Part 30

3.8K 612 50
                                    

"Kenapa lo?"

.
.
.
.
.
.
.

Celaka! Renjun refleks menutup mata. Pas sekali! Tepat saat kakinya berhasil mencapai gundakan tangga teratas
dan bersiap belok kanan pintu kamar Jeno mendadak terbuka memunculkan wujud dingin penghuninya yang kini menatap Renjun dengan satu alis terangkat.

"Tenang aja, gue bakal pura-pura lupa bahwa gue tinggal serumah sama pengkhianat.” Mata Renjun pun terbuka dan bibirnya langsung membentuk lengkung cemberut. Ia baru sadar lebam di pelipis kiri Jeno tampaknya cukup parah. Seolah Jeno mendapat dua pukulan di tempat yang sama.

Renjun refleks menempatkan keranjang kosong pakaian ke depan badan sebagai
perlindungan diri―meski tamengnya ini agak memalukan.

"Gue rasa percuma ngingetin lo terus." Jeno menyusupkan tangan kiri ke saku celananya yang basah. Tangan kanannya tampak memegang handuk.

"Jadi, mulai sekarang lo pelajari sendiri situasinya. Terutama, lo harus mulai belajar bagaimana cara bertahan." Renjun tercenung sesaat. Namun, ia seketika waspada ketika Jeno mengeluarkan tangan kirinya dari saku dan langsung melemparkan sesuatu dari genggamannya yang dengan mulus mendarat ke keranjang dalam pelukan
Renjun.

Renjun pun merunduk untuk melihat benda yang jatuh dengan bunyi cukup keras itu. Dan begitu melihatnya, tubuh Renjun kontan menegang.

Itu… kelereng!
Ya, ke-le-reng!
Renjun segera meraih benda bulat itu lalu meneliti kelereng biru-putih yang persis dengan yang Pak Yoongi tunjukkan sebelum melemparnya ke kolam.

"Kok bisa?!" serunya seraya mendongak.
"Itu pelajaran pertama lo". tukas Jeno lalu maju selangkah ke sisi Renjun.
"Lain kali, jangan asal ngajak main" pungkasnya sebelum berlalu turun meninggalkan Renjun yang tercengang.

Terjawab sudah mengapa Pak Yoongi dengan mudah meloloskan kepulangan mereka. Karena kelerengnya memang
sudah ketemu! Renjun tersadar ancaman dalam wujud ini jauh lebih keras dibanding peringatan konvensional
berupa kalimat. Karena kalau saja kakaknya mau dia pasti langsung menjadikan Kekey 'budak pribadi'-nya seperti kesepakatan mereka di kolam renang tadi.

Tetapi, Jeno tidak melakukannya. Renjun yakin alasannya tentu bukan karena kakaknya sebaik itu melainkan karena ini bagian dari gertakannya pada Renjun agar ia segera mundur dari perseteruan MIA dan IIS.

.
.
.
.
.
.
.

Jaemin terpaku di ranjang. Sekian menit sudah berlalu. Namun cowok itu tetap berbaring kaku dengan posisi menyamping. Cahaya temaram dari lampu tidur menjadi saksi bahwa dua mata cowok itu tak bisa lepas dari sepasang foto yang berdampingan di nakas.

Padahal Jaemin maupun ­orangtuanya bukanlah tipikal keluarga yang gemar mengabadikan setiap momen untuk
dipajang di sekeliling rumah mereka. Kalaupun berfoto gambar itu hanya akan berbentuk dokumentasi digital, tidak untuk dicetak. Tetapi, khusus untuk dua sosok dalam f­ot­o itu, Jaemin merasa harus mencetak f­otonya. Meski memandangi wajah mereka pada selembar foto selama apa pun takkan pernah cukup baginya. Tangan kanannya lantas menggapai dua foto itu.

"Hai, Bang…" Bola matanya kembali menekuni potret seorang remaja yang membalas senyumnya dari balik kaca
frame.
"Hidup lo baik-baik aja kan di sana? Semoga doa-doa gue bisa membantu mengurangi siksaan lo di sana". harapnya dengan parau. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mendengar jawaban pertanyaannya. Tak masalah selirih apa pun atau jika hanya berupa dengungan. Yang penting dia mendapat respons, tapi lagi-lagi nihil.

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang