Part 46

4K 599 87
                                    

"Apa p­olisi Ind­o se­-enggak k­ompeten itu?" tukas Jaemin berang.
"Udah empat hari, nemuin satu orang aja nggak bisa-bisa!" Mark menjitak juniornya.
"Justru karena satu orang doang, makanya susah. Lo kira berapa banyak orang hilang yang nggak berhasil ditemukan sampai bertahun-tahun?"
"Tetep aja!" Jaemin mengentak­-entakkan C­onverse birunya ke lantai koridor kelas yang telah sepi. Renjun belum juga muncul di mana pun. Renjun juga tidak masuk sekolah dan sepertinya belum menyalakan ponsel sama sekali.

Hyunjin merebahkan diri di meja dengan lengan menekan kening.
"Gue rasa pencarian dua belas tahun kita lebih ringan, Jaem, dibandingkan dia kabur empat hari setelah mendengar semua percakapan kita." Jaemin mengangguk lemah. Kepalanya juga berat dan seolah ingin meledak. Sebentar lagi mungkin dia resmi akan menjadi kelelawar karena sejak malam hingga jam enam pagi belum terlelap. Begitu bel sekolah berbunyi, barulah kantuk menyerang dan akhirnya Jaemin b­olak-balik dihukum karena tertidur di kelas.

Mark menatap dua sahabatnya. Beberapa kali dia mengembuskan napas berat. Dia berpikir sesaat.
"Woy, buruan tarik laporan kalian dari kepolisian." Jaemin k­ontan men­oleh. Hyunjin melompat bangun.
"Gila lo! Ini udah empat hari Injun hilang. Mana mungkin kita tarik laporannya sebelum dia ketemu?" Mark mendengus.
"Pokoknya buruan cabut."
"Ogah!" Jaemin meleng­os.
"Hhh, emangnya kalian berdua mau gue jadi tersangka?" Mark mengedikkan bahu.

"Kalau yang lo berdua cuma pengin tau dia aman atau nggak, ya dia aman."
"K­ok l­u-?" Jaemin dan Hyunjin membeliak. Mereka melompat menghampiri Mark yang menyeringai dan spontan melindungi kepalanya dari serangan dua temannya.

"Dia di suite room hotel gue. Bukan salah gue. Justru kalian seharusnya berterima kasih sama gue. Kalau bukan karena gue nggak sengaja ketemu dia di jalan malam
itu-" kalimat Mark terp­ot­ong. C­ow­ok itu terkejut karena alih-alih menjitak, dua sahabatnya itu malah memeluknya erat.
"Lo emang the best, Mark!" seru Jaemin terharu sambil menggoyang-goyangkan kepala Mark yang langsung berupaya melepaskan diri.

"Hotel lo yang mana? Ayo buruan ke sana!" Mark mendengus lalu mendorong dua temannya.
"Pengetahuan kalian tuh emang nol banget ya tentang orang." Dia lekas merapikan rambutnya kembali.
"Dia emang aman, tapi bukan berarti nggak dendam sama kalian! Gue aja dianggep angin tiap kali ngajak dia ngobrol."
"Terus apa saran lo?" Hyunjin mendesis gemas. Setidaknya hatinya agak plong. Mark mengembuskan napas.

"Sebenernya, gue ragu mencari tau sumber masalahnya karena gue menduga ini masalah keluarga, tapi kayaknya sekarang gue udah terlibat, kan?" Mark mengangkat alis.
"Jadi, ceritain semuanya sama gue siapa tau gue bisa bantu."

.
.
.
.
.
.
.

Renjun melangkah keluar dari lift menuju lounge VVIP lantai tiga hotel bintang lima yang diinapinya. Renjun mengerti kenapa lounge itu diberi label VVIP karena saat ia masuk hanya Mark yang ada di dalamnya beserta sederet
jamuan mewah. Mark tersenyum dan mempersilakan Renjun duduk di seberangnya. Pakaiannya terlihat santai, hanya kaus berlapis blazer berlengan tanggung dan celana jogger. Namun, sekasual apa pun penampilannya, mayoritas orang juga tahu hotel mewah itu rumahnya.

Renjun sendiri bersedia menemui Mark karena cowok itu telah bersikap gentle padanya. Meskipun awalnya ia ragu menginap di sana, mengingat label player melekat bagai nama tengah pada cowok itu. Namun nyatanya, tak hanya memfasilitasi penginapan gratis di kamar termewah, Mark juga menyuruh staf hotel membawakan Renjun makan tiga kali sehari.

Renjun yang malam itu kabur hanya membawa badan, HP, dan dompet pun dibelikan beberapa setel baju berlabel mahal. Pikirannya tentang Mark yang ia anggap hanya bermodal tampang dan uang pun seketika musnah. Jika adik kelasnya saja ia perlakukan seperti ini, bagaimana pasangannya kelak?

"Ayo, makan dulu, gue denger lo nggak pernah abisin makanan lo di kamar." Mark meraih peralatan makan. Dia tampak kecewa saat menatap Renjun. Renjun tersenyum kecil, meski matanya masih saja terasa berat dan menyipit karena bengkak, tapi Renjun mencoba menyantap makanannya. Awalnya Mark mencoba membuatnya nyaman dengan melontarkan percakapan-percakapan ringan. Namun menjelang mereka selesai makan dan cowok itu menyinggung permasalahannya, Renjun seketika meletakkan garpu dan sendoknya. Mark yang melihat hal itu turut melakukan hal yang sama.

Karena tahu apa yang ingin diucapkan Mark, Renjun langsung menghentikannya.
"Sori, Kak, tapi gue nggak mood bahas itu." Renjun bangkit dari kursinya dan memutar badan, tapi suara Mark seolah menahan langkahnya.
"Gue udah denger semuanya dari Hyunjin dan Jaemin." Renjun terkejut, tapi tak juga berbalik.

"Lo tau kenapa konsultan dan psikolog biasa dibayar mahal?" Renjun tetap bergeming.
"Karena orang-orang cenderung berpikir dari satu arah, ngikutin ego mereka. Makanya, psikolog atau konsultan dibayar tinggi hanya dengan mendengarkan dan cuap-cuap doang, karena cuap-cuap mereka itu yang membantu membuka pikiran lo ke pintu-pintu lain biar lo nggak stuck menatap satu pintu." Mark tersenyum menatap punggung Renjun yang dibalut kardigan.

Renjun berbalik dengan wajah dingin menahan amarah.
"Gue bakal kasih lo konsultasi gratis kok karena lo adik dari sahabat dan juga merupakan orang yang disukai sahabat gue yang lain. Mereka sahabat yang selalu melindungi gue biar gue nggak hilang arah." Rennun tertawa. Ia menunduk dengan kedua telapak tangan menyentuh meja.

"Kakak tau siapa yang udah bikin gue kehilangan arah?" Mark memiringkan kepala, tersenyum jenaka.
"Siapa lagi? Lo sendiri, kan?" Renjun terperangah.
"Ayolah, Njun! jangan jadi lemah." tukas Mark melihat keterkejutan itu.
"Semua orang punya kesempatan menghancurkan lo. Tapi lo manusia, bukan pajangan. Lo punya kendali penuh atas diri lo sendiri. Lo bisa milih, mau hancur atau bangkit." Cowok itu tertawa seolah dapat membaca raut Renjun. Dia masih bersandar santai di kursinya.

"Jangan menatap gue kayak gitu. Gue ketemu Jaemin pertama kali bukan di Neo Culture tapi di rumah sakit tempat nyokap gue kerja. Ny­okap gue dan o­rangtua Jaemin sama­-sama psikolog. Jadi tenang aja, gue nggak bakal kasih lo konsultasi menyesatkan kok." Cowok itu mengedipkan satu matanya.

Renjun pun akhirnya duduk kembali di tempatnya.
"Gue kasih Kakak lima menit. Kalau gue nggak tertarik, gue akan langsung cabut." Mark mengangguk dengan seringainya. "Gue sempet baca SMS terakhir l­u ke Hyunjin dan Jaemin. L­u bilang mereka menelantarkan lo, kan?" Renjun mengangguk kaku.

"Apa lo nggak keterlaluan, Njun?" Mark berujar halus.
"Dua belas tahun mereka nyariin lo, tapi sekarang lo bilang mereka menelantarkan lo? Kenapa?" Tatapan Renjun membidik Mark.
"Mereka nggak perlu buang waktu selama itu kalau sejak awal mereka menjaga gue di sisi mereka."
"Gimana caranya?" Mark nyaris mel­ong­o.
"Jaeminmalah masih balita saat itu. Gimana cara mereka tau bahwa nyokap lo bakal memisahkan kalian?" Mark langsung menggeleng cepat.
"Nggak, ini nggak bener!" tukasnya lebih kepada diri sendiri.

"Nyokap lo juga nggak sepenuhnya salah. Lebih tepatnya, nggak ada yang nelantarin lo atau sengaja berbuat jahat sama lo, Njun. Mereka nggak sengaja melakukan kesalahan karena mereka berebut pengin mempertahankan lo di sisi mereka." Renjun tidak berkomentar.

"Jadi, sori. Gue nggak ngerti. Apa yang sebenarnya paling bikin lo marah?"
"Karena mereka udah lancang mengatur hidup gue!" ujar Renjun ketus.
"Gue yang paling berhak tau, tapi justru
gue yang paling terakhir tau." Mark ganti terbungkam. Dia bahkan tak dapat menahan Renjun lagi saat Renjun bangkit dan bersiap meninggalkan ruangan.

"Kakak tau kenapa nggak banyak orang datang ke psikolog meskipun mereka mampu?" tanya Renjun sebelum beranjak, tapi tidak memberikan Mark kesempatan merespons.
"Karena kalimat semacam ‘andai gue jadi lo’ itu bisa diucapin semua orang. Tapi kalau Kakak ngerasain yang sebenernya, gue nggak yakin Kakak masih bisa ngomong se-PD ini."

.
.
.
.
.
.
.

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang