5. Dari Allah Untuk Allah

7.5K 444 40
                                    

Saat dimanapun, di waktu kapanpun. Semua dari Allah, untuk Allah, kembali pada Allah. Dan setiap dalam hidupmu akan dipertanyakan oleh Allah dan pertanyaan itu datang pada setiap yang hidup.

***

Jasiyah tak henti-henti mengucap syukur dan terimakasih kepada Allah. Hari ini kesehatan Jidah naik begitu pesat hingga Jidahnya sudah di izinkan pulang oleh dokter dengan syarat tidak boleh terlalu lelah karena usia yang sudah tak muda lagi. Jasiyah mengangguk mengerti saat diberi arahan agar Jidahnya tidak mesti singgah di rumah sakit Jidah pun ikutserta mendengerkan. Awalnya, Jidah sangat senang bisa pulang dan menemui Aura--majikan yang sudah dianggap sebagai anaknya tapi Jasiyah melihat perubahan raut wajah Jidah yang sedih ketika Jasiyah memutuskan agar Jidah berhenti bekerja ditempat Aura dengan alasan yang dikatakan oleh dokter tadi.

Saat ini Jasiyah dan Jidah sudah berada di depan pintu rumah majikannya, niatnya untuk pamit pada Aura dan keluarganya. Bagaimana pun Aura dan keluarganya sudah membantu banyak kehidupan mereka. Jika mereka tidak pamit, sangat tidak sopan dan tidak tahu diri pastinya.

Tangan ramping yang dibaluti handshock mengetuk pintu itu, hingga beberapa menit kemudian Aurel keluar dengan baju yang menurut Jasiyah tidak sopan.

"Assalamualaikum." Salam Jasiyah dan Jidah.

"Darimana saja kamu? Pekerjaan masih menumpuk sudah kabur" bukannya menjawab salam, justru Aurel memarahi Jasiyah. Aurel melirik jam yang berada ditangannya.

"Dan sekarang sudah jam 4 sore waktunya masak untuk makan malam. Tapi kalau pekerjaan rumah saja belum dikerjaan saya mau makan jam berapa? Lantai masih kotor, pakaian kotor masih menggunung, debu-debu juga masih menempel. Kamu niat kerja tidak?!" Lanjut Aurel dengan nada bicara yang tinggi.

"Maaf, ini memang kesalahan saya yang tidak izin keluar. Niat saya datang kemari hanya ingin pamit dengan Bu Aura sekeluarga. Saya dan Jidah ingin mengundurkan diri dari pekerjaan ini, berhubung Jidah saya yang sudah tua dan pastinya lebih membutuhkan waktu istirahat. Terimakasih atas semuanya." Berbeda dengan Aurel. Jasiyah berucap dengan penuh kelembutan sepertinya Aurel pun ikut luluh, sudah tidak emosi lagi.

"Kamu tidak berniat untuk tetap bekerja disini? Bagaimana nasib masalah ekonomi keluarga kalian?" Jasiyah menarik napas lalu menghembuskan dengan perlahan. Ucapan Aurel begitu menyakitkan.

"Insya Allah rezeki sudah diatur oleh Allah tidak mungkin tertukar. Selalu ada jalan kalau kita mau berusaha."

"Ah sudahlah! Tidak usah ceramah dihadapan saya. Kamu bisa pergi sekarang."

"Izinkan kami untuk pamit dengan Bu Aura." Aurel memicingkan matanya sebentar lalu mengangguk sekali.

Wajah pucat pasi Jidah tersenyum ketika melihat wanita yang tengah berbaring sambil memeluk sebuah foto. Foto seorang pria yang menggunakan jas putih seraya merangkul mesra wanita berhijab maroon yang tertawa bahagia, tak lain itu Aura dan suaminya. Ia sudah lama ditinggal pergi oleh suami untuk selama-lamanya. Afka--suami yang sangat dicintai Aura, meninggalkannya ketika ia sedang merasa dititik puncak mencintai seseorang yang tak ingin seseorang itu meninggalkannya. Tapi Allah berkendak lain, Dia mengambil Afka lebih dulu membuat Aura terpukul, awalnya Aura berusaha untuk ikhlas namun apa daya ketika ia mengikhlaskan hatinya menolak kepergian Afka. Hingga pada akhirnya psikis Aura terganggu.

"Non, Bibi pamit pulang yah? Non jaga diri, Non sehat terus semoga Allah memberikan mukzizat. Terimakasih banyak sudah bantu Bibi" Ucap Jidah seraya mengelus punggung tangan Aura.

Kini giliran Jasiyah yang berada di samping Aura. Ia mengecup punggung tangan Aura yang sedikit kurus lalu diusap dengan penuh kelembutan.

"Bu, walaupun kita baru mengenal beberapa hari tapi rasa sayang saya ke Ibu seperti rasa sayang saya pada Ibu kandung saya. Sebenarnya saya tidak tega meninggalkan Ibu dalam kondisi seperti ini, namun ada hal yang mengharuskan kami pergi dari rumah ini. Terimakasih Bu, tanpa bantuan Ibu mungkin saya tidak sebesar ini."

Aura menoleh, tangan kanan Aura membelai wajah Jasiyah yang tertutup niqab.

Jasiyah dan Jidah terbelalak melihat respon Aura. Sebelumnya, Aura tidak pernah merespon apapun kepada siapapun kecuali Nisfal itupun sesekali saja.

Apa Allah mengabulkan doanya? Apa secepat itu? Jika iya, Jasiyah akan tiada henti bersyukur barang sedetikpun. Allah sangat baik padanya, jika Jasiyah tidak bersyukur tidak tahu diri namanya.

"Masyaallah Jidah..." ujar Jasiyah seraya berkaca-kaca.

"Semoga ini semua awal dari kebaikan ya, Teh?" Ucap Jidah yang di amini oleh Jasiyah.

***

Sekitar ba'da isya Jasiyah dan Jidah sampai di Bogor. Saat ini Jasiyah tengah memandang luasnya sawah yang ada dibelakang rumah. Gelap, sunyi, jauh dari bisingnya kendaraan. Berbeda sekali dengan suasana di Jakarta, dari ia membuka mata sampai menutup mata lagi suara kendaraan yang berlalu lalang tak pernah berhenti barang sejenak. Sangat membosankan. Jasiyah duduk di kursi kayu yang sengaja disediakan, hampir setiap malam ia duduk tempat ini sambil bermuraja'ah. Ia mengambil Alquran yang biasa ia gunakan, lalu membacanya. Niatnya malam ini adalah untuk menambah hafalan sebab sejak ia di Jakarta sama sekali tidak menambah hafalan walau satu ayat pun, Jasiyah sangat menyesalinya padahal ia hidup dari Allah dan untuk Allah.

Saat Jasiyah membaca ta'waudz suara Jidah memanggil, terpaksa Jasiyah harus menemui Jidahnya dulu.

Ia sudah berdiri di depan pintu kamar Jidah, mengetuk lalu masuk.

"Ada apa Jidah?" Jidah menepuk kasur tanda Jasiyah agar duduk disampingnya. Jasiyah pun duduk.

"Kabarkan pada lelaki yang mau datang kerumah. Jidah sudah ada dirumah. Kasihan dia mungkin sudah menunggu" Ucap Jidah dengan tenang. Berbeda dengan Jasiyah, ia tak tenang. Jika ia mengingat Adam, pasti ia mengingat kelakuan hinanya itu. Ya Allah...

"Teh?" Tegur Jidah yang melihat cucunya melamun.

Jasiyah menoleh, lalu mengangguk pelan. "Iya Jidah, nanti Jasi kabarkan."

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang