Part 37

3.6K 607 119
                                    

"Dia adik gue."
"WHAT?!" pekikan itu tak terelakkan. Seketika semua yang ada di lapangan, koridor, maupun balkon terkejut. Termasuk Mark, Jaemin, Hyunjin, Felix, Jisung, Chani, dan lebih-lebih Renjun. Mata Renjun membulat maksimal. Ini patut diabadikan di buku rekor hidupnya. Seorang Jeno yang menyuruhnya tutup mulut selama tiga tahun masa SMP-nya, kini membongkar kedoknya sendiri hanya dalam waktu tiga hari! Kesenyapan itu dibuyarkan oleh tawa nyaring Siyeon.

Matanya balas menatap Jeno.
"Nonsense!" Jeno membuang napas kasar dari bibirnya. Karena sudah telanjur jatuh, dia rasa dia harus total. Cowok itu merogoh sakunya dan mengeluarkan dompet. Semua mata di dekat sana pun terpana saat Jeno menunjukkan selembar foto tepat di depan mata Siyeon yang seketika seperti sedang melihat hantu. Renjun pun menebak-nebak dari belakang, sepertinya itu foto keluarganya. Meski selama ini Renjun tak tahu Jeno menyimpan foto mereka di dompetnya.

"Puas?" Jeno menoleh sekilas pada Renjun seolah menujukan tanya itu untuk dua orang sekaligus, lalu menepuk-nepuk bahu Siyeon yang masih mematung.

"Makanya, lain kali lo lebih baik denger peringatan gue sejak awal. Karena harusnya..." Jeno lantas meraih bola basket di ujung lapangan dan kembali ke hadapan Siyeon sambil mendribel bola.

"Kata dibalas kata.... Rumor dibalas rum­or. Dan serangan fisik..." C­ow­ok itu menghentikan pantulan bolanya. Tatapannya menghunjam Siyeon yang sampai mundur selangkah karena terintimidasi.

"...apa pun bentuknya, juga harus dibalas fisik," lanjut Jeno, lalu kembali memainkan bolanya.
"Itu aturan main paling benar antara MIA dan IIS, lo harusnya udah tau itu." Jeno melirik Pak Jimin yang tengah berjalan cepat dari ruang guru ke arah mereka sebelum tatapannya kembali pada Siyeon.
"Ini peringatan terakhir gue."

.
.
.
.
.
.
.

"Waaah, sesuatu banget lo, Jen". Jisung menggeleng-geleng takjub mengikuti kawannya menuju kelas.
"Lo nggak usah kuliah deh, man! jadi aktor aja." Jeno mendengus seraya menoleh dan merangkul karibnya yang lebih pendek darinya itu.

"Sori, bro aslinya gue nggak berencana membuka kedok secepat ini. Rencananya
gue pengin ngasih tau kalian dulu sebelum bikin pengumuman kayak tadi. Tapi yaaa-"

"Emang asem lo, Jen " Chani menoyor kepala Jeno lantas tertawa dan menyikut kawannya itu.
"Bilang-bilang kek dari dulu kalau punya adik seimut itu!"
"Gue ogah jadi ipar lo!" omel Jeno terang-terangan. Lantas Jeno menoleh pada Felix yang sejak tadi hanya mengikuti dalam diam. Namun Jeno menyipit curiga saat mendapati senyum penuh arti di bibir sahabatnya itu.

"Apa yang lagi lo pikirin, Lix?" Felix mendongak. Sorot matanya berkilat usil. "Dia bukan adik kandung lo, kan?" tembaknya seketika, membuat langkah Jeno terhenti. Begitu pun Chani dan Jisung yang kompak menatap Jeno menunggu jawaban. Wajah Jeno dan Renjun memang amat tidak mirip.

"Kenapa?" Jeno tersenyum salut.
"Karena kakak kandung nggak mungkin ngelakuin hal kejam sama adiknya, kayak yang gue lakukan sama Injun?" Alisnya terangkat. Felix menggeleng masih sambil tersenyum cowok itu melangkah maju dan menepuk bahu Jeno, lalu berbisik.

"Keliatan, man dari cara lo natap dia." Jeni terenyak. Senyum kemenangan Felix semakin lebar. Cowok itu bertepuk tangan puas.

"Oke, sekarang semuanya make sense. Misteri terpecahkan."

.
.
.
.
.
.
.

Gue ada rapat. Ntar jam 4 gue jemput lo di Kafe Cokelat.

Renjun mencibir kesal. Lagi dan lagi! Dia pun membalas cepat.

Tapi cepetan! Bener loh ya, jemput gue LANGSUNG
di Kafe Cokelat. Jam 4!

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang