serangan pertama datang dari Felix, yang duduk persis di samping Jeno. Bisikannya terdengar tenang seperti biasa, tetapi ada nada tajam yang terselip di baliknya.

Chani dan Jisung yang turut mendengarnya segera memutar badan.
Chani lantas menimpali, "Iya, cari gara - gara aja tuh anak. Padahal masih kelas sepuluh."
"Si Hyunjin juga kayak jelangkung aja tiba - tiba muncul." Jisung berdecak, tapi langsung meringis geli saat mengingat sesuatu. "Tuh anak itu sempet - sempetnya pula nagih cokelat."

Chani ikut tertawa. "Kecil - kecil begitu, nyalinya boleh juga," ucapnya salut. Namun mendadak merasa ganjil. Dia mengamati Jeno uang tetap bergeming dalam kesungguhannya menyalin soal. "Jen, tumben Lo anteng? Lo nggak dendam Sam tu cowok?"

"Cowok yang mana?" Balas Jeno apatis. Jelas saja ketiga temannya langsung saling pandang, heran. Pertanyaan balasan Jeno pasti terdengar lucu sekaligus aneh karena orang lain yang sedang menguping pun akan tahun Cowok mana yang mereka bicarakan.

Namun Jeno butuh penguluran waktu. Dia harus mencari kamuflase. Dia memang dendam dengan cowok imut itu, tapi dia perlu waktu untuk berpikir karena mangsa kali ini bukan cowok imut biasa.

"Cowok imut itulah," sahut Jisung, begitu berhasil keluar dari keterpanaannya.
"Oh..." Jeno bergumam santai, lantas menyesap sebutir permen kopi. Raut wajahnya yang tenang itu sungguh bertentangan dengan cengkeramannya yang semakin kuat pada bolpoin, menghasilkan goresan tinta yang semakin tebal, dan dipastikan menembus ke halaman - halaman berikutnya. "Gue pikir - pikir dulu," ucapnya kemudian.

.
.
.
.
.
.
.

Kalimat itu jelas semakin memicu kebingungan disekitarnya. "Tumben," suara Felix terdengar menyentak saking janggalnya. Tangannya mendadak berhenti memainkan rubiks, dan mulutnya berhenti mengunyah permen. Bertahun - tahun ia mengenal Jeno, dan hampir selalu terlibat dalam segala tindak - tanduknya. Ketika ada yang berbeda dari sahabatnya itu, meskipun samar, tentu saja dua yang paling peka, apalagi jika perubahan sedrastis ini. "Hari ini Lo beda. Kenapa? Biasanya Lo yang paling vokal kalau ada yang berani ngeremehin kita."

Tak! Sebuah bolpoin hitam seketika terhempas. Keras. Langsung menyedot seluruh perhatian penghuni kelas ke arah Jeno. Terlebih ketiga sahabatnya.

Mereka mengenal Jenis sebagai sosok yang paling lihai mengontrol emosi. Terkadang intonasinya memang meninggi dan sorot matanya sering kali menusuk, tetapi hanya sebatas itu. Tak pernah di luar kendali, termasuk saat berkelahi. Jeno tahu kapan harus melawan dan kapan harus berhenti. Karena itulah, sulit membaca perasaannya. Jeno seperti manusia berselihung tirai-- orang-orang dapat mendengar dan menatap siluetnya dari luar, tapi tak tahu seperti apa wujud aslinya. Jadi, ketika Jeno tak dapat merendam amarahnya dan melemparkan bolpoin hanya gara - gara masalah sepele begini, pasti ada yang sangat salah.

Jeno berusaha mengembalikan kendali dirinya. Seraya mencari alibi yang rasional untuk tindakannya. Hatinya sudah cukup terbakar amarah. Kalau semakin dikompori, dia tidak yakin akan membiarkan cowok imut itu pulang dengan utuh hari ini.

Mata Jeno lantas menatap tajam satu persatu manik rekannya. "Kalian bertiga mau ngebales dia pakai rumus yang mana? Gaya lama? Itu cuma unik anak IIS. Trik khusus? Itu buat anak MIA, meski belum pernah kepakai. Tapi faktanya, dia bukan anak MIA, dan buka juga anak IIS. Jadi gue perlu waktu buat nyusun strategi baru buat junior."

Ketiganya terdiam, sibuk dengan benak masing - masing. Benar juga, ini memang harus pertama mereka menjadi Kakak kelas--mau tingkah senioritas itu telah lama mereka lakoni di SMA ini. Jadi, ini situasi baru.

Menerjemahkan reaksi itu sebagai persetujuan, Jeno sedikit lega. Setidaknya, ia masih punya waktu. Tetapi saat kembali bersuara, amarah yang berusaha diselubunginya itu tetap terdengar jelas. "Kita liat nanti. Kalau dia masih nantangun, apalagi berkomplot sama anak IIS, statusnya kita ubah jadi buronan!" Tandasnya lalu menyabet Bulpoin lain.

Tetapi, baru sepatah kata yang ditulis, gerakan tangannya mendadak berhenti. Dia kembali mendongak, ketiga kawannya langsung menyambut dengan pandangan bertanya.

Otak Jenius seketika berpikir cepat. Jika car frontal tergolong kasar, masih ada satu cara lain. Tindakan yang terbilang manis, tetapi sarat peperangan. "Ni, Lo masih langganan?"
"Langganan?" Chani mengernyit. "Apaan?"

.
.
.
.
.
.
.

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang