21. Berharap dan Mengharap

6.7K 533 46
                                    

Allah tidak akan pernah lelah mendengarkan harapan yang dipanjatkan.

***

Setelah lima hari di rumah sakit, kini Jasiyah sudah berada di kamarnya yang luas. Jasiyah berbaring dikasur dan menyandarkan punggungnya pada bantal. Ia menatap lurus ke arah pintu, memikirkan yang tiga hari lagi ia akan mengaborsi kandungannya. Tandanya, tiga hari lagi ia harus kehilangan calon buah hati. Berat, namun ia juga tidak mau jika bayi itu terlahir tidak sempurna yang akan menyiksa bayi itu.

Ketika Jasiyah merasa bosan, ia beranjak dari kasurnya. Memilih untuk ke taman belakang yang menyejukan pandangan. Tak lupa, ia memakai cadar hitam dan kaus kakinya.

Jasiyah duduk diayunan dekat kolam ikan, suara gemercik air sangat memanjakan pendengarannya. Mulutnya juga tak henti-henti bermuraja'ah surah yang sudah ia hafalkan. Tatkala sudah ditengah surah, tamparan mendarat di pipi Jasiyah yang baluti cadar.

Jasiyah mematung. Terkejut dengan tiba-tiba ditamparnya pipi. Panas dan perih yang Jasiyah rasakan.

"Tamparan itu tidak akan sebanding dengan rasa sakit hati yang saya rasakan, pelacur!" Ujar wanita berambut pirang.

Jasiyah menoleh ke arah kanannya. Mata Jasiyah terbelalak ketika mendapati Aurel yang tengah menatapnya tajam. Di dalam hati, Jasiyah sedang memikir keras apa yang membuat Aurel sakit hati? Dirinya melakukan kesalahan apa? Ia tidak tahu-menahu.

"Kesalahan apa?" Tanya Jasiyah.

"Kesalahan apa kamu tanya?! Ya jelas kesalahan kalau kamu merebut suamiku! Asal kamu tahu, aku diceraikan Nisfal...." Ujar Aurel dan melembut ketika diakhir kalimat.

"Itu semua gara-gara kamu!" Seru Aurel seraya mendorong Jasiyah yang sudah berdiri dihadapannya.

"Demi Allah, saya tidak tahu sama sekali hal itu. Mana mungkin Tuan menceraikan Nyonya hanya demi pembantu seperti saya."

"Halah! Dasar wanita munafik, memang ya, orang yang memakai cadar itu identik pasti tidak benar. Ninja yang satu ini bukan merampok harta, tapi ninja ini merebut suami orang."

Jasiyah lagi-lagi terbelalak. "Sudah saya katakan. Jika Nyonya tidak menyukai saya, hina saja saya. Jangan pernah membawa-bawa cydar yang saya pakai!" Kata Jasiyah penuh penekanan.

"Dan sama sekali saya tidak pernah berpikir barang sejenak untuk menyingkirkan Nyonya, tidak pernah." Lanjut Jasiyah.

"Saya tidak habis pikir dengan Nisfal, mau saja dengan wanita yang berpakaian kuno!" Ujar Aurel.

Jasiyah tersenyum dibalik cadarnya. "Tidak apa-apa kuno, yang penting saya tidak mengikuti zaman yang modern tapi tak menyelamatkan di yaumul akhir nanti."

"Terima kasih, tamparan manisnya, Nyonya."

***

Setelah meminum obat, Jasiyah beranjak ke ruang keluarga untuk mengaji bersama Aura. Ia mengambil Alquran di lemari buku paling atas setelah itu, ia duduk disamping Aura.

Aura membuka Alquran nya lalu dibaca dengan teliti, sedangkan Jasiyah memperhatikan apa yang Aura baca. Setelah Aura mengaji, kini Jasiyah berusaha untuk menambah hafalannya. Biasanya, Jasiyah memasang target pencapaian hafalan kali ini dan target saat ini adalah surah Al-Anfal sampai ayat 20. Karena Jasiyah menghafal Alquran dari juz 30 makanya ia baru sampai surah tersebut.

"Bunda, saya pergi dulu." Pamit Aurel yang pergi begitu saja.

Aura dan Jasiyah hanya menatap kepergiannya. Jasiyah tersenyum miris, ternyata masih banyak sekali orang yang kurang mempunyai adab. Mereka yang berpendidikan tinggi tapi tak jarang yang mempunyai adab.

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang