Part 34

3.5K 558 36
                                    

Jeno kembali merapatkan tubuhnya di sudut kiri balkon. Lokasi paling strategis untuk mengintai. Lalu, lagi-lagi dia melirik arlojinya. Bel masuk baru saja berbunyi. Sudah hampir setengah jam dia berdiri di sana tetapi Renjun belum juga muncul. Padahal dari tempat pengintaiannya itu, mustahil ada satu orang pun melintas di bawah sana tanpa terlihat dirinya. Karena sekali lagi tempat ini sangatlah strategis.

Balkon lantai empat sudah lama menjadi teritori Jeno dan tiga kawannya, bahkan sejak mereka bertiga masih junior. Tempat itu dulu dianggap angker. Tak satu pun siswa berani naik ke sana. Tetapi, Jeno yang saat itu masih siswa baru, datang dan nekat menjejakkan kakinya, padahal saat itu baru bulan pertama bersekolah di Neo Culture. Dan sama seperti sekarang, bak gudang outdoor, hanya ada kursi-kursi bekas yang bergelimpangan.

Sejak itu, para siswa semakin enggan datang. Bukan hanya karena tempat itu angker, tetapi karena sekarang tempat itu sudah dijadikan markas ­oleh Jeno dan tiga sekutunya. Balkon itu di atas separuh deretan kelas XII MIA dan di atas separuh atap kelas IIS.

Dari pojok balkon itu Jeno dapat mengamati gerak-gerik adiknya dengan leluasa, bahkan sejak hari pertama LOS. Dua menit setelah dering bel berhenti, anak yang dinanti akhirnya muncul, tergesa-gesa menembus gerbang yang sudah hampir tertutup seraya melepas kardigan merah.

Jeno menyipit tajam ketika mendapati dua musuhnya berjalan tak jauh di belakang Renjun. Dua wajah itu sama-sama terlihat pucat dan tak butuh teropong canggih untuk mengetahui ke arah mana tatapan mereka tertuju: Renjun.

Rahang Jeno seketika mengeras begitu menyadari dua cowok itu tidak membawa kendaraan pribadi.

"Jen!" Jeno berbalik. Wajah Felix muncul dari balik pintu tua di depan anak tangga turun menuju lantai tiga. Dia cepat-cepat menghampiri Jeno dengan sorot curiga sementara Jeno kembali menatap ke bawah.

"Kenapa lo?" todongnya setelah membuang permen karet.
"Apanya yang kenapa?" Felix sejenak ikut mengamati suasana lapangan utama. Sesaat dia melihat seorang cowok bergegas masuk kekelasnya, lalu disusul kemunculan dua rivalnya yang sempat tepekur di mulut koridor sebelum akhirnya bergegas menaiki tangga.

Felix spontan mengembuskan napas, sementara Jeno tetap merapat ke dinding. Si bule itu kemudian berbalik dan memandang lurus ke arah pintu.

"Sebelas bulan, kan? Sebelas bulan balkon ini udah jadi tempat tongkrongan kita." Jeno bergeming, belum bisa menerka ke arah mana perbincangan ini. Namun dia semakin waspada karena kalimat-kalimat Felix sering kali berbahaya.

"Sebelas bulan juga lo lebih memilih kantin buat tongkrongan pagi." Sejenak Felix mengotak-atik rubiks mini di tangannya. Begitu berhasil menyatukan warna di satu sisi, cowok itu kembali mendongak menatap pintu.

"Tapi tiga hari ini, gue liat ada yang beda." Jeno masih bungkam. Dia mulai mengerti arah pembicaraan Felix. Sejak awal dia sadar dia tidak mungkin bisa menyembunyikan rahasia itu selamanya, terlebih pada orang-orang terdekatnya. Tetapi, selama dia masih mampu mengelak, dia akan terus menggunakan cara itu.

"Di hari pertama kita jadi senior, gue pikir lo yang bakal paling bersemangat nyiapin zona eksekusi. Tapi hari itu
lo serahin semuanya ke gue." Felix mengembuskan napas.

"Kemarin gue sengaja datang lebih pagi, tapi cuma tas lo yang ada di kelas. Baru setelah bel masuk, gue liat lo turun dari tangga lantai tiga. Nggak mungkin lo abis nengokin anak kelas XII atau ke ruang OSIS sesubuh itu. Tapi sekarang gue paham, lo nongkrong di sini setiap pagi udah jadi rutinitas wajib lo." Barulah Felix menoleh kepada Jeno. "Jadi?" Jeno menoleh sekilas dengan satu alis terangkat.

"Lo mau join?" Felix mendengus.
"Gue menduga lo punya misi penting, Jen. Tiga tahun lebih gue kenal lo. Gue tahu, daripada menyendiri di sini, lo lebih seneng bikin rusuh di bawah. Makanya gue bilang… lo beda." Lalu dia mengeluarkan permen karet baru dari sakunya dan langsung mengunyahnya lamat-lamat.

Sekarang gantian Jeno yang mengembuskan napas. Tatapannya masih tertuju pada lapangan yang telah sepi, menandakan bahwa kegiatan belajar mengajar telah dimulai. Tetapi hawa sejuk pagi ini seakan menahannya agar tidak buru-buru kembali ke kelas.

"Kadang gue butuh waktu sendiri, Lix!" Felix kembali tersenyum, meski separuh fokusnya terarah pada rubiks yang kembali diputarnya. Berbicara pada batu berjubah baja memang tidak pernah mudah.

"Ayolah, Jen! taktik ngeles lo perlu diasah lagi. Lo itu satu-satunya orang yang gue kenal yang nggak suka sendirian dan paling nggak, bisa nganggur. Tapi belakangan ini kegiatan lo mencakup dua-duanya. Terserah lo mau bantah gue lagi atau nggak, tapi gue tebak ada seseorang yang selalu lo tunggu. Dan karena lo nggak punya nyali buat nungguin dia di gerbang, lo cuma bisa memantau dia dari jauh."

Jeno tertawa lirih seraya menarik tubuhnya dari tepi balkon. Cowok itu kembali berdiri tegap dan menghadap Felix, siap menunggu kelanjutan kalimat sohibnya yang kini masih asyik menyatukan warna hjau. Felix lalu menyusupkan rubiks mininya ke saku celana dan menghadap Jeno.

"Jadi, anak itu pasti spesial. Atau jangan-jangan… dia yang pertama ya buat lo?" tebak Felix telak dengan seringai lebar.
"Yang jelas dia bukan cowok normal. Karena kalau normal, lo nggak akan perlu jadi pengagum rahasianya.” Jeno mendengus.

Felix menepuk-nepuk bahu Jeno.
"Nggak perlu lo kasih tau namanya. Biar gue pastiin sendiri!" ujarnya dengan seulas senyum tipis.
"Tapi kalau kapan-kapan lo mau kasih tau, gue pasti dengerin. Dan siapa pun dia, jangan khawatir. Asalkan yang lo incer itu bukan nyokap gue, gue
bakal bantu lo dapetin dia."

.
.
.
.
.
.
.

"Njun, lo nggak papa, kan?" Renjun menoleh sekilas sambil tetap meneruskan langkah ke dalam kelas. Haechan mengekorinya sampai ia duduk di samping Eunsang yang juga menunggunya sejak tadi.

"Gimana kemarin? Jaket lo aman?” Eunsang turut memberondong.
"Jaket gue udah balik kok. Tapi ya gitu deh, penuh perjuangan!" ujarnya malas. Tangannya langsung sibuk mengeluarkan buku pelajaran jam pertama beserta alat tulis, meski sang guru belum muncul, sementara benaknya masih terbayang ekspresi ganjil wajah Hyunjin dan Jaemin tadi.

"Kemarin pas nemuin Pak Yoongi, lo disuruh ngapain aja, Njun? Lo dapet hukuman juga?" Haechan belum juga kehilangan semangatnya. Bahkan kini beberapa siswi yang turut melihat peristiwa kemarin ikut mengelilingi meja Renjun dan Eunsang.

Renjun membuang napas. Sepertinya ia memang harus mulai membiasakan diri dengan situasi semacam ini.

"Ya biasa, diomelin!" elaknya.
"Lo sendiri gimana Chan sama Pak Taehyung?" Haechan memutar bola mata serta memasang mimik jengkel.
"Diomelin, Njun. Sejam! Sambil berdiri di tengah halaman pula. Lo tahu sendiri kan gimana teriknya kemarin? Sampai ada yang pingsan tuh. Padahal gue sama anak-anak kelas satu udah ngotot ngejelasin kalau kami nggak terlibat, tapi tetep aja dijemur! Liat nih, gue sampai belang." Haechan menarik sedikit ujung lengannya, demi menunjukkan perbedaan warna antara kulit pada lengan atasnya yang tertutupi seragam dengan bagian di bawahnya yang memang sedikit lebih gelap?.

"Eh iya, lo diomelin berapa lama sih, Njun? Kok kayaknya pas gue balik lo belum pulang ya?"
"Gitu deh, Chan" Renjun mendesah malas. Ia benar-benar kehilangan mood-nya pagi ini.

"Oh iya, Njun" Haechan tiba-tiba berbisik.
"Cewek yang kemarin narik lo, yang megang cuter itu, namanya Siyeon. Senior kita, kelas XII MIA-4. Bokapnya anggota legislatif. Mungkin karena itu bisa bertingkah seenaknya. Terus kabarnya lagi, dia suka sama Kak Jeno. Padahal Kak Jeno kan satu tahun di bawahnya. Tapi kelihatannya dia nggak peduli tuh ngedeketin brondong. Kalau tiga temennya yang lain, lo nggak perlu khawatir, Njun. Mereka cuma cewek biasa yang sekelas sama Kak Siyeon dan juga nge-fans sama gengnya Kak Jeno." Renjun mengangguk lirih, tidak tahu harus berkomentar apa.

.
.
.
.
.
.
.

Supriseee ~NengWendoy~

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang