26. Memilih Menetap?

5.7K 523 71
                                    

Jangan terlalu bergantung pada seseorang. Ketika orang itu tiada, diri akan nelangsa.

***

Biasanya, di setiap pagi ada senyum hangat yang menyambut Rifa. Namun sekarang? Senyuman itu hilang.

Biasanya yang berkutat di dapur pada pagi hari adalah Jidah. Bukan Jasiyah apalagi Rifa. Namun pagi ini Jasiyah yang membuat sarapan lontong sayur. Saat ia mengaduk kuah dari lontong tersebut tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Jasiyah.

"Masak apa?"

"Lontong sayur, Tuan."

"Apa itu?"

"Ah ya, Tuan pasti belum pernah mencicipinya'kan?" Tanya Jasiyah seraya memasuki sedikit garam.

"Belum."

"Tunggu, wajah kamu pucat sekali. Kamu sudah minum obat?" Lanjut Nisfal seraya memperhatikan wajah Jasiyah tanpa cadar. Karena memang ia yang meminta agar cadar itu dilepas kala bersamanya saja.

Nisfal sudah pahamkah?

Sontak Jasiyah memegang wajahnya, lalu tersenyum paksa.

"Sudah. Tapi saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya kelelahan."

"Nanti siang pulang." Ujar Nisfal.

"Lho, ada apa memangnya?"

"Sudah lama kamu belum check up. Kemasi barang-barang kamu."

"Tapi bagaimana nasib adik saya, Tuan?"

"Terserah kamu."

***

Memakai cadar yang diberikan dari Nisfal membuat Jasiyah senyum-senyum sendiri di kamar. Siang ini ia menuruti apa kata Nisfal. Kembali ke Jakarta. Rifa bagaimana? Sementara waktu Rifa menetap di Bogor. Katanya ia ingin menikmati masa-masa sekolahnya yang sebentar lagi lulus. Setelah itu baru ia ikut dengan kakaknya ke Jakarta. Insyaallah. Jika Allah menghendaki.

Kala sedang mengikat cadar hitam di belakang kepala, Nisfal masuk ke kamar dengan wajah yang sangat memerah menahan tangis. Alis Jasiyah bertautan, ia pun mendekati Nisfal dan bertanya.

"Ada apa, Tuan?"

Tidak ada jawaban dari Nisfal.

"Ada apa, Tuan? Kenapa Tuan tiba-tiba seperti ini?"

"Bisa diam?!" Ujar Nisfal menaikkan suaranya.

Jasiyah tertegun dan memejamkan matanya. Sedikit terkejut, namun bukan apa-apa. Sudah biasakan Nisfal membentak Jasiyah?

Wanita yang sudah memakai sempurna cadarnya duduk dihadapan Nisfal. Ia diam, menunggu jiwa Nisfal tenang. Baru kali ini ia melihat wajah Nisfal menahan nangis. Ada apa sebenarnya?

"Bu-bunda pergi."

Deg.

Jantung Jasiyah mencelos. Tubuhnya tiba-tiba membeku. Ah tunggu, pergi? Yang Nisfal maksud pergi itu bukan yang Jasiyah pikirkan'kan?

"Ini semua gara-gara wanita iblis. Sialan! Saya harus bunuh wanita itu sekarang juga." Setelah mengucapkan perkataan itu, Nisfal beranjak dari duduknya.

Jasiyah yang sedang mencerna ucapan Nisfal pun menyusul tanpa kesadaran penuh. Ia sedikit berlari untuk menyamakan dengan Nisfal berjalan.

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang