Jeno membersihkan telapak tangannya dari jejak debu. Pintu kafe di hadapannya telah tertutup sempurna. Para karyawan pun lekas menaiki kendaraan masing-masing.
"Duluan ya, Jen!" Seru mereka sebelum meninggalkan kafe di deretan ruko itu.
Jeno mengacungkan jempol. Hanya dia karyawan yang tersisa. Gerimis masih mengguyur Jakarta, meniupkan hawa dingin yang seolah menusuk kulit. Jeno lantas melihat jam, sepuluh menit menjelang jam sebelas. Tanpa pikir panjang, dia segera melajukan motor menuju kawasan industri yang berlawanan arah dengan rumahnya. Seperti biasa, meski sudah mendekati tengah malam, suasana disatu pabrik yang dia tuju masih tetap sibuk dan bising.
"Hai, Mas, gue masih bisa ambil sif sejam?" Tanyanya pada pria yang sibuk menghitung barang. Konsentrasinya seketika teralihkan.
"Oh, Jeno, iya bisa-bisa. Kebetulan banyak stok yang baru datang. Tolong bawa kedalam ya," instruksinya seraya menunjuk setumpuk kotak kayu didalam kontainer.
"Oke, Thanks, Mas," jawab Jeno, lalu lekas menanggalkan kemeja, menyisakan kaos oblong hitam. Lantas, bersama karyawan lain, dia mulai mengangkat kotak demi kotak dan membawanya kegudang pabrik. Berkali-kali serat kayu tepi kotak seberat dua puluh kilogram itu menusuk tangannya, tapi dia sudah kebal rasa sakit.
.
.
.
.
.
.
.Pukul dua belas malam.......
Renjun menghembuskan napas lega begitu punggungnya menyentuh permukaan kasur. "Badan gue....." Rasa pegal mulai menyerang pinggangnya. "Ini baru hari pertama, tapi kok rasanya udah kayak bertahun-tahun, ya?" Ratapnya sambil memandangi gorden kamar yang bergerak-gerak pelan mengikuti tiupan AC.Hujan yang tadi sempat reda, kini kembali deras membasahi kawasan rumahnya, membuat Renjun teringat pada sang kakak.
Jeno tak kunjung pulang. Jam pulangnya memang tidak tentu. Terkadang cowok itu sudah muncul sebelum Renjun terlelap--tapi itu kejadian langka. Seringnya, Renjun sudah terhanyut dalam mimpi dan tidak tahu jam berapa abangnya pulang.
Entah sekarang Jeno ada di mana..... Kehujanan atau tidak, Renjun tidak bisa berspekulasi. Ia malah teringat kejadian beruntun di sekolah tadi. Tapi pikirannya mendadak buntu karena sejak pagi ia masih merasa bahwa senior bernama Jeno yang dijumpainya disekolah, bukan sosok uang sama dengan kakak yang tinggal seatap dengannya.
Renjun pun memejamkan mata.
Setiap memasuki tengah malam, kantuk mulai membuainya, membuatnya sejenak lupa bahwa besok ia masih harus bangun untuk mengawali rutinitas yang tak kalah melelahkan. Mencuci, menjemur, menyiram tanaman, serta sederet kerjaan lain yang disebutnya sebagai "Kutukan Cinderella". Julukan itu lumayan cocok, meski kehidupannya mungkin lebih kompleks dibandingkan Cinderella sesungguhnya. Lihat saja, kalau jam segini Cinderella sudah kabur dari pesta setelah bertemu sang pangeran, Renjun malah tidak mendapatkan pestanya, apalagi pangeran dan peri pelindung. Yang ia miliki hanyalah...... Seorang kakak sihir?.
.
.
.
.
.
."Lo ngapain?"
Keesokan paginya Renjun yang terbangun karena mimpi aneh pun mendekati abangnya dengan tatapan penuh selidik. Tumben sekali cowok itu sudah didapur sesubuh ini. Padahal biasanya saat ia bangun, Jeno sudah pergi berolahraga dan baru akan kembali pukul enam.Jeno bergeming. Renjun mengamati gerakan sang kakak yang tampak sedang menenggak obat dan menandaskan segelas air.
Tiba-tiba Jeno berbalik dan Renjun kontan terkejut. "Tampang Lo kayak Zombie!" Pekik Renjun, spontan. "Lo kehujanan ya semalam?" Ia bahkan tak mampu meredam keceman dalam suaranya.
Tetapi Jeno tetap bungkam dan malah mengibaskan tangan kirinya, mengisyaratkan agar Renjun segera minggir dari ambang pintu dapur. Cowok itu pun terpaku menepi, membiarkan kakaknya menaiki tangga dan langsung menghilang kedalam kamar.
Renjun kontan mencibir, untuk apa juga ia mengkhawatirkan kakaknya itu? Toh kemarin Renjun sudah memperingati Jeno: Jangan sampai sakit! "Lo durhaka sih sama gue," gumamnya sambil melirik bungkus obat ditempat sampah.
Renjun lantas asyik membolak-balik halaman pada bulu resep. Itu satu-satunya pekerjaan yang amat ia nikmati di rumah ini me-ma-sak! Hobi tu tampaknya ditularkan dari mendiang mamanya yang memang sempat mengelola usaha dibidang kuliner. Namun, malangnya, bisnis itu berakhir begitu saja setelah mamanya meninggal.
"Masak apa, masak apa, masak apa sekarang" senandung Renjun seraya menimang-nimang sederet menu dengan gambar-gambar menggiurkan. "Nah, ini aja, oseng-oseng udang! Nggak begitu ribet. Mumpung udangnya juga sudah dikupas," putusnya semangat, lalu lekas memulai eksperimennya.
.
.
.
.
.
.
.Terlalu pendek? Sori gaes
Diusahakan next part lebwwwiiihh panjwaanggg. OKE!TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
NeoCulturans || NoRenMin (END)
Fiksi Remaja" Pertama, nggak ada yang boleh tau tentang hubungan kita. Kedua, jangan ajak gue ngobrol disekolah. Dan ketiga, terserah lo mau berteman sama siapa aja di sekolah. Asalkan.... dia bukan anak IIS. " ~Jeno~ - Lokal - School and Family - Bromance - No...