24. Pulang

6.2K 503 80
                                    

Mengistirahatkan hati dari cobaan yang tiada henti. Pulang adalah hal yang tepat untuk saat ini.

***

Plak!

Tamparan mendarat mulus di pipi putih. Wanita berambut pirang mematung dan tertegun. Merasakan panas dan perih di pipinya. Ia memegang pipi kanannya, matanya menatap tak percaya pada Nisfal. Untuk pertama dan terakhir kali Nisfal menampar Aurel. Sekasar-kasarnya Nisfal, tapi ia tidak pernah bermain fisik kepada wanita. Tapi ini? Ah, sepertinya ini bukan Nisfal.

"Kamu?" Tanya Aurel tak percaya.

Nisfal yang mendengar hanya menaikkan alisnya sebelah.

"Berani-beraninya kamu menampar aku?"

"Berani-beraninya kamu mencelakakan bunda?!" Suara Nisfal yang lebih keras.

Semua diam, Arga dan Wawa membiarkan dua insan itu beradu argumen. Arga juga tidak menyangka betapa liciknya Aurel. Wanita itu sangat kejam. Sudah diam-diam menyakiti seseorang lalu memfitnah pula. Tidak ada rasa takut pada Tuhankah? Sampai-sampai ia berani melakukan hal itu.

Menit berikutnya Nisfal menghela napas lalu memejamkan mata. "Saya lepaskan kamu, mulai saat ini kamu bukan istri saya."

Semua tertegun, termasuk Jasiyah. Kenapa bisa ia mentalak istri kecintaannya? Istri kesayangannya? Mengapa semudah itu mengucapkan?

"Tidak Nisfal! Aku tidak mau kamu talak aku, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku tidak akan melakukannya..."

"Saya akan urus perceraian kita." Lanjut Nisfal.

Aurel menggeleng tak percaya, ia beranjak dari duduknya dan berlutut di kaki Nisfal. Ia menggoyahkan kaki Nisfal dengan kedua tangannya seraya menanis meraung.

"Aku mohon... aku mohon jangan ceraikan aku, aku mencintaimu Nisfal. Sungguh..."

"Kamu hanya mencintai harta dan diriku saja. Kamu tidak mencintai bunda dan keluargaku. Aku sudah tahu semua, sekarang kamu boleh pergi dari rumah ini."

"Tidak mau! Seharusnya pelacur ini yang kamu ceraikan, Nisfal. Bukan aku!" Ujar Aurel yang terlihat frustasi.

"Dia tidak salah disini. Ini semua bukan keinginannya."

"Benar Tuan. Benar apa yang dikatakan Nyonya, seharusnya saya yang harus pergi. Seharusnya saya yang harus Tuan talak. Saya mohon dengan sangat, jangan bercerai... lebih baik saya saja yang pergi dari kehidupan Tuan." Ucap Jasiyah dengan tenang.

Jujur saja, Jasiyah memang senang mendengar hal itu. Namun, ia tidak enak pada Aurel. Ah bukan tidak enak, lebih tepatnya ia tahu bagaimana rasa sakitnya. Ia juga wanita, punya perasaan yang sama. Karena wanita adalah makhluk lemah dalam hal ditinggalkan. Lebih baik dirinya saja yang merasakan rasa sakit itu, ia tidak tega melihat seseorang yang menangis meraung karena ulahnya. Rasanya, ia seperti wanita yang paling hina karena menghancurkan rumah tangga seseorang.

Ya Rabb, ampunilah diriku.

Mendengar apa yang diucapkan Jasiyah, Nisfal dan Aurel langsung diam. Nisfal memandang lekat wanita ninjanya dengan pandangan yang tidak bisa dijabarkan. Sedangkan Aurel menatap Jasiyah penuh harap, berharap jika Jasiyah saja yang diceraikan oleh Nisfal.

"Tidak, Jasi. Saya tidak mungkin menceraikanmu." Kata Nisfal seraya menyingkirkan Aurel dari kakinya. Ketika Aurel sudah jauh dari kakinya ia melanjutkan ucapan.

"Karena saya sudah jatuh ke dalam hatimu."

***

Entah apa yang merasuki Jasiyah hingga ia tersenyum tiada pudarnya. Ia juga bingung dengan perasaannya, entah ia harus mengekspresikan kejadian tadi seperti apa. Ingin loncat-loncat tetapi ia masih mempunyai otak, sebab secara tidak langsung ia bahagia atas penderitaan orang lain. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah bersyukur dan berterima kasih kepada Sang pencipta. Bisikkan yang ia bisik kepada-Nya ternyata di dengar.

Ternyata tidak sia-sia ia menyebutkan sebuah nama dibalik doanya. Namun, suasananya saja yang tidak tepat. Ah sungguh bahagia kala Nisfal berkata seperti itu.

Ternyata seperti ini rasanya orang yang mengakui perasaan dihadapannya?

Sungguh beranekaragam.

"Kamu jadi pulang?" Sebuah suara yang mengejutkan Jasiyah.

Jasiyah hanya mengangguk. Setelah kejadian itu ia sedikit canggung pada Nisfal.

"Saya antar."

"Tidak usah Tuan. Saya sudah biasa sendiri."

"Mulai sekarang jangan dibiasakan sendiri." Ucap Nisfal seraya menyambar kunci mobil di atas meja ruang keluarga.

Jasiyah diam, alisnya bertautan. Maksudnya? Jasiyah tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dikatakan Nisfal. Jangan dibiasakan sendiri? Katanya.

"Ayo." Ajak Nisfal seraya menarik pergelangan tangan Jasiyah dengan lembut.

Sang empu terkejut. Ia tidak percaya kalau yang didekatnya ini Nisfal. Sungguh lembut daripada sutra. Membuat Jasiyah terbang.

"Kemana?" Sungguh, Jasiyah sudah kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

"Ke Bogor. Kamu mau pulangkan? Yasudah, ayo."

Seperti anak kecil yang takut pada ayahnya, Jasiyah pun menurut saja ajakan Nisfal. Saat Jasiyah hendak mengambil tas besarnya, Nisfal lebih dulu membawa tas itu ke bagasi mobil.

Jasiyah yang berjalan dibelakang Nisfal pun mengipas wajah dengan kedua tangannya. Suhu tubuhnya kian menaik atas apa yang dilakukan oleh Nisfal. Malu adalah kata yang tepat untuk saat ini. Entah jika cadar hitamnya dibuka, mungkin wajah Jasiyah sudah seperti kepiting rebus yang baru matang. Selain Sunnah, cadar juga dapat menyembunyikan wajah yang tersipu malu ternyata. Terima kasih cadar, kamu adalah penolong bagi Jasiyah.

"Tuan tidak membawa salinan?" Tanya Jasiyah yang mengingat didalam tas hanya terdapat pakaiannya saja.

"Disana masih ada mall'kan?" Tanya balik Nisfal yang diangguki Jasiyah.

"Yasudah, beli saja disana. Buat apa repot-repot bawa baju." Jawab Nisfal dengan santai.

Jasiyah mendengarnya melongo. Apakah ini yang disebut 'orang kaya mah bebas?'

Sombong sekali bapaknya...



Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang