Part 1

20.4K 1.7K 73
                                    


Lengkingan bel memaksa Renjun, yang telah berlari dari mulut jalan hingga sekolah, mempercepat gerakan kakinya. Peluhnya semakin deras. Berkali - kali ia nyaris tersandung. Namun tekadnya sudah bulat, ia takkan terlambat hari ini. Tidak di hari pertamanya menyandang status anak SMA.

"PAAAK! Tunggu, Pak!" Pekiknya sambil menahan tepi gerbang tinggi nan kokoh yang sudah setengah tertutup.
Nyaris saja!

Napasnya tersengal dan rambut yang biasanya terlihat rapi dan indah kini tambak berantakan. Ia sukses membuat satpam sekolah tersenyum prihatin.

"Makasih ya, Pak!" Ucapnya seraya memasuki halaman depan sekolah.
Sejenak Renjun berupaya menormalkan kembali irama napasnya sembari mengamati para siswa yang berjalan tergesa - gesa menuju koridor. Tetapi, bukannya turut bergegas, Renjun malah duduk di salah satu kursi kayu dan menghembuskan napas berat. "Kalau bukan papa yang minta, nggak bakalan deh gue kejebak disini," gumamnya sambil menatap bangunan sekolah yang berdiri gagah didepan mata. Bila diamati dari dekat begini, gedung itu terasa semakin mengintimidasi. Entah mengapa, mungkin karena namanya saja sudah terdengar superior.

.
.
.
.
.
.
.

SMA Neo Culture. Tak ada yang berani meremehkan kualitas lulusan sekolah swasta terbaik se-Jakarta ini. Karena uang, jabatan, koneksi, dan segala kelebihan lain diluar kemampuan otak, takkan membuat seorang pun mendapatkan kursi disini. Bahkan nilai UN pun tidak berlaku. Kalau ingin lulus seleksi di SMA Neo Culture, Seluruh calon siswa harus melewati tiga kali ujian tertulis dengan penjagaan berlapis super ketat. Belum lagi masih ada tes potensi akademik, tes kesehatan, wawancara, dan berbagai tes yang seakan tidak ada ujungnya.

Namun, Meski dengan segala kehebatan Neoculturans- julukan bagi siswa maupun alumni SMA Neo Culture -sejak dulu Renjun mencoret SMA ini dari daftar sekolah incarannya. Itu karena musuh bebuyutannya lebih dulu diterima disini. Bagi Renjun, perselisihan mereka tidak perlu ditambah lagi dengan bersekolah ditempat yang sama.

Sayangnya, obrolan terakhir dengan sang papa, yang hampir tiga bulan belum mengontaknya lagi, berhasil membuat Renjun berubah pikiran- Dengan berat hati. Cowok itu bahkan masih ingat jelas isi percakapan via telepon yang berlangsung saat ia memasuki Minggu tenang menjelang Ujian Nasional SMP. Nada suara papanya ketika itu benar - benar sarat harapan dan amat sulit ditolak, bahkan dengan car terhapus sekalipun.

Di satu sisi, Renjun amat sangat tidak ingin masa mudanya dibuat suram oleh makhluk yang sama yang menginfeksi nama baiknya saat mereka kelas satu SD. Cowok itu selalu merusuhi kelas Renjun.

Namun di sisi lain, ada rasa gundah yang merasuki hati kecilnya saat mendengar permohonan sang papa. Ia tahu betapa pedihnya kehilangan orang tua saat mamanya meninggal, apalagi untuk sementara ini ia hidup berjauhan dengan papanya. Renjun takut, kalau tidak memenuhi permintaan itu, kesehatan papanya bisa terganggu.

Alhasil ia memenuhi permintaan itu. Tetapi, setelah berhasil lolos menaklukkan sederet tes masuk SMA Neo Culture sesuai keinginan papa, Renjun malah tidak bisa mengabari papanya selain lewat E-Mail yang bahkan sampai sekarang belum direspon.

Renjun akhirnya bangkit berdiri, lalu bergegas menuju koridor utama yang telah sepi seraya mengeringkan keringat ditelapak tangannya dengan selembar tisu dalam tas.

"Hei, seragam Lo!"
Suara renyah itu menghentikan langkah Renjun. Ia menoleh dan mendapati cowok berbibir tebal berdiri tepat di sisi kanannya. Selama sepersekian detik, mereka berdua hanya saling tatap. Cowok itu seolah mengatakan sesuatu, tapi segera menggeng, seperti mengusir asumsi konyol. Detik berikutnya, dia berhasil mengendalikan ekspresinya dan melemparkan senyum hangat.

"Seragam Lo harus rapi," tangannya memberi kode pada Renjun untuk melihat seragam barunya yang acak - acakan, "kalau mau lolos dari guru piket." Dia menunjuk sepasang guru berperawakan tegas yang berjaga di mulut koridor.

"Oh..." Renjun merasa bodoh. Ia baru sadar sebagian ujung bajunya keluar dari celana, berlomba dengan ujung jaket yang ia kenakan. Mungkin akibat berlari hebat tadi.

"Dan mendingan Lo lepas jaket juga. Ada banyak aturan aneh disekolah ini," imbuhnya sambil menunjuk papan raksasa yang menggantung di atas koridor.

NO PET. NO JACKET. NO CIGARETTE
NO COMMENT.

Renjun membaca sekilas. "Oke, trims," ucapnya lirih, ganti melempar senyum.
Cowok itu mengacungkan jempol, lantas mendahuluinya menuju koridor. Renjun pun buru - buru menanggalkan jaket dan meneruskan langkahnya.

.
.
.
.
.
.
.

Oke sekian trims

TBC or END

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang