Part 35

3.5K 546 47
                                    

"Menurut lo gimana?" Hyunjin bersedekap begitu mereka tiba di depan pintu studio lantai dua. Mereka berdua sering mengobrol rahasia di tempat itu karena posisi studio agak menjorok ke balik tangga, jadi cenderung sepi dan tersembunyi. Sekaligus aman dari penglihatan para guru jam pertama yang mulai menghambur masuk ke kelas tujuan masing-masing.

"L­u denger sendiri, kan? Bukan dia." Jaemin mendesah. Bukan dia. Bukan dia. Bukan dia. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di benaknya. Sesungguhnya dia juga menggunakan dua kata itu untuk meyakinkan hati kecilnya sendiri.

"Lo yakin?"

"L­u sendiri?" balas Jaemin.
"Dalam hal ini, seharusnya insting lo lebih kuat daripada gue." Hyunjin mengangguk singkat, lalu tersenyum masam. "Udah dua belas tahun, Jaem. Gue nggak yakin feeling gue masih bisa diandalkan dalam hal ini. Mungkin malah insting lo yang lebih akurat."

"Itu dia yang bikin gue frustrasi, Jin." Jaemin mengacak-acak rambutnya.
"Tapi setelah denger jawabannya, gue rasa itu bukan dia, Jin. Jadi gue nggak mau terlalu berharap kalau itu memang dia. Karena terbukti, udah berkali-kali feeling gue akhirnya ngecewain gue sendiri. Mungkin memang bukan dia, Jin. Mungkin memang belum waktunya. Mungkin kita memang masih harus nyari." Hyunjin mengangguk setuju, tetap menatap Jaemin.

"Tapi, Jeno pasti masih ngincer dia."
"Kalau dia bukan dia," Jaemin menahan sesaat kalimatnya.
"Kayaknya gue nggak punya alasan lagi, buat ngelindungin dia, Jin". Hyunjin terkejut. "Jadi lo mau biarin dia sendirian ngadepin Jeno? Kita yang awalnya bikin mereka ribut, Jaem." Jaemin tidak meresp­ons.

"Gue juga berharap dia bisa balik ke kehidupan kita secepatnya. Tapi lo juga nggak bisa terus-terusan terobsesi menemukan dia, Jaem. L­u bisa hancur." Jaemin tersenyum pahit. "Gue emang udah lama hancur. Sejak tragedi dua belas tahun lalu, gue udah nyaris mati rasa!" ujarnya, sendu.
"Karena itu, gue harus berusaha menjauhi Renjun. Setiap gue ngeliat dia, apalagi setelah gue tau dia bukan orang yang gue cari, hati gue rasanya perih, Jin. Wajah mereka terlalu mirip, bahkan beberapa tingkahnya sekilas sama. Itu yang awalnya bikin gue berharap banyak. Gue takut ujung-ujungnya malah nyakitin dia." Hyunjin tersenyum tipis. "Itu terserah lo, tapi gue bakalan tetep ngelindungin dia."

.
.
.
.
.
.
.

Cobaan memang datang tanpa permisi. Karena jika pakai permisi, itu namanya bertamu. Siang ini pada jam olahraga, Renjun yang telah mengenakan setelan olahraga lebih memilih duduk di pinggir lapangan daripada bergabung bersama kawan-kawannya yang bersemangat memulai pertandingan futsal cowok versus cewek. Tentu tidak sah karena selain gendernya timpang, jumlah pemainnya pun tidak seimbang. Dua belas cowok melawan tujuh belas cewek.

Mereka sengaja tidak mengikuti peraturan jumlah pemain seharusnya karena hanya berniat mengisi waktu dengan bermain-main. Hanya Renjun yang tidak ikut karena mood-nya sedang buruk hari ini. Sepertinya itu kombinasi
beban pikiran, rasa lelah, dan mungkin karena ia juga sedang PMS?. Selain mengamati permainan siswa-siswi kelasnya, Renjunsesekali menengok ke sisi kiri lapangan futsal, tempat para seniornya yang entah kelas berapa itu sedang bertanding basket. Seragam olahraga mereka memiliki warna berbeda dengannya. Namun kelas mereka sama-sama tidak diawasi guru. Kelasnya sendiri, yang diajar Pak Jungkook mendapat kebebasan berolahraga oleh Pak Yoongi karena Pak Jungkook mendapat tugas melatih para atlet renang nasional yang kabarnya akan segera mengikuti pertandingan di Bejing.

Karena lapangan belakang sudah ada yang menggunakan dan lapangan depan hanya menyisakan arena futsal jadilah teman-temannya bermain futsal. Namun, ketenangan itu mendadak buyar ketika Renjun mendeteksi sesuatu yang keras melayang ke arahnya. Ia spontan menoleh ke kiri. Benar saja, sebuah bola basket melesat cepat ke wajahnya. Cowok itu releks menangkis bola dengan lengannya, tepat sebelum bola itu menghantam kepalanya. Ia mengaduh seraya mengibas-ngibaskan lengan kirinya yang kebas. Dengan geram ia bangkit sambil mengangkat bola oranye itu dengan tangan kanan.

"Siapa yang ngelempar bola ini ke gue?!" serunya lantang. Seketika, siswa-siswi di lapangan basket menghentikan permainan mereka. Begitu pun teman-teman Renjun yang kini menatapnya kaget.

"GUE!" Renjun menyipit memandangi cewek berambut pendek yang di-highlight, berjalan mendekatinya. Teman-temannya sontak terkejut, baru menyadari bahwa kelas senior yang berbagi lapangan dengan mereka adalah kelas Siyeon. Cewek itu serta tiga kawannya pun balas menatap Renjun dengan angkuh.

.
.
.
.
.
.
.

"Jen, kenapa lo?" Jeno tak menanggapi seruan teman-temannya yang menyusul naik begitu mendapatkan jam kosong. Cowok itu tampak berdiri kaku di sisi kanan balkon yang menampilkan peristiwa di lapangan utama. Dia tiba semenit yang lalu dan menyaksikan bola melayang kencang ke arah siswa berseragam olahraga kelas satu, fokusnya tak teralih sedikit pun dari sana. Dia menatap tajam pada empat cewek jurusannya yang segera menyambangi siswa itu.

Jeno menajamkan mata. Seketika perasaannya memburuk.

Renjun!

"Jen! Mau ke mana lo?!" tanya Chani takjub ketika Jeno tiba-tiba melompat turun. Cowok itu hanya bisa terpana kala mengamati pergerakan gesit Jeno yang hanya mengandalkan ketangkasan tangan dan kakinya untuk turun dari dinding pembatas balkon dan mendarat pada atap lantai tiga, kemudian melompat dan menyambar dahan pohon sebagai penopang dan dengan serabutan dia menggunakan alat apa pun di sekitarnya untuk kembali menapak tanah.

"Sinting tuh anak! Dia pikir nyawanya sebanyak kucing?"
"Chan!" Felix menepuk bahu Chani lantas menunjuk ke lapangan.
"Ada yang nggak beres!" Bule itu lalu berbalik dan ikut berlari menuruni dua anak tangga sekaligus. Meski Jeno pernah mengajarinya berparkour tetapi nyali dan kemampuannya jelas belum setinggi itu untuk mengikuti kegilaan Jeno.

Chani berdecak kesal, lalu menarik Jisung yang baru muncul dan belum menyadari apa yang terjadi. Namun mata Jisung membulat saat tak menemukan Jeno di sana dan bisa menebak kalau kesintingan kawannya pasti kambuh lagi.

"Minggir! Minggir!" Raungan Felix seketika membuyarkan kerumunan senior yang berjalan santai menuruni tangga menuju lab komputer.

"Anak itu harusnya pakai il­s­i kucing! Sebeg­­beg­nya kucing, dia tau dia bukan burung!" Jisung berdecak sambil berusaha mengimbangi kecepatan teman-temannya.

"Kenapa lagi sih anak itu?" Chani tidak menjawab. Dia malah menuruni dua anak tangga sekaligus, lantas menyahut keras.

"Renjun dilabrak, Siyeon!" Informasi itu membuat segenap siswa di sekitar tangga kompak merapat ke tepi balkon lantai dua demi menyaksikan peristiwa seru di bawah sana. Sementara itu Hyunjin dan Mark yang berada dalam gerombolan senior itu, serempak ikut berlari menuruni tangga lantai tiga.

Jaemin, yang mendengar seruan Chani karena letak kelasnya paling dekat dengan tangga, seketika mengepalkan tangan. Dia nyaris bangkit dari kursinya, tapi mendadak ragu. Ada pertentangan di benaknya. Jaemin mengerang, lalu akhirnya menyerah. C­w­k? Itu langsung berlari meninggalkan kelas, yang sejak pagi memang tak mampu dia ikuti arah materinya. Teman-temannya menatap bingung, sementara guru ekonomi yang sedang mengajar hanya bisa berseru berang.

"Jaem! L­u mau ke mana?" Hyunjin mencegat Jaemin saat melihat sahabatnya itu berlari menerobos koridor MIA.

"Jalan pintas!" tukas Jaemin tanpa men­oleh. Hyunjin langsung mengerti. Dia lantas segera meneruskan langkahnya sambil berseru meminta jalan. Sedangkan Jaemin nekat mel­ompat dan ber­parkour dari koridor MIA.

.
.
.
.
.
.
.

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang