36. Taman Rumah Sakit

4.4K 413 62
                                    

Terbelenggu dalam diam. Menunggu dalam kesabaran. Bosan, namun harus dinantikan.

***

Nisfal terdiam di dalam kamarnya seraya memandang kotak kecil yang berikan oleh Jasiyah, wanita ninjanya. Ah, bukan. Kini Jasiyah bukan wanita ninjanya lagi, namun tetap, Jasiyah akan selalu ada dihati Nisfal ditempat yang spesial. Kenangan-kenangan manis yang sempat ia buat bersama Jasiyah berputar seperti kaset kusut, dimana saat ia memegang tangan Jasiyah awal pertama kali bertemu, lalu tinggal satu atap untuk menggantikan pekerjaan Jidahnya. Qadarullah. Hingga ia menikah dengan Jasiyah, sempat membuat kenangan manis dan tak terlupakan walau dengan waktu yang singkat.

Ia membuka kotak kecil yang dibaluti kertas berwarna pink. Nisfal tersenyum tipis dan memutar-mutar kotak itu. Merobek dan melihat apa isi didalamnya, senyum Nisfal tambah lebar kala pulpen bening yang di pulpen itu terdapat tulisan tangan terukir indah.

Semangat, Tuan.

Dua kata yang sangat penting dari hidupnya. Yaitu semangat yang terucap dari Jasiyah. Walau hanya sebatas tulisan, Nisfal merasa bahagia, ia serasa terus disemangati wanita ninjanya setiap menggunakan pulpen itu. Jasiyah sangat paham bahwa Nisfal selalu teledor dalam menaruh pulpen. Untuk kali ini, pulpen yang Jasiyah berikan akan ia jaga selalu.

Pandangannya kini beralih pada secarik kertas yang dilipat kecil. Nisfal membukanya, begitu terkejut dan ingin memeluknya detik ini juga. Kertas itu bertuliskan resep sup ala Jasiyah.

Resep sayur sup ala ninja:

1. Siapkan sayuran yang diperlukan.
2. 2 siung bawang putih.
3. 1 siung bawang merah.
4. Merica secukupnya.
5. Bumbu racik sup.
6. Garam secukupnya.
7. Jangan lupa senyum. Agar masakannya lebih nikmat.

Selamat mencoba, Tuan Nisfal. Langkah-langkahnya bisa lihat di internet :)

Nisfal tersenyum kecut. Agar bisa memakan sup tanpa masak sendiri hanyalah angan belaka. Kini tidak ada seseorang yang melayaninya dengan baik, manut dengan segala ucapannya.


Ketika mendengar ketukan pintu, lamunan Nisfal buyar. Ia membuka pintu dan menyimpan pemberian dari Jasiyah ia simpan di laci meja kerjanya.

Wawa, orang dibalik pintu. Nisfal mengernyit.

"Ada apa?"

"Kamu cerai?"

Nisfal diam.

"Kenapa?" Lanjut Wawa.

"Panjang ceritanya, Tan."

Wawa menghembuskan napas. Lalu mengajak Nisfal ke ruang keluarga. Duduk di sofa hitam dan meminta penjelasan pada sang keponakan.

Nisfal pun menceritakan tanpa ada yang dikurang maupun dilebihkan. Ia bercerita sesuai fakta. Sungguh terkejut Wawa mendengarnya. Jadi selama ini Nisfal orang baik-baik? Tidak melakukan hal bejad sekalipun? Masyaallah, Wawa sudah soudzon pada keponakan sendiri.

"Jadi, bukan kamu yang berulah?"

Nisfal menggeleng. "Bukan."

Wawa beristigfar tanpa suara, lalu ia diam beberapa detik. Wawa juga bingung mau bagaimana menanggapinya. Keputusan yang mereka lakukan memang sangat benar.

"Terus gimana kondisi Jasiyah sekarang? Kasian dia, lagi sakit keras terus kamu tega mau langsung tinggalin dia?"

"Saya tetap membiayai Jasiyah sampai sembuh."

"Bagus, Ipal. Nggak ada hubungan bukan berarti putus tali silaturahmi. Jangan pernah bermusuh."

Nisfal diam sejenak lalu mengangguk pelan.

***

Hembusan angin sore di taman rumah sakit terasa berbeda dengan hembusan angin sore di rumah Nisfal. Namun, Jasiyah bersyukur. Sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menikmati sorenya hari, menikmati sejuknya angin, yang paling penting ia masih diberikan napas. Disisa napasnya ini ia gunakan untuk selalu mendekati sang pemilik napas ini, setiap hari bahkan setiap hembusan napas Jasiyah selalu menyebut nama-Nya. Meminta untuk dikembalikan nikmat sehat badannya.

Berharap kepada-Nya tidak akan mendatangkan rasa kecewa, kan?

Entah sudah berapa jam Jasiyah menunggu Nisfal di taman rumah sakit namun sang empu tak kunjung datang. Hingga suster sudah berkali-kali menghampiri Jasiyah meminta agar ia kembali ke kamarnya. Namun Jasiyah meminta sedikit waktu lagi menenangkan diri sampai adzan magrib tiba. Suster pun setuju asal Jasiyah tetap berada posisi duduk, karena kondisi Jasiyah cukup tidak memungkinkan.

Senyum Jasiyah tak pernah pudar dibalik cadar hitamnya ketika melihat anak kecil yang entah sedang menangkap serangga apa. Walaupun Jasiyah sedikit bosan menunggu, tetapi didalam kamar inapnya jauh lebih membosankan. Hanya ada tabung oksigen, infusan, kursi roda dan teman-teman lainnya yang menemani Jasiyah.

Langit mulai menggelap. Sepertinya, waktu sang mentari bersinar cukup sampai sini. Akan ada bulan dan bintang-bintang bersinar yang akan menerangi bumi. Walau tak seterang mentari, tetapi bulan tidak pernah merendah. Tidak peduli dengan seterang apa cahayanya, yang penting ia masih bisa bercahaya sebisanya. Sisanya, akan ia serahkan kepada penduduk bumi. Tentang rasa syukur yang harus dilakukan.

Seperti kehidupan. Kehidupan tidak akan jauh-jauh dari bersyukur, berkorban, dan mengikhlaskan.

"Mbak? Kita kembali ke kamar, ya? Adzan magrib sudah berkumandang." Ucap suster yang biasa membantu Jasiyah.

Jasiyah diam sejenak, mendengarkan. Benar saja, adzan magrib sudah berkumandang namun Nisfal tidak kunjung datang. Padahal ia sudah berjanji akan kemari sore ini. Mungkin beliau sibuk.

Jasiyah mengangguk dan tersenyum tipis. "Iya, sus."

Suster berambut pendek itu ikut tersenyum. Ia langsung mendorong kursi roda Jasiyah ke kamar inapnya. Sepanjang perjalanan mereka saling bertukar cerita hingga tak terasa mereka sudah dihadapan pintu kamar Jasiyah.

"Setelah saya kehilangan seseorang yang saya sayangi, apakah saya akan kehilangan nyawa saya sendiri, sus?" Tanya Jasiyah yang tengah berusaha pindah dari kursi roda ke bangsalnya di bantu dengan suster.

"Mbak jangan bicara seperti itu, apa Mbak lupa kalau ucapan itu doa? Seharusnya Mbak bicara yang baik-baik tentang kesehatan Mbak. Jangan menyerah, barangkali Allah angkat sakit Mbak besok pagi." Ucap suster yang sedang mencek infusan.

Jasiyah sedikit tertawa. "Saya hampir lupa, sus. Terima kasih, ya. Sudah mau mengingatkan saya."

"Saling mengingatkan saja, Mbak. Oh iya, obat sebelum tidurnya jangan lupa diminum, ya, Mbak. Biar cepet sehat." Kata suster yang kini mencek denyut nadi Jasiyah.

"Selain istiqamah di jalan Allah, istiqamah minum obat itu juga sulit, ya, sus?" Ujar Jasiyah dengan tawa renyah.

"Hahaha. Bisa aja, Mbak Jasi. Ya sudah kalau begitu, saya pamit keluar, ya. Semangat selalu, Mbak!"

"Terima kasih!"

Setelah suster yang bernama Siska itu keluar keadaan menjadi hening. Senyap. Seperti tak ada kehidupan. Senyum dan tawa yang Jasiyah tampakan kini tersembunyi di mulut yang tengah bermuraja'ah. Setelah mengulang beberapa ayat dari Surah Fatir, kini Jasiyah melaksanakan salat magrib. Ia tidak berwudhu sebab ia sangat menjaga wudhunya sejak dulu, jadi ia terbiasa dengan hal itu. Mengingat ia sudah sulit untuk bergerak bebas.

Hingga pada rakaat terakhir, tubuh Jasiyah merasakan nyeri yang tiada tandingnya. Napasnya tersengal-sengal dan hidungnya mengeluarkan darah lagi. Detik berikutnya, Jasiyah tak sadarkan diri.

***

Menuju ending...

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang