Part 45

3.7K 567 72
                                    

"Itu..." Jaehyun menunjuk ke belakang. "Injun kenapa?"

.
.
.
.
.
.
.

"Injun?" Tante Baekhyun mengernyit. Jaehyun mengangguk.
"Lho, dia bukannya dari sini? Dia udah masuk dapur sekitar dua puluh menit, terus barusan keluar sambil lari."
Tiga cowok di ruangan itu langsung bangkit dari kursi masing-masing, sementara Tante Baekhyun terhuyung lemas ke kursi. Dia benar-benar lupa menyuruh para pegawainya melarang siapa pun untuk masuk. Lagi pula, Injun baru akan memulai kerjanya di kafe itu tiga hari lagi, jadi siapa sangka Renjun akan datang sekarang, apalagi menjelang
magrib begini?.

"Terus, ini HP siapa?" Jaehyun membungkuk meraih ponsel silver di dekat kakinya. Mata Jeno seketika berkilat dan lekas menyambar ponsel itu.
"Tante!" Jeno menoleh pucat.
"Ini HP lamaku yang hilang."
"Apa?" Tante Baekhyun seolah tercekik. Dia buru-buru bangkit mendekat. "Pesan-pesan kita sudah kamu hapus, kan?" tanyanya penuh harap.

Tetapi, Jeno yang segera mengecek ponsel itu langsung menggeleng lemah.
"Buruan cari!" seru Hyunjin seraya melompati meja.
"Gue nggak mau kehilangan adik gue lagi!"

.
.
.
.
.
.
.

Renjun terisak hebat seraya memeluk lututnya erat-erat. Renjun meringkuk di ujung kelas bangunan SMP-nya yang kosong. Dia yakin takkan ada yang menemukannya. Renjun membenamkan wajahnya yang sembap. Rasa letih semakin menyerang tubuh dan pikirannya. Seminggu terakhir ini emosinya seperti dikuras habis. Siapa sangka kedatangannya ke Kafe Cokelat untuk menanyakan maksud pesan-pesan antara Jeno dan Tante Baekhyun malah berujung fakta bertubi-tubi yang tidak siap diterimanya.

Fakta bahwa Tante Baekhyun adalah mama kandungnya yang selama ini ada di depan matanya. Fakta bahwa sang mama membuang Renjun dari hidupnya. Fakta bahwa Hyunjin adalah kakak kandungnya. Fakta tentang Jaemin yang
ternyata teman masa kecilnya. Dan bahwa dirinyalah orang yang dicari­-cari Jaemin dan Hyunjin selama ini. Lalu, yang terakhir ternyata Jeno mengetahui semua itu sejak awal.

Dialah saksi utamanya. Kebungkaman Jeno sangat menyakiti Renjun. Renjun menyeka kasar air mata di pipinya. Mereka semua benar-benar kejam! Mereka tidak tahu betapa sakitnya setiap kali pening menyerang kepala ketika ingatan masa lalu berulang kali mencoba hadir. Belum lagi beban mentalnya ketika menduga dirinya adalah anak pungut yang ditemukan di jalan. Mereka juga tak tahu betapa ia ingin mengetahui masa lalunya, tapi sekaligus takut jika kenyataannya tak sesuai harapan.

.
.
.
.
.
.
.


Kalian pikir white lie itu eksis? Dalam kebohongan, pasti ada yang disakitin!
Entah yang ngebohongin, dibohongin, atau dua-duanya! Because white lie does not exist!
Jangan cari gue!
Gue rasa kalian juga seharusnya malu untuk mencari seseorang yang sudah kalian buang.

Renjun mengirim pesan itu pada empat orang yang tak henti menghubungi ponselnya dua jam terakhir. Lalu ia melepas kartu dan baterai ponselnya, memasukkannya ke dalam mini bag yang hanya berisi dompet. Renjun tak tahu harus ke mana, tapi yang jelas bukan
pulang.

Dengan penampilan yang berantakan, Renjun menyusuri trotoar jalan raya yang bising. Malam telah menyergap
sejak satu jam lalu. Meski Renjun tak tahu kini berada di mana, ia sama sekali tak takut. Ia lebih takut menerima kenyataan yang belum lama terungkap. Ia terus berjalan hingga kakinya lelah. Memang itu yang ia inginkan. Ia berharap dirinya pingsan sekalian, dan semoga saat terbangun, ini semua hanya mimpi. Ia tidak keberatan jika masih harus menghadapi kelakuan kasar Jeno. Ia juga akan lebih ikhlas mengerjakan pekerjaan rumahnya. Asalkan semua ini mimpi.
Mimpi!

Namun kesadarannya tak kunjung hilang. Meski mata Renjun sudah berat sekali karena bengkak dan terkena angin malam. Hingga sebuah mobil mendadak berhenti di sisi kanannya.
Awalnya, ia ingin mempercepat langkah karena tak ingin menjadi korban penculikan, tapi saat mendengar suara o­rang itu memanggil namanya, Renjun releks men­oleh.

.
.
.
.
.
.
.

Jeno belum juga bisa tidur. Ini malam kedua Renjun belum pulang. Cowok itu telah mengupayakan segala yang dia bisa. Jeno bahkan meminta izin tidak bekerja sampai Renjun ditemukan. Dia sudah meminta penyelidik swasta yang Chani kenal untuk mencari Renjun.

"Belum juga ya?" Jeno mengembuskan napas kecewa mendengar kabar via telepon itu. Tubuhnya juga lelah dan matanya perih. Namun, bukannya merebahkan diri, Jenojustru menyambar jaketnya. Dia kembali menyusuri jalanan Jakarta dan mendatangi teman-teman terdekat Renjun, mulai dari teman SMA hingga teman SD-nya. Siapa pun, yang bisa memberinya petunjuk karena ponsel cewek itu tak kunjung aktif setelah pesan terakhirnya.

Jeno juga sudah mengirimi ratusan pesan melalui SMS maupun akun-akun media sosial Renjun yang dia tahu. Sebelum melajukan motor, cowok itu kembali mengirim satu pesan lagi.

Please balik, Njun, please.
Lo boleh benci gue seumur hidup lo, tapi please bilang lo baik-baik aja dan balik ke sini. Gue siap lo pukulin seharian penuh.

.
.
.
.
.
.
.


Renjun menatap dingin menu sarapan lengkap yang terhidang di hadapannya. Menggiurkan, tapi sama sekali tak mengundang selera makan. Akhirnya ia hanya meraih apel, sekadar untuk membuat dirinya tetap hidup. Ia lalu melangkah menuju jendela.

Dari gedung pencakar langit ini ia dapat melihat pemandangan kota yang padat. Tatapannya kosong. Kulit langsatnya memucat beberapa hari ini. Rasanya ajaib tubuhnya belum juga ambruk hingga sekarang, padahal ia merasa separuh nyawanya telah pergi sejak dua hari lalu.

Mendadak, Renjun tersenyum nanar.
"Ini hidup gue, tapi gue yang paling nggak tau siapa gue sebenarnya. Bahkan gue nggak tau apa nama lengkap asli gue!" gumamnya.
"Kalau mama kandung gue bisa bersikap sekejam itu, bagaimana cara gue untuk bisa percaya orang lain?" Renjun menghapus air matanya yang kembali menetes.
"Mereka pasti puas udah menjadikan hidup gue bahan bercandaan."

.
.
.
.
.
.
.

Jeno membuka tirai kamar Renjun. Hujan deras mengguyur Jakarta malam ini. Kilat-kilat menyambar seperti blitz paparazi yang menyerang tanpa ampun. Jeno menelan ludah. Cemas, apakah Renjun baik-baik saja di luar sana? Cowok tegap bermata kelam itu melangkah menuju meja belajar Renjun.

Matanya memindai satu per satu buku yang mengisi rak itu. Mata Jeno tertarik pada buku tipis yang menyempil di antara ensiklopedia. Buku gambar, batin Jeno seraya membuka lembarannya di
a

tas meja. Dengan senyum tipis dia mengusap permukaan kertas yang dicoreti krayon warna-warni. Sepertinya hasil karya Renjun saat TK. Namun mata Jeno memanas ketika gambar-gambar abstrak itu berubah menjadi figur-figur manusia.

Renjun bahkan menamai satu per satu gambarnya. Di halaman itu Renjun terlihat bergandengan tangan dengan orangtuanya. Namun wajahnya terlihat murung seraya menengok ke ujung kertas tempat terlukis tangga panjang dan sebuah kamar. Di dalamnya sosok Jeno duduk menyendiri dengan wajah kesal. Renjun bahkan menggambar tetesan-tetesan hujan mengelilingi tubuh Jeno yang digambar dengan krayon
abu-abu, mewakili auranya yang suram.

Dan sekarang, tetesan hujan itu hadir dalam wujud nyata di atas kertas. Dalam bentuk air mata si penyendiri yang membasahi permukaannya. Jeno sadar dirinya bersikap begitu brengsek sejak kecil.

.
.
.
.
.
.
.

TBC

NeoCulturans || NoRenMin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang