Part 43

3.5K 574 109
                                    

Pagi ini Renjun menatap cermin agak lama. Sejak percakapan super-tidak-biasa bersama Jeno kemarin, pikirannya jadi sering kacau. Matanya tertuju lurus pada penjepit rambut Moomin yang menghiasi rambutnya. Ujung-ujung penjepit rambut plastik itu sudah mengelupas dan desainnya jelas sekali untuk anak-anak, tapi Renjun tanpa ragu memakainya.

Semalam Jeno yang memberikan penjepit rambut itu padanya. Katanya, benda itu satu-satunya benda dari masa lalu Renjun sebelum dia menjadi bagian
dari keluarga Jeno. Gara-gara penjepit rambut ini juga Renjun kembali diserang sakit kepala hebat dan mimpi aneh.

Awalnya ia pikir itu sekadar mimpi, tapi saat mengingat benda itu muncul di dalam mimpinya, Renjun yakin itu ingatan masa lalunya,meski ia belum bisa mengingat apa pun selain itu.
"Lo nggak sarapan?" Kepala Jeno menyembul di sela-sela pintu yang terbuka. Renjun tertegun, tapi lekas meraih tas dan menyusul keluar. Keanehan Jeno terus berlanjut. Entah Renjun harus bersyukur atau khawatir, tapi sejak ditiban kayu, sikap Jeno berubah. Tatapan cowok itu tak sedingin
dulu. Cara bicaranya juga lebih enak didengar meski tak juga ramah.

"Mulai hari ini gue antar-jemput lo langsung dari rumah ke sekolah. Lo nggak perlu naik bus lagi."
Mata Renjun membulat, ia langsung mendongak.
Benar kan! Kakaknya ini tidak beres.

"Kenapa?" tanya Renjun spontan. Jeno mengangkat alis, lalu mendengus. "Bukannya itu yang lo mau selama ini?Sekarang semua orang udah tau siapa lo, jadi nggak ada gunanya lo naik bus. Lagian, seperti yang dulu lo bilang, kita satu sekolah, lebih hemat."

Renjun sesaat melongo, tapi senyumnya lantas merekah.
"Kayaknya kita harus menggelar pesta nih, Jen. Atau lebih tepatnya, syukuran."


.
.
.
.
.
.
.

Seperti yang sudah mereka duga, kedatangan Jeno bersama Renjun menghadirkan kekaguman seisi sekolah. Sekarang semua orang baru benar-benar percaya bahwa mereka memang bersaudara. Dan mendadak, lebih banyak orang mengenal Renjun dan bersikap baik padanya. Terutama para
senior kelas XI MIA. Sementara sebagian guru yang belum mengetahui kabar terhangat itu menatap ngeri pada Renjun yang turun dari motor si biang onar nomor satu di sekolah.

Guru PKn-nya bahkan terang-terangan bertanya mengapa Renjun bisa akrab dengan cowok-cowok badung di sekolah ini. Dengan geli Renjun menjawab.
"Dulu saya nggak suka durian. Dari jauh aja baunya udah menyengat, durinya juga tajam dan bisa nyakitin. Tapi ternyata... isinya lembut dan manis." Renjun tertawa.

"Sekarang durian jadi salah satu buah favorit saya, Pak."

.
.
.
.
.
.
.

Jaemin dan Hyunjin saling pandang saat mereka menunggu Renjun di depan kelas pada jam istirahat. Renjun keluar dengan senyum merekah. Namun yang mengejutkan adalah jepit di rambut tipis Renjun. Jepit Moomin itu... yang mereka belikan di pasar malam dua belas tahun lalu untuk seorang anak cilik yang mereka cari-cari selama ini.

Mereka terdiam. Namun, mereka sepakat setelah ini mereka harus menemui Jeno dan menanyakan apa maksudnya memberikan jepit itu sekarang, di saat mereka sendiri sudah mengetahui faktanya dari Tante Baekhyun dan kebingungan bagaimana harus menyelesaikan masalah rumit
ini.

"Ayo, katanya mau makan bareng?" Renjun menarik lengan baju dua cowok itu. Ia pun melangkah riang menuju kantin. Bisa dibilang sejak ia menjadi NeoCulturan, hari ini adalah mood terbaiknya.

"Elgo udah agak jinak?" curhatnya dengan geli sambil mengantre di kedai bakso. Renjun enggan duduk menunggu karena semangatnya sedang berlebih. Jaemin dan Hyunjin kembali saling tatap sesaat, lalu tersenyum kikuk.
"Syukurlah."

Renjun menatap langit-langit kantin dengan senyum yang tak kunjung hilang.
"Sekarang kayaknya gue udah pantes berharap hidup gue bakalan happy ending." Jaemin s­ontak mendengus, membuat Renjun men­oleh bingung.

"Happy ending itu relatif, Njun"
"Kok bisa?" Renjun mengernyit.
"Contohnya?" Jaemin tersenyum penuh arti.
"Kalau l­u akhirnya nikah sama Jeno, mungkin itu happy ending buat kalian, tapi nggak buat gue." Renjun ternganga.

Hyunjin malah terbahak-bahak. malah terbahak-bahak.
"Lo baru aja confess?" Hyunjin mengacak-acak rambut Jaemin. Wajah Renjun berubah semerah apel.

"Apaan sih? Nggak mungkin lah. Dia abang gue." Renjunmengalihkan pandangannya. Jaemin menatap kaca ger­bak di depan.

"Hidup kadang penuh kejutan, Njun" Hyunjin menyikut pelan Jaemin, mengingatkannya agar tidak membuat Renjun semakin bingung.

"Lo sekarang lebih mirip peramal dibanding psikolog." Jaemin tertawa. Lantas segera memesan untuk mereka
bertiga. Mata Renjun tak sengaja melihat isi d­ompet Jaemin. Ia langsung membelalak.

"Pinjam sebentar, Kak." Renjun buru-buru menarik dompet itu. Jaemin dengan bingung membiarkannya. Namun saat menyadari ke arah mana tatapan Renjun, Jaemin dan Hyunjin s­ontak memucat. Jaemin buru­-buru mengambil kembali dompet itu.

"Itu barusan..." Renjun setengah speechless.
"…Foto kecil gue, kan?"
"Pak, kami duduk sana ya," ucap Jaemim, menunjuk bangku panjang tak jauh dari pintu.

"Tunggu sini sebentar ya, Njun. Biar gue sama Hyunjin yang pesenin lo minum." Renjun duduk diam dengan ekspresi campur aduk. Ia yakin itu foto dirinya. Sama seperti fotonya yang di rumah, foto saat ia berumur enam tahun. Tapi foto itu tampak lebih besar dibanding f­oto di d­ompet Jaemin.

Bagaimana mungkin?
Jaemin dan Hyunjin berjalan tergesa­-gesa menuju ger­obak lain dengan panik. Mereka menoleh cemas pada Rnejun yang masih terlihat bingung.

"Mampus kita."

.
.
.
.
.
.
.

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang