32. Luka Lama

5.4K 531 122
                                    

Sore hari Jasiyah, Nisfal dan Rifa baru sampai di kediaman Nadira. Banyak orang yang berlalu-lalang untuk menghadiri acara pernikahan Nadira serta mendoakannya juga. Pernikahan mereka dilakukan di rumah, tidak di hotel maupun tempat yang lain. Ini semua permintaan dari Nadira, katanya, resepsi tidak perlu mewah yang terpenting adalah sah.

Mobil Nisfal sudah terparkir yang telah disiapkan. Ia turun dari mobil dengan berlari kecil untuk membukakan pintu Jasiyah. Wanita bercadar itu tersipu malu diperlakukan seperti itu. Sederhana tetapi manis.

"Mau pakai kursi roda?" Tanya Nisfal agak membungkukkan tubuhnya.

Jasiyah menggeleng pelan. "Saya masih kuat, Tuan."

Nisfal diam sebentar, seperti menimbang-nimbang lalu mengangguk. "Yasudah, ayo."

Tangan kekar Nisfal menggenggam tangan ramping Jasiyah dengan kelembutan, persis dengan mereka berangkat kemari.

Dibelakang ada Rifa yang sedang menatap keduanya dengan memelas. Ia menyibukkan diri dengan merapikan hijabnya yang sedikit tidak rapi. Setelah itu Rifa pamit untuk duluan ke pusat acara, daripada ia menjadi nyamukkan? Lebih baik ia makan sepuasnya disana.

"Teh, Rifa duluan ya? Banyak nyamuk disini."

Jasiyah menoleh ke arah Rifa. Lalu menyapu pandangannya untuk mencari nyamuk seperti yang dikatakan adiknya. "Disini aman-aman saja, Rif."

Rifa melongo. Sebenarnya, kakaknya ini sok polos atau polos betulan, sih? Pantas saja sering ditertawai oleh Nisfal.

"Makanya, cepat punya suami. Biar tangannya ada yang gandeng." Ujar Nisfal.

Rifa membelalak lalu mengerucutkan bibirnya. "Saya masih kecil, pak. Bercandanya lucu banget deh."

"Ye, ngeyel kamu ini."

***

Kini saatnya Jasiyah dan Nisfal naik ke pelaminan untuk memberi selamat dan mendoakan sahabatnya yang sudah menjadi milik orang lain. Ia sedikit mengangkat gamisnya ketika menaiki tangga, genggaman Nisfal tidak pernah lepas. Seolah Nisfal memberitahu pada Adam bahwa Jasiyah miliknya.

Wanita bercadar itu melepaskan genggaman dari Nisfal lalu lari kecil menghampiri Nadira dan memeluknya. Air matanya tumpah. Pipi keduanya basah. Kini, mereka sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan mereka dulu.

Kira-kira siapa yang nikah duluan?

Tanpa perlu dijawab pun keduanya sudah tahu.

Rasa sedih, bahagia, haru menjadi satu. Mulai saat ini pasti keduanya akan sibuk mengurusi rumah tangga masing-masing. Prioritasnya bukan sahabat lagi, namun prioritas saat ini adalah suami. Tapi memang sudah begitu kodratnya kan? Allah menciptakan hamba berpasang-pasangan. Jangan takut kehabisan. Karena semua sudah tertulis di lauhulmahfudz. Tidak ada yang tertukar. Maha Hebat Allah.

"Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fiil Khairin. Dira, jangan jadi anak manja lagi. Jangan sering nangis kalau lagi datang bulan. Jadi istri yang baik, yang saleha, yang kuat ya? Semoga Allah mempermudah segala urusanmu dan keluargamu."

"Aamiin yaallah... terimakasih banyak Jasi. Aku kira kamu nggak akan datang, bakalan marah kalau sampe kamu nggak datang."

"Demi kamu apapun ku lalui, haha."

"Alaynya masih ada ternyata. Ah ya, kamu jangan terlalu capek, mending sekarang kamu istirahat dikamar aku. Cepet."

"Ngaco deh, masa iya kamar pengantin dipakai buat istirahat aku. Kan nggak lucu, Dir."

"Hehe, ya udah kamu duduk disamping aku aja."

"Ini lebih parah, nanti undangan kamu kiranya kita lesbi. Naudzubillah..."

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang