"Kalau begitu biar seru, kami juga punya aturan baru. Siapa pun yang mengganggu Injun apalagi dia anak MIA, lebih-lebih lagi kalau biangnya lo dan temen-temen lo berarti anak itu ngajak ribut" pungkasnya telak.
"Oke kita lihat… seberapa kuat kalian bisa melindungi dia" kata Jeno.
"Dan dia gue yang anter pulang" tambahnya sebelum berlalu pergi.
Setelah sepuluh menit menunggu Renjun akhirnya mendapati sang kakak melangkah cepat ke arahnya. Renjun terkejut ketika Jeno langsung menyambar tangannya. Rasa dingin dari telapak tangan itu seketika meresap kesekujur tubuh Renjun membuatnya merinding.
"Kita pulang!" ucap Jeno singkat.
"Ya nggak perlu pakai tarik-tarik kali." Renjun menepis tangan itu, lalu berjalan mendahului kakaknya ke arah gerbang.Namun Jeno lagi-lagi menariknya. Renjun mengernyit bingung karena cowok itu menggiringnya menuju parkiran motor.
"Kok?"
"Udah nggak ada orang". jelas Jeno sambil menyodorkan helm. Renjun pun tak sempat berpikir panjang. Meski masih bingung ia bersyukur karena tidak perlu mengantre dan berdesak-desakkan dengan para pengguna TransJakarta di jam-jam padat begini.Ia pun lekas menaiki motor yang kemudian melesat meninggalkan sekolah. Tiga pasang mata masih lekat mengawasi keduanya dari mulut koridor.
"Kok dia mau-mau aja bareng Elgo?!" desis Mark takjub.
"Kalian berdua juga nggak ada yang berniat nguber mereka? Kalau Renjun diapa-apain, gimana?""Kayaknya nggak akan diapa-apain kalau di luar sekolah." Hyunjin mengembuskan napas, lantas mengeluarkan ponselnya menunjukkan sebuah foto pada Mark.
"Nomor absen sebelas."
Mark mengernyit tapi ikut mencermati
layar ponsel Hyunjin. Dia memperbesar gambar itu dan mengecek nama yang
tertera. Sesaat dia terdiam sebelum kelopak matanya melebar."Renjun Akbari Gustam?! Itu nama lengkap Injun?!" Hyunjin mengangguk tanpa ekspresi. Kedua matanya
masih betah mengamati area parkir. Sementara Jaemin menyandarkan kepala serta punggungnya pada dinding koridor.Embusan napasnya sesekali terdengar di sela kesenyapan. Rumit... dan panjang. Mungkin dua kata itu yang paling cocok menggambarkan situasi yang kini mereka hadapi.
"Jadi, Injun itu adiknya Jeno?" Mark merasa suaranya tercekik mengucapkan itu.
"Itu yang perlu kita selidikin," ujar Jaemin. Hari pertamanya kembali bersekolah ini merupakan hari yang paling melelahkan.
"Tapi kenapa dia malah nge-bully adiknya sendiri? Asli… ini nggak masuk akal.” Hyunjin dan Jaemin saling pandang. Pertanyaan itu tentu sulit mereka jawab. Hanya saja, argumen itu tidak dapat mereka sampaikan pada Mark. Setidaknya bukan sekarang.
"Atau…" Mark lekas menambahkan.
"Anak itu memang penting buat kalian berdua?" Jaemin tersenyum lebar.
"Gue akui lu cerdas, Mark. Nggak sia-sia lo jadi kakak kelas gue.""Nggak sopan lo" rutuk Mark, kemudian melihat jam tangannya. "Ayo cabut. Nyokap gue bisa nangis bombay kalau gue pulang telat mulu" tukasnya.
Meski menyadari ada hal-hal yang belum bisa disampaikan dua sahabatnya itu padanya, dia takkan memaksa.
Jaemin tertawa meledek. "Nyokap lu justru selalu nangis karena liat lo pulang." Mark nyaris menyikut rusuk juniornya itu, tapi batal mengingat mereka belum lama menuntaskan pertempuran yang cukup sengit. Hingga yang kemudian terdengar hanyalah derai tawanya ketika mereka berjalan kembali ke area dalam sekolah untuk mengambil tas.
"Lo balik ke hotel?" Hyunjin memasukkan satu tangannya ke saku.
”Iyalah mau ke mana lagi? Hidup gue kan nggak jauh-jauh dari hotel sama sekolah. Kalau sekarang lo liat gue masih
bisa bernapas, makan, dan bergaul sama kalian berdua, ini sih cuma bonus. Bonus anak soleh.” Jaemin tergelak.Sebenernya lu latihan apa aja sih? Tiap hari nggak kelar-kelar, Mark. Jadi doorman? Atau nyuci piring di sana? Kalau gitu-gitu doang sih lo kelewatan
kalau nggak lulus-lulus."Mark ikut terbahak-bahak. ”Sayangnya masa-masa indah itu udah lewat, Jaem. Mantan penyanyi cilik kayak lo mending nggak usah tahu tentang dunia bisnis. Karena selain fitnah, bisnis juga lebih kejam daripada pembunuhan."
"Lo kira kerjaan gue juga tinggal say hi ke penonton, nyanyi, terus pulang gitu aja?"
"Paling nggak lo ngejalanin itu atas keinginan lo sendiri, kan?" Mark mengangkat alis.
"Nah gue?"
"Mark…" Hyunjin merangkul bahu Mark dan menepuk-nepuknya.
"Lo sadar kan, di antara kita bertiga cuma masa depan lo yang udah jelas sejak kecil. Lo bakal jadi pewaris
tunggal dari tiga hotel prestisius di Jakarta. Gue rasa nggak ada remaja normal yang nggak iri sama lo. Tapi... kalau ngeliat keseharian lo, gue nggak tau harus ikut iri atau malah prihatin, Mark"Mark tersenyum kecil. "Saran gue, lo mendingan iri, Jin. Jadi cukup gue aja yang prihatin sama hidup gue sendiri."
.
.
.
.
.
.
.Renjun mengendap-endap menaiki tangga rumah. Begitu tiba tadi, Renjun langsung mengunci diri di kamar dan
mengganti pakaian. Ia tentu tidak sebodoh itu hingga tak memperkirakan perkara beruntun di sekolah tadi takkan
dibahas Jeno di rumah. Alhasil ia baru berani mengambil keranjang jemuran dan membawanya ke atas setelah memastikan kakaknya sudah di kamar.Begitu melewati pertengahan tangga dan mendapati pintu kamar Jeno tertutup rapat Renjun otomatis mempercepat langkah bahkan sudah setengah berlari.
Tujuannya adalah balkon belakang rumah yang berlawanan tapi sejajar dengan kamar Jeno tempat jemuran berada.
ceklek!
"Kenapa lo?".
.
.
.
.
.
.Maaf agak pendek. Janji chapter selanjutnya lebih panjang
Jangan lupa baca Work baru aku gaes, semua pair ada disini.... Please give some love gaes
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
NeoCulturans || NoRenMin (END)
Fiksi Remaja" Pertama, nggak ada yang boleh tau tentang hubungan kita. Kedua, jangan ajak gue ngobrol disekolah. Dan ketiga, terserah lo mau berteman sama siapa aja di sekolah. Asalkan.... dia bukan anak IIS. " ~Jeno~ - Lokal - School and Family - Bromance - No...