Jam sudah menunjukkan pukul enam saat Renjun keluar kamar sambil menenteng tas selempang. Seperti biasa, kardigan melapisi seragam putihnya. Kali ini kardigan biru Dongker berbahan rajut yang merupakan salah satu outwear kesayangannya dikarenakan karakter yang menempel pada kardigan tersebut. Renjun memang tdak bisa lepas dari jaket, kardigan, blazer, sweater, bolero, atau apa pun yang berlengan panjang karena dengan mengenakan luaran panjang, ia merasa lebih aman dan nyaman/siapa nih yang kayak Renjun/.
Setelah duduk dikursi makan, Renjun langsung sibuk mengecek E-Mail. Namun, lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena tak ada satu pun balasan dari sang papa. Padahal dulu, saat awal kepindahan papanya, mereka rajin sekali bertukar cerita via E-Mail. Hingga kemudian mereka beralih pada layanan Video Call maupun chatting yang lebih praktis.
Namun, dua tahun terakhir ini papanya tak kunjung pulang dan jarang menghubunginya. Renjun pun kembali menggunakan cara 'kuno' mereka melalui E-Mail, tapi tetap saja tak sekali pun dibalas karena papanya lebih memilih menghubungi via telpon. Meski begitu, Renjun tetap menjadikan rutinitas itu sebagai tradisi. Entah saat pagi, siang, atau malam pasti asa saja satu E-Mail yang ia kirim setiap hari, bagaikan curhat dibuku harian.
SEND!
Renjun lantas menangkap siluet kakaknha yang sedang menuruni tangga, lengkap dengan seragam. "Jen! Sini deh buruan, cicipin masakan gue. Udah lama gue nggak masak oseng-oseng!" Serunya semangat. Perasaannya memang selalu membaik setiap usai melakukan sesi curhat satu arah pada papanha. Renjun bahkan berinisiatif menyendokan nasi kepiring Jeno, tapi sang kakak mencegahnya. Renjun refleks menarik tangannya yang sempat bersinggungan dengan tangan kanan Jeno. "Biar gue sendiri," tukan Jeno dengan parau.
"Badan Lo panas banget!" Sentak Renjun seraya mengusap-usap punggung tangannya yang masih terasa hangat. Tapi komentarnya lagi-lagi tidak digubris, bahkan dengan lirikn sekalipun. Jeno tetap sibuk memindahkan nasi dan lauk kepiringnya.
Oke, tampaknya pagi ini mood Jeno lebih buruk daripada biasanya. Cowok itu juga hanya sedikit sekali mengambil makanan. Tanpa bicara, dia mulai menyantap sarapan.
Akhirnya Renjun bersikap cuek, lalu melahap makanannya sendiri. Namun baru saja suapan pertama mendarat di lidah, gigi Renjun langsung berhenti mengunyah. Wajahnya seketika berubah masam. Buru-buru ia melesat ke dapur dan memuntahkan makanan itu ke tempat sampah.
"ASIN BANGET!!" rutuk Renjun setelah menghabiskan segelas air, lalu kembali ke meja makan. Renjun tak percaya saay menyaksikan sikap abangnya yang masih biasa-biasa saja. "Stop stop stop!" Ia segera merebut piring Jeno. "Ini lauknya asin banget, Jen! Kok Lo sanggup makan sih?" Tangannya takjub seraya memandang piring itu dengan ngeri. "Udah mau habis..."
Jeno kembali menarik piringnya. "Percuma. Lo mau masak seenak atau season apa pun pagi ini rasanya bakal sama dilidah gue," responnya enteng, lalu meneruskan sarapan.
Renjun terperangah. Salahnya, memang setiap memasak ia tak pernah mencicipi lebih dulu sebelum disajikan. Alasannya, ia lebih suka mengandalkan insting, walau akhirnya naluri amatirnya itu berhasil 'meracuni' hidangannya pagi ini. Jangankan menelan, mengecapkan di lidah saja langsung membuyarkan selera makannya pagi ini.
Bagaimana mungkin Jeno baik-baik saja? Kecuali.....
"Lo beneran sakit, El," simpulnya..
.
.
.
.
.
.Renjun menaiki jembatan penyeberangan uang tersambung dengan pintu halte di seberang sana. Renjun tengah mengaitkan kancing terbawah jaketnya ketika seseorang mendadak menghadang langkahnya. Ia sempat terkejut mengira sosok itu pencopet, tapi justru senyum hangat saat tahu Hyunjin yang menyambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NeoCulturans || NoRenMin (END)
Teen Fiction" Pertama, nggak ada yang boleh tau tentang hubungan kita. Kedua, jangan ajak gue ngobrol disekolah. Dan ketiga, terserah lo mau berteman sama siapa aja di sekolah. Asalkan.... dia bukan anak IIS. " ~Jeno~ - Lokal - School and Family - Bromance - No...