27. Story After Rain

6.4K 520 68
                                    

Mata Nisfal memerah saat melihat sekujur tubuh yang sudah kaku. Tubuhnya melemas seperti tak ada tulang. Di ambang pintu, Nisfal masih memandang tak percaya jika bundanya sudah tiada. Mungkin bundanya sudah bersama dengan suami yang ia rindukan setiap saat.

"Bunda butuh doa dari Tuan. Mari masuk." Bisik Jasiyah seraya menggandeng Nisfal.

Tepat di samping Aura, Nisfal menangis kembali. Ia memeluk tubuh Aura yang dingin. Biasanya jika ia memeluk Aura, beliau pasti membalas dan mengusap kepala Nisfal. Tapi sekarang? Jangankan mengusap kepala, membuka mata saja Aura sudah tidak bisa. Rasa sesal yang Nisfal rasakan membuncah. Ia sangat menyesal belum sempat mengatakan bahwa dirinya seorang hafidz, untuk mengatakannya Nisfal malu. Nisfal malu karena diusia yang sudah tidak lagi muda ia baru menghafal.

Apakah ia terlambat?

Jasiyah yang menyaksikan pun sampai menangis. Ia tahu betul bagaimana rasa yang dialami Nisfal, saat ia belum sempat mengatakan sesuatu namun Aura pergi lebih dulu. Rasanya begitu menyesakkan.

"Bun? Saya sudah menjadi yang Bunda harapkan, bahkan sejak dulu. Bunda bangun ya? Bunda harus dengar saya mengaji, saya sudah berusaha keras demi Bunda tapi Bunda meninggalkan saya sendiri?"

Bak anak kecil yang sedang membujuk ibunya untuk di izinkan main hujanan, Nisfal berkata seperti itu seraya menggenggam tangan Aura.

"Saya akan rindu dengan sebutan Ipal."

***

Pemakaman telah usai, semesta yang menurunkan air pun telah henti. Kini, Nisfal, Jasiyah, Wawa dan Arga tengah berkumpul di ruang keluarga.

Wawa memandang lurus ke arah lemari kaca. Lemari itu terdapat sebuah foto Aura dan Afka yang berada di sebuah konser. Aura yang tertawa lebar seperti orang yang paling bahagia di dunia, sedangkan Afka hanya memamerkan sederet giginya yang rapi. Sudah lama Wawa tidak pernah melihat tawa Aura selebar itu dan sudah lama juga Afka meninggalkannya. Kini Aura menyusul Afka di Surga, mungkin saat ini Aura tengah tertawa selebar di foto itu karena berjumpa dengan kekasih halalnya yang selama ini ia rindukan.

Keadaan hening. Semua bergulat dengan pikirannya masing-masing. Hingga Arga pamit pulang karena waktu sudah larut malam, namun Wawa memilih menginap dirumah Nisfal karena ingin menemani keponakannya yang masih di rundung suasana duka.

"Bagaimana bisa Aurel membekap Bunda, Tan?" Suara Nisfal memecah keheningan.

"Mudah bagi dia Nisfal. Tante tinggal Bundamu untuk membeli makan siang. Sebelumnya, semua terlihat baik-baik saja makanya Tante berani tinggal Bundamu. Tapi kenapa tiba-tiba Tante kembali ke ruangan Bunda sudah kejang-kejang dan sesak napas. Tante panik, akhirnya Tante panggil dokter dan beberapa menit kemudian Bunda dinyatakan meninggal. Maafkab Tante yang sangat ceroboh. Oh ya, Tante juga sudah melaporkan Aurel ke polisi."

Tangan Nisfal mengepal dengan keras, rahangnya juga mengeras. Jasiyah yang peka terhadap perubahan Nisfal langsung mencium sekilas pipi Nisfal.

Sang empu terkejut. Hingga kepalan itu melerai, Nisfal menoleh pada Jasiyah. Memandang tidak percaya jika yang menciumnya tadi adalah Jasiyah. Di lubuk hati yang paling dalam Nisfal merasa orang yang paling beruntung karena ia bisa memiliki istri yang saleha dengan point plusnya adalah berwajah yang cantik.

Jasiyah ini memang sangat tahu bagaimana caranya untuk mendamaikan hati suami. Istri idaman sekali.

"Ekhem... Tante permisi dulu ya." Seru Wawa beranjak.

Nisfal menahan rasa malunya hingga wajahnya memerah. Sedangkan Jasiyah tertawa kecil dibalik cadarnya.

"Sudah berani ya sekarang?" Ucap Nisfal.

Jasiyah masih setia dengan tawanya seraya menarik cadarnya kebawah agar tidak mencolok ke mata. Tapi detik berikutnya cadar itu dibuka oleh Nisfal.

"Bisa kalau sama saya cadarnya dibuka? Saya mau lihat bidadari tertawa."

Blush.

Kini wajah Jasiyah yang memerah. Ia salah tingkah ketika Nisfal berucap seperti itu. Memang wanita itu lemah, dengan sepenggal kata ia sudah terbata.

"Ternyata Tuan bisa gombal, ya?"

"Lho? Kamu baru tahu kalau saya itu rajanya penakluk wanita?" Tanya Nisfal seraya melipat cadar milik Jasiyah.

Jasiyah yang mendengar hanya mengangguk saja. Percaya...

***

Sore hari setelah hujan reda, Jasiyah dan Nisfal pergi ke rumah sakit untuk check up keadaan Jasiyah. Tak terasa ia harus kehilangan calon anaknya yang sudah beberapa bulan singgah di dalam perut, menemani suka dan duka calon ibunya. Namun dua hari lagi rencana yang dibangun oleh Jasiyah hanya sebuah angan. Jasiyah akan melakukan aborsi untuk kebaikan keduanya.

Katanya, yang penting Jasiyah kembali sehat. Kalau anak bisa meminta pada Allah agar diberi kepercayaan lagi.

Kini sudah di ruangan dokter hematologi onkologi yang bernama Dokter Reno. Kegiatan yang Jasiyah lakukan adalah menimbang berat badan. Jantungnya mencelos ketika melihat angka 39 saat tubuhnya menaiki timbangan.

Jasiyah melirik Nisfal.

Nisfal berucap 'nggak apa-apa' tanpa suara seraya tersenyum.

Dengan berat, Jasiyah pun ikut tersenyum dibalik cadar biru dongkernya. Dalam hati ia menguatkan diri sendiri, bahwa ia bisa sembuh dan sebentar lagi ia akan sembuh.

"Secepatnya kami akan melakukan aborsi pada kandungan ibu. Setelah itu kami melakukan kemoterapi untuk membunuh sel kanker yang sangat cepat menjalar. Berat badannya juga turun drastiskan?" Kata dokter seraya menulis resep obat.

"Iya dok." Hanya itu kata yang bisa Jasiyah ucapkan. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Lakukan apapun yang terbaik untuk istri saya dok. Saya akan bayar berapapun itu." Seru Nisfal.

"Insyaallah, pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan istri bapak."

"Ibu juga yang semangat ya. Berdoa terus supaya Allah memberikan mukjizat."

"Aamiin."

***

Ini termasuk double
update ga sih?

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang