Part 31

3.4K 610 47
                                    

"Tugas OSIS?"
"Bukan."
"Sekolah?"
"Bukan."
"Terus?"
"Skripsi."

.
.
.
.
.
.
.

"Hah?!" Renjun yang tadinya hanya berdiri di ambang pintu kontan berjalan mendekat. Ia langsung menengok ke layar laptop kakaknya yang memang memunculkan berbaris-baris kalimat dalam bahasa Inggris.

"Lo nerjemahin skripsi?" terkanya spontan. Jeno mengangguk singkat. Satu tangannya sibuk menyusuri deretan kata pada kamus.

"Emangnya lo bisa? Kasihan amat mahasiswa yang lo bantuin bisa terancam nggak lulus" ejek Renjun. Kicauan nyinyir itu memaksa Jeno menoleh sejenak untuk memelototi adiknya yang spontan dibalas Renjun dengan cengiran masam. Jeno lalu kembali larut dalam pekerjaannya.

"Emangnya buat apa sih lo repot-repot nerjemahin yang beginian?"
"Biar dibayar" jawabnya gamblang.
"Bukannya rumit ya bahasannya? Apalagi kalau harus diterjemahin ke bahasa Inggris."
"Itu kan gunanya kamus. Gue cuma nerjemahin bukan bikin skripsinya." Renjun mencibir. Iya juga sih.

"Yang minta mahasiswa
jurusan apa? Sastra Inggris ya?"
"Kalau Sastra Jawa jelas pepak
yang gue liat."

Ah, nyebelin! gerutu Renjun dalam hati. Matanya kemudian tak sengaja menangkap keberadaan buku paket
biologi yang tertindih kamus.

"Terus buku biologi lo itu buat apa?"
"Belajar."
"Lo bisa belajar juga?" Jeno mmengembuskan napas jengah. Dia mulai merasa keberadaan Renjun mengganggu konsentrasinya. Dia melepas kacamata dan terpaksa kembali mengalihkan fokus.

"Gue sama lo beda. Secara akademis gue akui otak lo lebih encer. Buat dapetin nilai bagus lo nggak perlu belajar
lama-lama. Beda sama gue."

Renjun mengernyit tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tumben banget lo muji gue?".

Jeno mengangkat bahu.
"Emang kenyataannya begitu? Tapi lo nggak lupa kan? Tiap ada yang dikurangin dari seseorang pasti ada yang dilebihin. Dan itu berlaku sebaliknya. Dalam kasus lo otak lo emang encer tapi sayangnya logika lo nggak jalan. Parahnya lagi etika lo minus."

"Iiih!" Renjun terperangah takjub. Matanya membulat sementara kakaknya yang kejam itu telah mengenakan kacamata lagi dan berkutat dengan laptop. Renjun membuang napas jengkel. Makhluk yang satu itu memang tidak mungkin mengucapkan hal-hal bernada
manis tanpa embel-embel negatif.

"Lo nggak tidur?" suara Jeno kembali terdengar kali ini nada bicaranya tidak setajam tadi.
"Kalau besok lo kesiangan gue berangkat duluan.” Renjun kembali merengut. Renjun berniat memutar badan tetapi jejak lebam yang semakin kentara di pelipis kiri Jeno sedikit mengusik hati kecilnya. Meski Renjun membenci Jeno setengah mati cowok itu tetaplah kakaknya.

"Lebamnya nggak dikompres?"
"Nggak perlu." Jeno kembali mendongak dan langsung menatap Renjun.

"Ya udah!" Renjun membuang muka dan bergegas keluar dari kamar itu.
Begitu derap langkah adik kecilnya telah menjauhi kamar senyum kecil Jeno mendadak tersungging. Dia pun kembali
meneruskan pekerjaannya yang semakin mendekati deadline.

Setidaknya daripada penyakit insomnianya yang melelahkan dia hadapi dengan uring-uringan di kasur lebih baik dia menyibukkan diri seperti ini. Segala pikiran yang selama ini sering dia hindari takkan mendapat celah untuk kembali menyusup masuk.

ceklek!
Jeno kontan menoleh ketika pintu kamarnya kembali dibuka tanpa diketuk. Paras datar Renjun kembali mendekatinya. Tanpa mengucap sepatah kata pun Renjun meletakkan baskom di dekat laptopnya lalu pergi begitu saja.

Cowok itu sejenak tertegun. Dia mengintip isi baskom. Separuh terisi air jernih dan dadu-dadu es yang mengambang di permukaan air. Di dasar baskom terendam pula selembar handuk kecil. Jeno sontak mendengus dan lagi-lagi dia tak mampu menahan senyum. Sebentuk senyuman yang kerap dia sembunyikan dari tatapan sang adik.

.
.
.
.
.
.
.

Renjun memegang kepalanya yang pening. Masih setengah sadar ia melangkah keluar kamar melirik sekilas
jam dinding di ruang tengah lalu berdecak saat mendapati saat itu masih pukul empat pagi. Mimpi aneh dan melelahkan kembali merusak tidurnya.
Renjun pun menenggak segelas air di dapur. Sejak menjadi NeoCulturan waktu tidurnya menjadi kacau. Ia memang terkadang sudah terlelap pukul sebelas
malam tapi kemudian terbangun dini hari seperti ini dan sulit tidur lagi sebelum subuh.

Renjun lantas membuka kulkas dua pintu mencari mood booster-nya. Seketika matanya berbinar memandangi stok cokelat yang berlimpah ruah bahkan hampir memenuhi tiga rak kulkas.

Ia meraih sekotak cokelat berisi sembilan cokelat mini beraneka bentuk dan rasa yang belum lama ini pernah dicobanya. Ia lantas meluruskan kaki di sofa ruang tengah seraya membuka kotak itu dengan hati-hati.

Setahun sudah kulkas rumahnya bagaikan toko. Cokelat-cokelat baru berbagai merek selalu datang setiap minggu tanpa perlu ia beli. Ia cukup membuka kulkas dan menikmatinya.

Jeno bilang semua cokelat itu pemberian teman-temannya yang Renjun yakini seluruhnya berjenis kelamin perempuan. Renjun terkadang merasa bersalah saat butiran manis itu meleleh di lidahnya karena cokelat-cokelat itu
jelas bukan untuk dirinya.

"Kasihan banget para pengagum buta itu. Bisa-bisanya mereka nge-fans sama es balok kayak Jeno" desisnya prihatin lantas mengulum sebutir cokelat berbentuk semangka. Bibirnya lagi-lagi bergumam nikmat saat perpaduan manis cokelat dan buah yang disuntikkan ke dalamnya melumer di lidah.

"Pasti dari Elmi atau Tera nih" gumamnya yakin. Diantara segenap fans Jeno yang Renjun tak hafal semua namanya-karena Juga juga ­ogah menyebut semuanya-Elmi
dan Teralah favorit Renjun. Mereka berdua yang secara tak langsung mengenalkan Renjun pada cokelat bermerek rish.

Entah apa maknanya tapi sepertinya cokelat itu merupakan produk dalam negeri. Kotaknya selalu dihiasi ornamen
batik dan semua jenis cokelatnya sangat lezat! Manis tapi tidak bikin enek.

"Sori ya" ucap Renjun sebelum melahap sebutir cokelat.
"Tapi kan memang pangeran kalian yang nggak mau makan cokelat ini" ia membela diri. Entah kakaknya itu takut kena santet atau apa tapi Renjun memang tak pernah melihat Jeno memakan satu pun cokelat pemberian temannya.

Semuanya selalu diserahkan pada Renjun. Setiap kali Renjun meminta izin mencicipi hadiah dari temannya di kulkas Jeno kerap berkata.

"Habisin aja lo kan tumbalnya." Jadi ya... seharusnya Renjun tidak perlu merasa bersalah kan?.
"Untung aja selama ini gue nggak pernah kenapa-kenapa." Namun kunyahan Renjun terhenti saat sekelebat bayangan
melintas di benaknya. Tubuhnya kontan menegak dan keningnya berkerut.

Renjun mencoba mengingat lebih jelas
tentang mimpi buruk yang dua kali membangunkannya malam ini. Kunyahannya pun melambat ketika ia perlahan berhasil mengingat mimpi aneh itu. Lamunan Renjun terputus saat matanya melihat gerakan Kakaknya yang menuruni tangga.

Jeno juga tampak terkejut sepertinya tak menyangka Renjun ada di dapur sesubuh ini.
"Lo udah bangun atau belum tidur?" selidik Renjun setelah cokelatnya tertelan. Jeno yang tampak mengambil kopi dingin di kulkas menoleh sepintas.

"Urus waktu tidur lo sendiri aja sana."
Renjun mencibir. Tetapi Renjun kemudian menahan langkah kakaknya dengan panggilan

"Jen?" Keningnya berkerut pandangannya sesaat mengarah ke arah lain mencoba memastikan bayangan yang diingatnya.

"Emang kita pernah naik mobil
berdua ya?"
"Lo amnesia atau apa?" balas Jeno tak acuh.
"Bukan mobil beneran mobil mainan buat anak-anak. Warnanya... kuning." Kaleng kopi di tangan Jeno seketika terlepas. Nyaris saja mengenai kakinya. Renjun tampak bingung.

Dunia di sekitar Jeno seolah berhenti. Dia menatap Kekey dengan pucat.
"Lo... inget?" Mata Renjun membulat.
"Jadi itu beneran memori? Bukan
mimpi?" Kerutan dahinya semakin dalam.
"Tapi kapan? Seinget gue kita nggak pernah main mobil-mobilan. Nggak mungkin juga sebelum gue kecelakaan kan?" Tubuh Jeno tampak semakin tegang. Dia mengalihkan pandangan dan rahangnya mengencang.

"Lebih baik lo nggak usah inget. Gue juga nggak mau inget-inget itu."
Dan begitu saja Jeno meninggalkan Renjun sendirian.

.
.
.
.
.
.
.

Maaf tangan aku kepleset pencet tombol pub

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang