Jeno sejenak terpaku.
Dua tumitnya kini berada dipijakan meja, suku kirinya bertopang pada bahu kursi, dan jemarinya mulai sibuk memijati kening yang bertambah pening. Adiknya pasti bakal mengamuk hebat saat tahu bahwa selama hampir dua tahun ini Jeno yang selalu membaca E-Mailnya.Awalnya dia tidak sengaja. Dan tentu saja itu bukan bagian dari skenario rancangannya. Insiden itu terjadi pada kepulangan Papa yang terakhir. Saat itu Jeno kehilangan ponselnya. Renjun juga tahu akhirnya Papa memberikan salah satu ponselnya pada Jeno. Tetapi, satu hal yang dia yakin Renjun tidak tahu adalah akun E-Mail Papa-yang Renjun kira masih aktif digunakan sampai sekarang-masih aktif diponsel itu.
Itu memang bukan E-Mail milik kantor, melainkan E-Mail pribadi Papa, tapi tampaknya sudah lama tidak digunakan. Terbukti sejak HP itu beralih ketangannya hingga sekarang, tidak ada satu pun E-mail baru yang masuk selain dari Renjun.
Ratusan kali Jeno berniat sign out dari akun itu, tapi ratusan kali pula i batalkan. Sementara Renjun, mungkin sangking senangnya setiap kali Papa menelpon, adiknya itu sepertinya tak pernah ingat menyinggung perkara E-mail kepada Papanya. Dan sekarang, setelah dua tahun melakukannya, sudah terlalu rumit jika Jeno mengaku. Dia bahkan tak tahu harus tertawa, marah, atau sedih setiap kali selesai membaca E-mail Renjun untuk Papa.
Mungkin fungsi penafsir rasa ditubuhnya sudah lama soak. Tak heran bila kini hanya satu rasa yang mampu dia kenali, yang betah sekali menghinggapinya: kehampaan.
.
.
.
.
.
.
.Renungan Renjun akhirnya buyar dengan kemunculan mobil biru yang mendadak berhenti di hadapannya. Seketika kelopak matanya mengerjap silau saat memandangi bodi mulus mobil itu. Ornamen garis putih abstrak yang menghiasi mobil membuatnya berdecak kagum. Si biru itu terlalu eksklusif di mata anak sekolah seperti dirinya.
"Njun, ayo masuk. " Tiba-tiba Hyunjin berada disebelahnya.
"Hah?" Renjun menyahut tak paham. Perhatiannya sesaat terlepas dari mobil itu.
Hyunjin tersenyum kecil, kemudian mengulang instruksinya dengan lebih gamblang. "Ayo masuk, ini mobil tebengan kita."
Renjun ternganga, merasa salah dengar. Bukannya berharap teman Hyunjin akan mengendarai angkot, tapi ia salah sekali tak menyangka mobil semewah itu yang akan muncul. Dan.... enteng sekali Hyunjin mengatakan? Sama sekali tidak ada mimik bercanda diwajah cerah itu. "Temen Kakak...... anak konglomerat?" tanyanya. Ia semakin ragu dengan ide tebeng-menebeng ini. "Memangnya dia bakal ngizinin gue numpang, Kak?".
Hyunjin tersenyum gemas, tapi tidak menjawab. " Udah..... masuk aja." Cowok itu malah membuka pintu kiri belakang buat Renjun. Perpaduan aroma samar antara sistrus dan wewangian bunga teh seketika menghampiri perciuman Renjun, menggelitik sekaligus menyegarkan. Tapi bukan itu yang membuat cewek itu membeliak, melainkan fakta bahwa dibalik kaca mobil yang gelap itu interior sibiru jauh lebih mewah daripada fantasinya. Sampai-sampai ia tidak sanggup menahan diri untuk, sekali lagi, terang-terangan mengerjap kagum.
Seluruh jok mobil dilapisi bahan kulit tebal dengan warna kombinasi biru dongker dan putih yang kontras. Begitu pun dengan sandaran leher yang dipasangi bantalan kulit berbentuk tulang. Lengan pintu yang bercat metalik pun terlihat mulus sekaligus elegan, seperti mobil baru. Alas kakinya tamoak lega dengan alas telab berwarna biru. Renjun langsung menggeleng-geleng.
"Njun?" Hyunjin tergelak. Dia terpaksa mendorong lembut pundak cowok itu.
Renjun langsung tersadar. Akhirnya ia naik dengan jantung berdegup cemas. Suasananya benar-benar canggung. Itulah mengapa kepalanya terus saja menunduk maski Hyunjin telah duduk di kursi penumpang disamping supir.
"Apa-apa lo, Njin?"Renjun nyaris menutup mata. Suara parau yang datangnya dari supir itu sama sekali tak terdengar bersahabat. Membuat Renjun nyaris yakin orang itu sangat marah, mungkin tidak suka dengan kehadirannya. Tanpa sadar, telapak tangan Renjun sudah banjir keringat lagi. Ia buru-buru menggosokkan kepermukaan celana. Hanya tinggal menghitung mundur sebelum dirinya ditendang keluar mobil mewah tersebut.
"Kacau lo Njin...." Suara itu kembali hadir. "Lo menodai niat mulia gue."
"Ayolah, gue kan nggak mungkin ngajak orang asing nebeng mobil lo. Dia adik kelas kita." Hyunjin tetap terdengar tenang.
"Tetep aja! Rute sekolah kan nggak ngelewatin jalur three in one. Jadi kita nggak butuh joki."Renjun hampir ternganga. Kejam sekali!
Hyunjin terdengar menghembuskan napas. "Seenggaknya lo liat dulu wajahnya."Saat teman Hyunjin menoleh, barulah Renjun memberanikan diri mengangkat dagu. Tapi, detik itu juga tubuhnya melemas. Seolah tulang-tulangnya tak sanggup lagi menyongkong tubuh. Cowok berkacamata itu seolah melelehkan organ-organ tubuh Renjun. Ia sukses tak berkedip nyaris puluhan detik.
Wajah itu...... Suara Renjun seakan tersangkut ditenggorokan. Ia tak percaya, ini pasti fatamorgana.
ketika Renjun mendongak, teman Hyunjin itu kontan terpaku. Tangannya refleks melepaskan kacamata hitam. Dia mengamati wajah itu dengan detail, tak peduli jika nanti dicap kurang ajar. Dia sendiri tidak sadar bahwa cowok itu juga sedang memandanginya lekat-lekat.
Renjun frustasi, masih kesulitan melontarkan satu nama, hingga suara cwok itu lebih dulu terdengar. "Lo siapa?"
Renjun memejamkan mata, merinding. Suara itu seperti datang dari tempat yang jauh.
Tiba-tiba Renjun merasa suaranya telah kembali, dan ia membuka mata. "Jaem..... Jaemin?!".
.
.
.
.
.
.
.Terima kasih buat teman-teman yang masih setia menanti.
-Jung Jaesa-
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
NeoCulturans || NoRenMin (END)
Genç Kurgu" Pertama, nggak ada yang boleh tau tentang hubungan kita. Kedua, jangan ajak gue ngobrol disekolah. Dan ketiga, terserah lo mau berteman sama siapa aja di sekolah. Asalkan.... dia bukan anak IIS. " ~Jeno~ - Lokal - School and Family - Bromance - No...