Part 42

3.6K 611 67
                                    

Jeno telah terlelap, sementara tiga kawannya pergi mencari makanan. Renjun ingin marah karena air matanya tak kunjung berhenti setiap kali memandang wajah lelap Jeno.

"Lo udah berjuang abis-abisan, Jen". Renjun tersenyum pedih.
"Gue sakit, Jen... gue sakit bukan karena kebohongan lo selama ini nyakitin gue" Renjun menggigit ujung bibirnya.
"tapi karena kebohongan itu nyakitin lo!" Ketika kembali, Felix dan dua kawannya membawa dua kotak makanan untuk Jeno dan Renjun, tapi mereka menahan langkah di ambang pintu IGD, tidak mau membuat Renjun malu karena tepergok menangis lagi.

"Jeno bener-bener nggak papa, kan?" bisik Jisung cemas.
"Kok anak itu nangis terus sih?" Felix mengembuskan napas. Sambil mengangkat bahu. Entah karena apa, tapi beban hidup yang dihadapi seolah sangat berat sampai-sampai Jeno dan Renjun yang biasanya selalu terlihat tegar, tampak begitu terpuruk.

Renjun kemudian menoleh karena ekor matanya mendeteksi kehadiran tiga cowok itu. Ia tersenyum tipis lalu buru-buru menghapus air mata. Felix, Chani dan Jisungpun menghampiri seraya menyerahkan dua bungkus makanan.

"Thanks, Kak." Renjun menoleh sepintas pada Jeno.
"Tapi biarin dia tidur dulu. Selama ini dia cuma bisa tidur nggak lebih dari tiga jam sehari. Biar aja dia mengganti waktu
tidurnya."

.
.
.
.
.
.
.

Jeno terbangun dan terkejut mendapati Renjun masih duduk menemani di sisinya. Renjun tampak membaca buku
pelajaran. Jeno meraih ponselnya dan membeliak saat menyadari sudah pukul delapan malam.

"Gue kira lo pingsan!" gumam Renjun dengan senyum geli. Renjun menyimpan kembali bukunya ke dalam tas dan membukakan kotak makanan untuk Jeno.

"Yang lain mana?" Jeno duduk dengan bersandar pada bantal. Tiba-tiba rasanya canggung sekali.
"Gue suruh pulang. Besok lo juga udah dibolehin pulang kok."
"Terus, kenapa lo masih di sini?" Jeno memandang sendok berisi nasi dan lauk yang disodorkan Renjun ke depan mulutnya. Dengan cepat cowok itu mengambil alih sendok tersebut beserta kotak makan dari tangan adiknya.

"Gue bisa sendiri, lo pulang aja." Renjun mendengus seraya duduk kembali.
"Lo tega nyuruh gue pulang sendiri jam segini?"
"Terus?" Jeno lekas mengunyah nasi dan mengangkat alis.
"Lo mau nginep sini?"
"Iyalah, siapa lagi yang nemenin lo?" Jeno meletakkan sendoknya.
"Lo kira gue balita? Sebentar, gue minta tolong Endru jemput lo." Renjun langsung menyambar ponsel Jeno dan memasukkannya ke tas.

"Nggak, makasih." Renjun tersenyum manis.
"Udahlah, lo tuh pasien, jangan berisik." Jeno kehabisan kata-kata menatap adiknya. Raut wajahnya seketika berubah.
"Papa udah cerita, kan?" selidiknya
yakin. Renjun bergeming, kini sibuk mengerjakan LKS bahasa Indonesia. Tetapi, Jeno merampas bolpoinnya, membuat Renjun terpaksa mendongak.

"Gue lakuin semua itu bukan karena lo!" tantang Jenotegas.
"Justru gue kerja abis-abisan supaya nggak sering-sering ketemu lo." Tak disangka, tidak ada raut sedih atau kecewa di wajah sang adik. Renjun malah meraih kembali bolpoinnya sambil mengangguk-angguk santai.

"Gue tau kok."
"Hah?" Gantian Jeno yang kebingungan.
"Mendingan lo pakai waktu lo buat istirahat, daripada ngarang-ngarang alasan." Jeno terenyak. Renjun, yang malah tidak mampu berkonsentrasi karena merasakan tatapan kakaknya masih tertuju padanya, akhirnya mengembuskan napas sambil menyandarkan punggung. Ia menatap mata kelam Jeno.

"Lo tau Tante Baekhyunnyamain lo sama apa?" Jeno tak merespons. Mendadak bad mood mendengar nama itu.
"Pecahan beling." Renjun tersenyum melihat ekspresi bingung kakaknya.
"Kalau nggak hati-hati bersihinnya, tangan lo bisa luka. Tapi kalau nggak dibersihin, bukan cuma tangan lo yang terancam luka, tapi juga kaki dan
seluruh anggota tubuh lo. Bahkan orang lain." Renjun mengembuskan napas lirih.

"Dulu gue bingung apa maksudnya, tapi sekarang gue mulai ngerti. Ternyata justru orang luar yang lebih ngerti tentang lo ya." Jeno mengalihkan pandangan sesaat, lalu mengangguk
lirih.

"Setuju."
Renjun mengangkat alis, ganti bertanya.
"Coba besok lo tanya Tante Baekhyun. Beling nggak bisa memecahkan dirinya sendiri, kan?" Jeno tersenyum pahit.

"Mungkin Tante Baekhyun tau siapa yang mecahin beling itu.dan berujung nyakitin banyak orang." Renjun tertegun. Sesaat ia menimbang-nimbang. Jadi, mana yang lebih buruk? Beling yang pecah dan melukai banyak orang atau orang yang memecahkan beling itu?.

.
.
.
.
.
.
.

Pesan masuk dari Tante Baekhyun membuat senyum Renjun merekah. Ia bisa mulai bekerja part time di Kafe Cokelat hari Minggu bes­ok-empat hari lagi. Renjun pun melanjutkan makan dengan lahap. Sepulang sekolah Renjun menjemput Jeno di rumah sakit, lalu masih dengan taksi yang sama, ia memaksa Jeno makan bareng di restoran Thailand.

"Jangan manyun-manyun dong muka lo, kan udah keluar dari RS. Ini juga gue yang traktir kok!" tegurnya gemas pada Jeno yang duduk di seberang.

"Ini wajah bahagia gue." Jeno menunjuk wajahnya yang jelas-jelas datar, membuat Renjun tertawa. Melihat tawa itu, tanpa sadar ujung bibir Jeno sedikit tertarik, membuat mata Renjun membulat takjub.

"Lo barusan senyum ya?" komentar Renjun heboh, membuat Jeno langsung menggeleng kuat.
"Iya, lo senyum!"serunya yakin.
"Wah, kayaknya ini pertama kali seumur hidup gue liat lo senyum. Syukurlah indra lo masih berfungsi semua."
"Buruan makan!" tukas Jeno cepat. Tetapi, tiba-tiba tiga cowok datang mendekati meja mereka.

"Jeno?" Jeno dan Renjun sontak mendongak. Renjun melihat kakaknya tersenyum dan beranjak dari kursi, lalu berjabat tangan dengan tiga pemuda itu. Perban yang menyelubungi lengan kanannya tertutup jaket, jadi tiga cowok itu tidak memperhatikan.

"Lo sama siapa nih? Belum pernah gue liat lo sama cowok manis kek gitu" goda salah satunya. Rennun melempar senyum pada mereka. Tetapi Jeno menjelaskan bahwa Renjun hanya teman satu sekolah, lalu tiga cowok itu pergi dan duduk di meja lain.

Renjun mendengus. "Nggak pernah sekali pun gitu ya lo menganggap gue adik?" Jeno mengaduk-aduk kuah makanannya.
"Udah sering gue coba." Renjun menatap tak percaya. "Terus hasilnya?" Jeno terdiam cukup lama, hanya menatap Renjun dengan bingung. Renjun jadi salting sendiri. Jeno mencoba mengumpulkan keberanian yang selama ini tak pernah mampu dia lakukan karena sekarang telah menemukan solusi atas masalah yang dialaminya belasan tahun terakhir. Jeno bertekad akan menghentikan semua lelucon ini. Dia tidak akan lagi menjadi boneka orang-orang dewasa itu. Sudah belasan tahun, keadaan bukannya membaik malah memburuk. Bukannya menemukan jalan keluar malah semakin banyak rintangan dan jalan buntu. Dan karena sekarang dia sudah tahu siapa Hyunjin dan Jaemin, dia akan menggunakan dua musuhnya itu untuk mengakhiri semua ini. Karena mereka juga yang memulainya. Tatapan Jeno kembali tertuju pada gadis di hadapannya.

"Gue selalu gagal."
Renjun seketika cemberut. "Kenapa?"
"Nggak bisa dan nggak akan bisa!" tegas Jeno. Cowok di depannya telah mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat-kalimat tajam Jeno seperti biasa. Namun yang kemudian terlontar dari mulut Jeno justru di luar dugaan.

"Kalau lo minta gue sayang sama lo, itu sudah gue lakukan, sejak dulu. Tapi akhirnya gue sadar!" Jeno mencengkeram celana abu-abunya.
"itu bukan rasa sayang kakak ke adiknya." Renjun tercekat. Mendadak ia merinding. Tatapannya terpaku pada wajah serius Jeno yang selama ini tak pernah mengucapkan hal-hal semacam itu.

Jeno tersenyum masam menyaksikan ekspresi kaget Renjun.
"Lo nggak papa?" suaranya terdengar semakin berat.
"Gue udah tau semuanya sejak awal. Dan gue belajar cara membatasi rasa sayang gue ke lo cuma sebagai abang ke adiknya. Tapi nggak bisa."

"Lo... tau apa?"
Jeno menggeleng.
"Kasih gue waktu seminggu, setelah itu gue bakal ceritain semuanya ke lo. Semuanya. Semua yang selama ini lo pertanyakan. Dan setelah itu... lo akan tau seegois apa lo selama ini!" cowok itu mendesis geli.

"dengan maksa gue menyayangi lo cuma sebatas itu."

.
.
.
.
.
.
.

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang