2. Belum Saatnya

9K 539 34
                                    

Menyesuaikan diri dalam suatu lingkungan itu hal yang sulit. Entah karena perbedaan atau suatu pemikiran.

***

Seorang gadis memakai cadar yaman tengah berdiri tepat didepan pintu rumah minimalis, mata cokelatnya menyapu sekitar. Sepi. Kata itu yang keluar dari batinnya. Ia ketuk pintu bercat abu sekali lagi seraya mengucapkan salam. Tak lama, suara derap langkah mendekati arah pintu, lalu pintu terbuka. Menampilkan sosok pria bertubuh tinggi nan kekar. Mereka bertatapan. Kurang dari 5 detik Jasiyah putuskan kontak mata tersebut. Ia sedikit terkejut, sama halnya dengan pria yang berada dihadapannya. Pria terkejut karena melihat gadis berpenampilan seperti itu. Serba hitam dan menyeramkan.

Ini pria yang beberapa hari kebelakang menabraknya. Jadi, selama ini pria lancang itu majikkan Jidahnya? Kenapa harus dipertemukan kembali? Huh! Rasanya tidak adil.

Jasiyah bungkam, menunduk seraya menggenggam tas yang cukup besar di tangan kanannya. Ia takut pria itu menyentuh tangannya kembali. Ah tidak, kali ini tak ia beri kesempatan sedikitpun, ia akan waspada.

"Sejak kapan ninja berubah menjadi sopan?" Suara bass terdengar di pendengaran Jasiyah.

Deg.

Ia menahan napasnya untuk meredakan rasa sesak. Baru kali ini Jasiyah di sebut dengan 'ninja'. Mengapa sesakit ini? Ada saja orang yang membuatnya sakit hati, padahal ia ingin merubah dirinya lebih baik. Mengikuti ajaran yang Rasulullah ajarkan. Memegang teguh sunnah.

"Kalau mau merampok, jangan dirumah saya."

Kedua kalinya pria ini membuat sakit hati. Disebut sebagai 'ninja' Jasiyah diam. Tapi sekarang, ia tak tinggal diam. Secara tak langsung, pria yang tak memiliki toleransi ini merendahkan dirinya.

"Maaf Tuan, saya datang kemari bukan untuk merampok. Saya datang kemari untuk menggantikan Nenek saya yang sedang sakit."

Pria dihadapannya memandang Jasiyah dari atas hingga bawah, begitu saja berulang kali.

Jasiyah berdehem ketika pria itu memerhatikannya dengan begitu intens. Lalu pria itu membuang pandangannya.

"Oh, jadi kamu cucunya Bi Cicih?" Jasiyah mengangguk, membenarkan.

Tunggu, pria itu tidak mengenalinya? Jika iya, bagus kalau begitu.

"Yasudah, mari ikut saya." Pria itu membalikkan tubuhnya lalu berjalan menuju sebuah kamar tidur yang sederhana dan diikuti Jasiyah dibelakang pria itu. Tiba-tiba dari arah dapur ada sosok wanita berpakaian kurang bahan yang langsung memeluk tubuh pria itu dengan posesif lalu mencium pipinya tanpa rasa malu. Jasiyah seketika memalingkan wajahnya, berucap istigfar berulang kali. Bukannya envi, ini malah risih lebih tepatnya jijik. Apalagi mendengar suara sok mesra wanita itu membuat Jasiyah ingin muntah sekarang juga.

"Siapa dia Nis?" Wanita itu bersuara lalu menatap Jasiyah tidak suka.

Pria itu mengikuti arah pandang wanita yang memeluknya. "Pembantu pengganti."

Wanita itu mendongakan kepalanya, memandang wajah tampan pria yang dipelukannya.

"Dengan pakaian seperti ini? Aku kira dia teroris" ucap wanita itu dengan nada sinis.

Jasiyah memejamkan mata, beristigfar kembali tanpa sadar air bening membasahi cadarnya. Sungguh, kata-katanya sangat menyayat. Jasiyah ingin marah tapi ia tahan mungkin mereka tidak mengetahui syariat islam yang sebenarnya. Baiklah akan Jasiyah maklumi.

"Tadinya, aku kira dia ini ninja." Ucap pria yang membuat wanita itu tertawa.

"Ah sudah, tidak baik menjudge orang. Bawa saja wanita ini ke kamarnya lalu suruh dia mengurus Bunda mu."

Pria itu mengangguk. "Memang seperti itu niat awalku"

***

Saat ini Jasiyah berada di sebuah kamar yang cukup luas. Ada jendela besar di dekat tempat tidur. Seorang wanita yang tak terlalu tua juga tak terlalu muda tengah duduk di tepi ranjang, matanya menatap lurus ke arah jendela. Tatapan itu begitu kosong. Sesekali wanita itu menggerakan tangannya hanya untuk membenarkan khimar abu yang merosot. Hati lembut Jasiyah tersentuh, sepertinya banyak sekali beban dipikiran wanita yang dihadapannya. Jasiyah sudah mengetahui tentang majikannya ini dari Jidahnya. Wanita itu adalah ibu dari pria yang tak menghargai orang lain. Rasanya miris seorang ibu yang merawat anaknya dengan penuh kasih sayang ketika ia sakit anaknya malah menyuruh orang lain untuk merawatnya padahal ibunya membutuhkan perhatian dari anaknya. Jasiyah saja menyesal tidak diberi kesempatan oleh Allah untuk merawat dan membanggakan orang tua. Sedari kecil ia sudah ditinggalkan ibu dan ayahnya. Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya. Dan dilanjut ayahnya meninggal karena sakit kanker yang tidak diobati akibat ekonomi yang kurang. Tapi ini? Justru seperti di sia-siakan. Jasiyah berjanji, ia akan merawat ibu majikannya ini seperti ibunya sendiri.

Jasiyah berjongkok dihadapan wanita itu tak lupa dengan senyuman dibalik cadarnya. Ia menggenggam tangan kanan lalu mengusapnya.

"Ibu, saya yakin ibu pasti sembuh seperti semula. Bisa tertawa lepas lagi, bisa bicara tanpa rasa takut, bisa berjalan kesana dan kemari. Ibu harus yakin bahwa Allah memberi ujian sesuai batas kemampuan. Ibu hebat, ibu kuat. Ibu mampu bertahan sejauh ini, walau keadaan tidak mendukung. Insya Allah, sesegera mungkin ibu sembuh." Ucap Jasiyah dengan lembut.

Setelah berucap seperti itu pintu kamar wanita itu terbuka, pria yang membuat muak Jasiyah menghampirinya, lebih tepat mendekati ibu majikannya. Pria itu saat ini memakai kemeja navi yang digulung hingga siku, rambutnya tertata rapi, di genggaman tangan kirinya ada tas hitam. Jasiyah bisa menebak pasti pria ini hendak ke kantor.

"Bunda, Nisfal pamit ke kantor ada meeting mendadak yang harus Nisfal pimpin." Kata pria itu.

"Tolong jaga ibu saya." Ucap Nisfal --pria itu seraya pergi.

Jasiyah mengangguk paham. "Baik, Tuan"

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang