"Emang kurang ajar ya!" Renjun mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Langkah panjangnya langsung menelan jarak belasan meter yang memisahkan dirinya dan empat cowok itu. "Kalian apa-apaan sih?!" Labraknya dengan tatapan setajam... Silet.
"Wah... Nggak sopan nih anak." Jisung meletakkan gelas kopinya. "Di mana-mana, sebagai junior yang baik, seharusnya Lo ngasih salam dulu kalau nyamperin senior."
"Lebih baik lagi kalau ngasih makanan," imbuh Chani.
"Senior?" Renjun mendengus. Percikan emosi terpancar dari tatapannya.
"Lo ada urusan apa di sini?" Jeno mendadak bersuara. Gelas kopi hitam masih tergenggam ditangan kanannya, tapi sorot matanya mendadak berubah lugu. Roman sakitnya tadi pagi bahkan sudah lenyap. Entah karena obatnya ampuh atau penyakit pun tidak tahan dekat-de-kat dengannya.
"Jangan sok Malaikat deh! Udah jelas-jelas itu ulah kalian!" Telunjuk Renjun langsung mengarah pada puncak tiang bendera di belakangnya. Jaketnya berkibar semakin kencang.
"Wah, makin nggak sopan ni anak." Chani geleng-geleng. Dia benar-benar kaget karena belum juga menemukan ekspresi takut diparas cowok mungil itu. Ini tidak normal.
"Lo sadar nggak seberat apa tuduhan Lo?" Felix menimpali. Meski nadanya terdengar dingin, sesungguhnya cowok itu nyaris tak mampu menahan senyum. Senyum salut karena baru kali ini ada orang, adik kelas pula, yang terang-terangan berani melawan mereka. Lebih hebatnya lagi, ini orang sendirian!
"Apa buktinya?" Masih dengan gestur santai, Jeno meletakkan gelas disamping tubuhnya. Begitu sorot matanya kembali pada Renjun, tatapannya seketika menajam. "Kalau nggak ada bukti, berari Lo melakukan pelanggaran berat," ujarnya tegas dengan ujung bibir sedikit terangkat. "Dan sanksi sosialnya berlaku seumur hidup."
Renjun terkejut. Bisa-bisanya monster ini mengancamnya setelah apa yang dia lakukan?!
"Bener tuh," Jisung turut menimpali. "Kalau segala sesuatu di dunia ini nggak butuh bukti, hari ini juga gue bisa langsung ngeklaim asuransi keluarga gue. Bakal mendadak tajirkan gue?"
"Atau gini aja...." Jeno mendadak bangkit, membuat Renjun terkesiap dan spontan mundur selangkah dengan waspada. Tiga kroninya pun lekas menyingkirkan gelas kopi mereka dan iktu berdiri di sisi Jeno. "Kita bikin kesepakatan," tawar Jeno sambil bersedekap. Cowok itu sejenak menghembuskan napas sambil menatap jaket yang masih berkibar-kibar diatas sana. "Gue bakal bantu nurunin jaket Lo. Tapi, setelah Lo memohon dengan bahasa yang sopan, manis, dan kalau bisa.... Romantis."
Tawaran itu nyaris membuat tiga rekannya menyemburkan tawa, apalagi saat menyaksikan ekspresi Renjun yang betul-betul terlihat ingin menyerang mereka sekarang juga.
"Ogah!" Tolak Renjun tegas dan lantang.
"Bukannya tawaran gue gampang ya?" Jeno menoleh sekilas pada teman-temannya, terlihat heran. "Setau gue, cowok-cowok uke paling jago memohon.""Bikin lebih gampang lagi, Jen," saran Felix setelah berhasil menahan tawa. "Suruh minta maaf aja," imbuhnya, langsung disambut wajah shock Renjun. Felix malah menambahkan, "Ini anak kan punya utang maaf yang udah banyak banget sama kita."
Jeno mengangguk setuju. Tatapannya lantas kembali kepada Renjun yang telah menyambutnya dengan tatapan galak. "Gimana?"
.
.
.
.
.
.
.Mark bergumam tak percaya ketika dirinya, Hyunjin, dan Jaemin tiba di mulut koridor dan menangkap keramaian didepan sana. Dalam sekejap dua sahabatnya langsung berlari membelah kerumunan begitu mendeteksi apa yang terjadi. Mark tak menyangka sudah tertinggal banyak cerita, padahal hanya absen saat istirahat tadi. "Itu anak salah apa lagi sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NeoCulturans || NoRenMin (END)
Teen Fiction" Pertama, nggak ada yang boleh tau tentang hubungan kita. Kedua, jangan ajak gue ngobrol disekolah. Dan ketiga, terserah lo mau berteman sama siapa aja di sekolah. Asalkan.... dia bukan anak IIS. " ~Jeno~ - Lokal - School and Family - Bromance - No...