Part 33

3.3K 576 58
                                    

"oke, dia Kakak gue."

Jaemin dan Hyunjin sesaat terdiam. Pernyataan itu memang sudah mereka duga sejak awal tapi masih ada yang terasa ganjil.

"Kakak?" Jaemin terang­-terangan mengernyit.
"S­ori, Njun jangan tersinggung, kami yakin lo jujur. Tapi potongan wajah lo dan Jeno bedanya jauh banget. Dia beneran kakak kandung lo? Atau kakak ketemu gede? Kakak sepupu? Kakak tetangga? Atau-"

"Kakak tiri!" pungkas Renjun.
Lagi-lagi mereka membisu, hanyut dalam pikiran masing-masing. Cowok yang mereka apit itu jelas tidak tahu bahwa sebetulnya mereka berdua yang jauh lebih tegang. Jawaban Renjun sangat logis, selaras dengan prediksi mereka atau lebih tepatnya harapan mereka.

Namun sebelum mereka berdua bertanya lagi Renjun lebih dulu membalas.
"Gue bener-bener nggak paham, bener-bener nggak paham kenapa kalian dan kubunya Jeno nggak bisa damai aja? Berantem k­ok dijadiin h­obi."

Pertanyaan itu membuat Jaemin dan Hyunjin tersenyum kecut.
"Kayaknya pertanyaan itu lebih cocok buat Jeno, Njun." Renjun berkerut. Ia menatap dua cowok itu bergantian.

"Kenapa?"
"Karena setahun ini bukan kami yang memulai pertengkaran," ujar Jaemin santai.

"Dia yang selalu cari gara­gara sama anak­-anak IIS-khususnya kami, dan kami selalu di di posisi bertahan." Renjun sesaat terdiam, mencoba mengingat semua pertengkaran MIA dan IIS selama ia menjadi Neo Culture.

Benar juga. "Tapi, kenapa? Gue denger anak MIA sama IIS ribut sejak Jeno dan Kak Jaemin jadi NeoCulturan. Berarti sebenernya ini karena masalah pribadi, kan?" Jaemin tersenyum kecil, tetap menatap ke jalan lengang di depan sana.

"Gue dan Jeno pernah ketemu sebelum
kami masuk Neo Culture, Njun!". Sorot mata Renjun berbinar. "Kapan?"

"Sekitar lima tahun lalu. Itu tahun kedua gue di klub parkour. Malam itu gue baru balik dari tur konser di Bali-Lombok, dan ternyata ada anak baru seumuran gue di
klub itu. Gue dengar dia habis kecelakaan, terus dia mau melatih otot-ototnya dengan menekuni parkour. Yaaa… gue samperin dia, tapi begitu ngeliat gue, wajahnya berubah kesal. Dan sejak itu kami nggak ketemu lagi sampai kami masuk Neo Culture." Jaemin men­oleh jengkel.

"C­oba lu pikir, gue salah apa? Wajah gue salah apa? Artis yang notabene tersombong ini mau nyapa dia lho!" Renjun tergelak. Benar-benar tidak menduga hal itu.

"Mungkin dia enek karena setiap hari gue muter lagu-lagu Kak Jaemin terus di rumah."
"O­­h, jadi salah l­u...." Jaemin mengangguk­angguk jenaka.
"Gue nggak begitu peduli apa alasannya. Kalau cinta aja bisa tanpa alasan, benci juga bisa, kan?" Tiba-tiba Jaemin teringat sesuatu.

"Tapi lima tahun lalu… kecelakaan apa dia, Njun?"

.
.
.
.
.
.
.

Renjun terdiam. Pandangannya sesaat menyapu trotoar.
"Lima tahun lalu…" Renjun mengembuskan napas berat.
"Itu pas Mama meninggal. Mm, waktu itu gue seperti biasa naik sepeda ke sekolah karena masih dalam kompleks. Gue pulang telat karena kejebak hujan, tapi karena belum punya HP gue nggak bisa ngabarin Mama. Karena Mama gampang khawatir, beliau nyusul ke sekolah gue. Jeno hari itu nggak masuk sekolah, jadi dia ikut jemput. Tapi… belum juga keluar cluster mereka..." Renjun menggigit bibir. Ia menatap ke depan dan tampak berkaca-kaca. "...mobil Mama ditabrak truk sampah." Jaemin dan Hyunjin tampak terkejut, mendadak mereka menyesal telah mengungkit topik itu.

Namun Renjun tetap melanjutkan cerita, setelah mengusap air matanya sepintas.
"Mama meninggal di ambulans. Dan Jeno luka-luka cukup parah. Dia harus dirawat tiga minggu di rumah sakit." Renjun membuang napas dari mulut, lalu tersenyum masam.

"Gue rasa… sejak itu Jeno makin benci gue."
"Sori, Njun..." ucap Jaemin dan Hyunjin, nyaris bersamaan. Renjun tersenyum dan kembali menghadap depan.

"Nggak papa kok, udah lama."
"Gue ngerti perasaan lo, Njun. Abang gue juga meninggal karena kecelakaan delapan tahun lalu," suara Jaemin terdengar parau.

Renjun terkejut. "Kak Jaemim punya kakak?" Ke mana saja ia sampai tidak tahu info seremeh itu tentang idolanya? Tapi Jaemin memang selalu menutup rapat tentang keluarganya dari pihak media.

Jaemin mengangguk sambil tersenyum masam.
"Gara- gara dia gue tertarik belajar parkour. Abang gue yang merintis klub parkour gue, Njun". Renjun mengangguk­-angguk.
"Pantesan Kak Jaemin katanya lebih jago parkour dibanding Jeno."

"Mereka berdua memang hobinya nyerempet-nyerempet maut!" komentar Hyunjin membuat Renjun terkekeh. Namun wajah Jaemin kembali berubah serius. Gerbang sekolah mulai terlihat dia ingin rasa penasarannya terja-wab.

"Kalau lo dan Jeno bukan saudara kandung tapi nama kalian dibikin mirip berarti lo sama Jeno udah saudaraan sejak kecil?" Renjun pun mengiyakan dengan anggukan lirih.

"Jadi, ny­okap l­o nikah sama b­okapnya Jeno?" Jaemin mendadak parau.
"Bukan begitu." Tiba-tiba Renjun merasa letih dan ketegangan mencengkeram sekujur tubuhnya. Ia baru menyadari topik yang satu ini ternyata kelewat sensitif sampai-sampai emosi yang selama ini susah payah dipendamnya mulai terusik. Suaranya seketika berubah serak.

"Gue… sebenernya... gue anak angkat. Hasil adopsi." Dua cowok itu spontan menoleh. Tak peduli jika sedikit lagi bel masuk berbunyi, Jaemin releks mengadang langkah Renjun. Renjun sampai terkejut dan bingung. Ia semakin heran ketika Hyunjin ikut berbalik dan berdiri di sisi Jaemin.

Renjun menangkap keberadaan ekspresi asing di wajah mereka.
"Adopsi? Sejak kapan?" tanya Hyunjin tak sabar. Renjun semakin terpana. Hyunjin mendadak lebih antusias dibanding Jaemin. Ia hanya bisa berdehem.

"Ceritanya panjang."
"Kita punya banyak waktu," tukas Jaemin. Renjun tertawa bingung.
"Kenapa sih kalian penasaran banget? Ini sebenernya tentang Jeno, kan?"
"Njun!" Jaemin menyambar bahu Renjun, tak sabaran. Dia menatap wajah cantik itu lurus-lurus, sejenak membiarkan Renjun menyadari betapa serius mereka.

Kami nggak peduli tentang Jeno. Kami pengin tahu tentang lo.” Renjun mengerjap beberapa kali. Kalau mereka tidak sedanh membicarakan topik sensitif ini, mungkin Renjun sudah melambung tinggi karena dipandangi Jaemin seperti itu. Tetapi ia buru­-buru melepaskan tangan Jaemin dari pundaknya lalu tersenyum tipis.

"Tapi, kalau ngebahas masa kecil gue, otomatis Jeno bakal keseret juga karena udah sejak umur enam tahun gue diadopsi keluarganya."

"Enam tahun?" Jaemin melirik Hyunjin sekilas. Lalu kembali menatap Renjun.
"Lo yakin umur enam tahun? Bukan
empat tahun?" Renjun mengernyit heran. Ada apa dengan cowok-cowok ini?.

"Iya, enam tahun. Gue inget banget. Enam tahun. Kalian kenapa sih? Kok jadi aneh begini?". Hyunjin ganti bertanya. "Lo diadopsi… dari mana?"
"Di sini, di Jakarta." Lalu dengan pedih Renjun menatap dua cowok itu. "Dari jalanan."

"Hah?!" seru kedua cowok itu serempak.
"Gue kan tadi udah bilang, ceritanya panjang." Renjunberupaya melempar senyum. Ia lantas diselamatkan oleh
bunyi bel.

"Eh, gue masuk duluan ya, Kak. Daaah!" pamitnya seraya ngacir ke arah gerbang, meninggalkan Hyunjin dan Jaemin yang masih terpaku.

.
.
.
.
.
.
.

Apeeee nihhhh

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang