3. Takdir

8.4K 479 45
                                    

Mungkin dihadapan orang akulah paling shalihah. Tapi ketika dihadapan-Nya akulah yang paling hina.
-Jasiyah

***

Pekerjaan Jasiyah hampir selesai, giliran sekarang ia akan mengelap semua rak atau sejenisnya. Ia mengelap seraya bermuroja'ah kegiatan seperti itulah yang Jasiyah lakukan setiap mengerjakan sesuatu, selain mendapat pahala pekerjaannya juga menjadi tak terasa kata Jasiyah. Kini tinggal tersisa satu ruangan yang belum ia singgahi ruangan yang sepertinya sangat tertutup, baru saja tangan rampingnya membuka pintu tersebut. Tapi, sebuah suara menghentikan kegiatan Jasiyah.

"Jangan sekali-sekali masuk keruangan ini." Kata Nisfal dengan nada dingin. Setelah itu, ia berlalu saja tanpa pamit pada Jasiyah. Jasiyah pun mengangkat bahunya dan menatap punggung lebar Nisfal yang perlahan menjauh.

***

Pukul 9 malam. Setelah mengurus ibu majikan dan Jidahnya dirumah sakit, kali ini Aurel --nyonya dirumah tersebut meminta Jasiyah untuk menemaninya ke suatu pesta ulang tahun Chika --teman Aurel. Awalnya Jasiyah menolak, tapi Aurel terus memaksa membuat tak enak. Mau tak mau Jasiyah menurutinya. Tanpa merubah penampilan, Jasiyah tetap memakai cadar yaman maroon sesuai dengan gamis dan hijabnya. Semua serba lebar. Gamis dan hijab yang lebar. Berbeda dengan Aurel, ia memakai dress diatas lutut yang tak berlengan. Rambut indahnya yang ombre ia biarkan begitu saja tergerai.

Saat ini Jasiyah dan Aurel sudah berada di tengah-tengah kerumunan tamu undangannya Chika. Banyak pasang mata yang memandang aneh Jasiyah, ia tahu mengapa mereka memerhatikannya dengan seperti itu. Semua karena tampilan. Semua karena cover. Berada ditempat ini, Jasiyah merasa dikucilkan secara tidak langsung.

Kini ia sendirian. Duduk dipojok ruangan. Karena Aurel telah berbaur dengan teman sebayanya.

Lampu-lampu yang gemerlap, suara musik yang begitu memekakan telinga, serta bau alkohol yang menyeruak dipenciuman. Wanita dan pria bercampur tanpa ada rasa malu, badannya meliuk-liuk mengikuti alunan musik. Jasiyah jengah dengan ini semua. Rasanya ia ingin pulang sekarang juga, secara tidak langsung ia menjatuhkan dirinya kedalam lubang yang didalamnya ada buaya, ya, sangat berbahaya. Ini bukan tempat yang bermanfaat, tapi tempat ini membuatnya sesat. Jika ada yang bertanya apa yang dilakukan Jasiyah, ia hanya memejamkan mata seraya beristigfar. Ya, hanya itu.

"Kamu sendirian?" Tanya seorang wanita yang memakai baju crop hitam.

Jasiyah membuka matanya, lalu mangangguk.

"Nama gue Widya. Lo siapa?" Tanya wanita yang sudah duduk disamping Jasiyah.

"Saya Jasiyah." Jawab Jasiyah seraya menarik kecil cadarnya agar tak terlalu mencolok mata.

Mata Jasiyah mengikuti pergerakan Widya yang sedang menuangkan 'minuman' kedalam gelas berukuran kecil. Lalu menyondorkannya tepat didepan wajah Jasiyah. Sontak ia melebarkan matanya seraya menggeleng.

"Maaf, saya tidak meminumnya" ucap Jasiyah seraya menjauhkan wajahnya.

Widya memicingkan matanya. Lalu badannya mendekati Jasiyah.

"Coba dulu, lo pasti ketagihan. Percaya deh" lagi-lagi Jasiyah menggeleng, bersikukuh pada pendiriannya. Ia tidak akan meminum bahkan menyentuh sekalipun.

"Tidak... saya tidak meminumnya."

"Jangan sok suci deh. Ngapain lo kesini kalau nggak mau minum?"

"Saya mengantar majikan"

"Peduli apa gue. Pokoknya lo harus minum!" Ujar Widya. Entah apa penyebabnya, Widya menjadi lebih kasar sebelum saling kenal.

"Tidak akan sedikitpun." Ujar Jasiyah dengan tegas seraya memalingkan wajahnya.

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang